Chereads / Roger (Sang Pahlawan Kecil) / Chapter 5 - Episode 5. Roger Sakit

Chapter 5 - Episode 5. Roger Sakit

"Tante darimana?" tanya Riana pada sang tante.

"Ini, abis beli makanan di warung sebelah," balas Tante Rena, menunjukkan kantong plastik berisi makanan.

Sejak kejadian 4 tahun lalu. Riana dan Tante Rena terbiasa membeli makanan di warung-warung kecil pinggir jalan. Awalnya merasa tidak nyaman. Namun, karena terpaksa mereka pun mulai terbiasa.

Lagipula makanan di warung pinggir jalan tidak kalah enak dengan restoran bintang lima.

"Mama Rena, pulang yuk," ajak Roger.

"Loh, Roger ngga mau beli mainan dulu?" tanya Tante Rena.

"Dia kan ngga suka mainan-mainan kayak gitu, Tan." balas Riana.

"Memang masih? Tante kira udah berubah," ucapnya.

"Masih, Tan. Makanya Riana taro Roger di sini," balas Riana dan langsung dijawab tawa oleh sang tante.

Roger bingung melihat dua orang dewasa itu. Mereka tertawa tanpa menjelaskan apa pun padanya.

"Roger ngga ngerti Mami sama Mama Rena ketawain apa. Roger mau keluar aja deh," ucapnya, berjalan keluar dari toko mainan.

Menyadari putra kecilnya keluar dari toko, Riana pun menyusulnya keluar. Ternyata langkah kaki Tante Rena jauh lebih cepat dari Riana. Beliau dengan sigap langsung menggendong Roger dengan kedua tangan. Membawanya masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan toko.

Riana memang sengaja memarkirkan mobilnya di sana, setelah selesai dengan pertemuan. Itu sebabnya Tante Rena langsung masuk ke toko mainan, tempat di mana Roger dititipkan.

Mobil yang Riana kendarai adalah mobil bekas yang dibelinya dengan cara kredit. Mobil peninggalan ayahnya sudah Riana jual untuk menambah modal. Lagipula, saat itu dia tidak terlalu membutuhkannya.

.

Ravs Corp dibawah pimpinan Alvin, jauh lebih maju daripada sebelumnya. Perusahaan tersebut telah merambah ke berbagai sektor. Mulai dari bidang properti, kecantikan hingga kebutuhan rumah tangga.

"Baik, rapat cukup sampai di sini." Suara Alvin terdengar mendominasi di ruang rapat.

"Baik, Pak." Semua anggota dewan menjawab dengan kompak.

"Kalau begitu, kami permisi," ucap salah satunya, mewakili.

Tinggallah Alvin dan Alan di ruang rapat. Keduanya tampak berbincang sebentar sebelum keluar ruangan.

Setelah lulus kuliah, baik Alvin maupun Alan, sama-sama bekerja di Ravs Corp, perusahaan ayahnya. Masuk ke perusahaan ayahnya sendiri bukanlah hal mudah.

Alvin dan Alan juga harus melalui beberapa tahap sebelum lulus. Beruntung, yang mendaftar saat itu hanya ada beberapa.

Bukan karena bayang-bayang Tuan Rames Ravendra, tapi karena kemampuan mereka sendiri.

"Kak Alvin, bagaimana, Kak? Apa kakak sudah menemukan jejak Riana?" tanya Alan.

Alvin menggeleng, garis kesedihan dan putus asa tergambar jelas di wajahnya. Sudah 4 tahun, Alvin masih berusaha mencari Riana.

Mencarinya dengan cara manual, tanpa meminta bantuan detektif maupun hacker.

"Apa dia sudah keluar dari kota? Harusnya waktu itu, aku tanya alamat tinggalnya dulu," lirih Alan.

"Kapan kalian pernah bertemu?" tanya Alvin.

"Beberapa hari setelah peristiwa kebakaran itu," jawab Alan.

"Bukankah kamu bilang hanya melihatnya sekilas?" tanya Alvin lagi.

"Aku berbohong. Sebenarnya bukan hanya melihat Riana, tapi bertemu dengannya di depan rumah," jelas Alan.

"Apa? Kenapa kamu ngga pernah bilang?" protes Alvin.

"Maaf, Kak. Aku hanya ingin melindungi mereka dari Papa," jelas Alan.

"Tetap saja, harusnya kamu bilang yang sebenarnya pada kakak," debat Alvin.

Alan menceritakan saat di mana Riana datang ke rumah 4 tahun lalu. Alan terpaksa berbohong pada kakaknya. Alan tau jika saat itu dia mengatakan yang sebenarnya, bisa saja ayahnya kembali melakukan hal buruk pada Riana.

