Cukup lama Kyra menunggu jawaban Keenan. Gadis itu berharap ia dapat pulang dan melupakan semua kejadian itu. "Baiklah. Kamu boleh pulang hari ini, tetapi kamu harus datang ke sini besok. Kalau tidak, kamu akan tahu akibatnya karena mempermainkan kami," ucap Keenan. Ia tak main-main dengan kata-katanya.
"A-aku pasti kemari. Aku enggak akan kabur. Tenang saja, ya."
"Aku akan menyuruh Devano untuk mengantarmu pulang."
"Kenapa tidak kamu saja?"
"Aku masih banyak pekerjaan yang belum aku urus. Aku hanya tidak mau buang-buang waktu."
"Ah, baiklah. Aku mengerti."
"Kenapa menatapku begitu? Kamu ingin menggodaku?"
"Ti-tidak."
"Aku bisa lihat dari matamu. Namun, kamu cukup menarik." Keenan mencium pipi Kyra dengan mesra.
"Apa yang kamu…" Keenan telah pergi meninggalkannya. Ia tak menyangka, Keenan hampir sama dengan keempat pria lainnya.
Kyra berdiri, lalu ia berjalan mengitari tempat itu. Ia berharap dapat kabur dari sana. Tempat yang sangat luas itu, membuatnya bingung seketika. "Mau kabur, ya?" goda Devano.
Kyra terkejut dengan kedatangan pria itu. "Ti-tidak kok. Aku hanya iseng melihat-lihat saja. Rumah ini begitu besar, aku hanya bingung bagaimana cara merawat rumah sebesar ini," elak Kyra.
"Mau tau caranya?"
"Iya. Apa itu?"
"Kemarilah. Aku akan membisikkan sesuatu," kata Devano. Kyra menurutinya. Ia tak tahu apa motifnya.
Ketika Kyra mengarahkan telinganya di dekat Devano, ia mencium lembut pipi Kyra. Gadis itu melotot tajam. Devano tertawa melihat tingkahnya.
"Kalian semua sama saja, selalu mencari kesempatan dalam kesempitan," ungkapnya kesal.
"Kamu membuatku gemas dengan pipimu."
"Memang aku segendut itu?"
"Enggak kok. Hanya saja…"
"Apa?"
"Pipimu itu menghipnotisku untuk tak membiarkanmu pergi dari sisiku."
"Sudahlah, sebaiknya, kamu mengantarkan aku pulang saja."
"Oke, Baby."
"Aku bukan bayi."
"Tetapi, kamu bayi manisku"
"Aku bukan milikmu!"
"Kita sudah ditakdirkan bersama."
"Sejak kapan kita bersama?"
"Sejak kamu meracuni hati dan pikiranku sesaat," ucap Devano sambil mengedipkan mata.
"Dasar playboy!" kesalnya. Ia meninggalkan Devano begitu saja.
"Baby, bukan disana tempatnya, tetapi di sana."
"Jangan panggil aku baby!"
"Kenapa kamu tidak suka? Padahal, panggilan itu manis, sama seperti pertemuan kita yang manis."
"Duh, ini orang, membuatku ingin memukul kepalanya deh," batin Kyra.
"Ada apa, Baby?"
"Kamu berisik!" Kyra memukul kepala Devano agak keras.
"Tanganmu telah mengisi kekosongan hatiku selama ini." Devano tak peduli rasa sakit yang ia derita. Ia mengecup tangan Kyra. Ia menatap Devano perlahan. "Kalau kamu menatapku begitu, jantungku akan berdebar-debar. Semakin lama, aku enggak bisa menjauh dari hatimu," ujar Devano.
Devano mendekatkan diri pada gadis itu. Namun, Kyra mendorongnya. Ia berusaha menjauh. Saat ia berhasil agak jauh darinya, Harrison datang dengan senyuman lebar di bibirnya. "Ka-kamu…"
"Hai, Cantik!" Harrison semakin mendekat. Kyra melangkah mundur. Tiba-tiba Devano menarik pinggang Kyra. Ia menatap tajam Harrison.
"Dia milikku," ucap Devano.
"Milikmu? Kamu lupa, siapa yang menyerangnya habis-habiskan semalam kalau bukan aku?" kata Harrison.
"Apa pun itu, hari ini dia milikku."