"Aku minta maaf," ucap Alan lagi.

"Sudahlah, bukan salah kamu juga. Lebih baik, sekarang kamu kembali bekerja," balas Alvin.

Siang itu, Alvin bekerja seperti biasa.

"Om Mesi, sini, Om." Suara anak kecil terdengar tidak asing di telinga Alvin.

"Roger, kamu kenapa?" tanyanya.

"Aku ngga apa-apa kok, Om." jawab Roger, menunjukkan senyum.

Keduanya tampak bermain bersama di taman. Roger pun terlihat gembira.

"Aduh." Roger merintih kesakitan memegangi perut.

"Roger, ada apa? Perut kamu sakit?" Alvin terlihat khawatir melihat kondisi Roger.

Dengan sigap, Alvin segera membawa Roger ke rumah sakit menggunakan mobilnya. Selama di perjalanan, Roger terus meneriakkan sakit sambil meremas-remas perut.

"Roger, kamu bertahan ya. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit," ucap Alvin, menambah kecepatan laju kendaraan.

Brak.

Alvin membanting pintu mobil, menggendong Roger masuk ke dalam rumah sakit.

"Dokter. Tolong, Dok," teriak Alvin meminta pertolongan.

Suster melarang Alvin masuk ke dalam ruangan. Dia harus menunggu di luar selama pemeriksaan. Tidak tau apa yang terjadi pada Roger. Semoga saja dia baik-baik saja.

Klek.

"Dokter, bagaimana kondisinya?" tanya Alvin saat dokter yang menangani Roger keluar.

"Pasien baik-baik saja, hanya sakit perut biasa," jawab dokter.

"Syukurlah, tapi kenapa dia terlihat sangat kesakitan, Dok?" Alvin masih saja khawatir, meski dokter sudah bilang kalau Roger baik-baik saja.

"Pasien hanya syok karena sakit perutnya tidak biasa, tapi masih dalam tahap baik-baik saja kok. Tidak perlu terlalu khawatir," ucap dokter, kembali menenangkan.

"Baik, Dok. Terima kasih. Apa sekarang saya boleh menjenguknya?" tanya Alvin, meminta izin.

"Iya, silahkan."

Alvin langsung masuk untuk melihat kondisi Roger. Entah kenapa dia sangat khawatir pada anak kecil yang baru ditemuinya kemarin.

Alvin tidak pernah seperti ini. Pada anak temannya saja, meski beberapa kali bertemu, Alvin tidak merasa sedekat ini dengannya.

Roger masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Alvin duduk di sana, memegang tangan mungil Roger.

"Om Mesi," panggil Roger.

"Roger, kamu sudah bangun? Gimana perutnya? Masih sakit ngga?" tanya Alvin dengan sederet kekhawatiran.

"Udah enggak, Om. Roger baik-baik aja," terangnya.

Alvin tersenyum melihat Roger sudah kembali ceria. Dia bertekad tidak akan membiarkan anak kecil di hadapannya, memakan makanan sembarangan.

Meski bukan siapa-siapa, meskipun tidak ada hubungan darah, tapi Alvin merasa sangat dekat dan menyayangi Roger seperti keluarganya sendiri.

"Kak, Kak Alvin." Suara seorang laki-laki memanggil namanya.

Alvin melihat sekeliling, tapi tidak ada siapapun di sana, selain dirinya dan Roger.

"Kak Alvin, bangun, Kak." Suara panggilan itu kembali terdengar.

"Hahhh." Alvin terbangun dari tidur. Terkejut karena panggilan seseorang.

Menyapu sekeliling dengan pandangan. Namun, berbeda dengan impian.

"Alan, ada apa?" tanyanya.

"Kakak kenapa? Tumben sekali ketiduran di kantor," ucap Alan.

"Kakak ngga apa-apa, mungkin karena terlalu lelah. Kamu ada apa ke sini?" tanyanya.

"O, iya. Beberapa perusahaan ternama mengirimkan berkas kerjasama untuk Ravs Corp. Aku belum membalasnya, karena banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Gimana menurut kakak?"

"Sebelum membaca isinya, lebih baik cek nama perusahaan. Cari tau bagaimana kinerja direktur mereka. Lalu, mulai lihat apa saja yang mereka tawarkan dalam kerjasama ini," terang Alvin.

"Baik. Kalau gitu, aku langsung cek sekarang." Alan segera meninggalkan ruangan kakaknya setelah selesai dengan urusan.

"Apa tadi? Kenapa aku tiba-tiba mimpi Roger?" gumam Alvin.

bersambung...