"Apa kamu pikir, kamu lebih hebat dariku?" Harrison menyentuh dada Devano dengan jari telunjuknya.
"Harrison, jangan berani menantangku!" Devano tampak marah. Ternyata, pria semanis Devano bisa menunjukkan kemarahannya. Bahkan, kemarahannya setara dengan Keenan.
"Kenapa? Kamu mau melaporkanku pada Keenan? Kamu berani?"
"Aku masih bisa melawanmu tanpa melibatkannya."
"Oh ya? Coba lawan aku kalau bisa!"
"Cukup! Jangan berkelahi!" kata Kyra. Ia mencoba melerai mereka.
"Cantik, aku akan membuktikan padanya, kalau kamu milikku satu-satunya," kata Harrison.
"Aku bukan milik siapa-siapa. Tolong, jangan seperti ini!"
"Kamu adalah milikku! Kamu harus ingat itu!" Harrison menarik tangan Kyra.
Pukulan mendarat pada wajah Harrison. Devano menatapnya tajam. Ketika ia melayangkan pukulan kedua, Harrison menangkisnya. Keduanya saling bertatapan. Tak ada kedamaian di hati mereka.
Tak lama, Kyra melarikan diri dari mereka. Ia ingin pergi sejauh mungkin. Langkahnya terhenti pada pintu berwarna putih tulang. Ia mencoba membukanya. "Kamu tidak akan bisa keluar dari sini, Sayang," kata Cavero mengedipkan mata.
"Ka-kamu..." Cavero tersenyum lebar, seraya menarik tangan Kyra.
"Aku kangen dengan bibirmu, Sayang," ucap pria itu. Kyra menginjak kaki Cavero dengan berani. Ia tak mau membuang waktu untuk berurusan dengannya. Senyuman iblis tampak pada bibir pria itu.
Kyra berusaha membuka pintu, tetapi susah. Ternyata, pintu itu dilengkapi sidik jari. Kyra menghembuskan nafas dengan kesal. Ia tak bisa berbuat apa-apa. "Aku bisa sih membantumu," celetuk Cavero.
"Aku tahu pria sepertimu tidak mungkin mau membantuku."
"Siapa bilang? Aku bukan Keenan yang arogan atau Harrison yang ingin menjeratmu. Terlebih lagi, aku tidak seperti Devano yang bermulut manis."
"Lalu, kamu ingin membiarkanku pergi dari sini?"
"Tentu saja, asalkan…"
"Apa? Kamu jangan meminta sesuatu yang aneh-aneh."
"Enggak kok, Sayang. Aku hanya ingin kamu mencium pipiku."
"Hanya itu?"
"Kenapa? Kamu ingin sesuatu yang lain?"
"Ti-tidak."
"Aku tidak keberatan, Sayang. Apapun itu, aku tidak akan menolak."
"Aku tidak butuh sesuatu yang lain. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini. Apapun keinginanmu, walau masih masuk akal, aku akan mengabulkannya."
"Kalau begitu, kamu bisa mencium pipiku sekarang."
"Hanya cium pipi saja, enggak yang aneh-aneh," batin Kyra.
Dia sedikit gugup. Dia mendekati Cavero, lalu seseorang malah menariknya. Kyra mengira pria yang menariknya merupakan Harrison. Ternyata, ia salah. Pria di hadapannya adalah Xyever.
"Ternyata kamu."
"Kenapa? Kamu berpikir apa?" tanya Xyever. Ia meniup telinga Kyra hingga memerah. Kyra merasakan geli pada sekujur tubuhnya. Walau hanya tiupan kecil, godaan itu menyebabkan Kyra panas dingin. Ia tertegun sejenak.
"Kamu sudah tergoda, ya." Xyever mencium bibir Kyra dengan cukup cepat. Namun, ia tak bisa terlalu lama menggoda Kyra. Cavero menariknya terlebih dahulu.
"Sayang, aku akan mengantarkanmu pulang, ya."
"Biarkan dia sama aku aja. Aku ingin memiliki banyak waktu bersamanya," ungkap Xyever.
"Enggak bisa! Biar aku aja yang mengantarnya pulang."
"Entar kamu malah nyasar. Biarkan dia bersamaku," kata Xyever. Dia sangat ingin menghabiskan waktu bersama Kyra, walau hanya sebentar saja.
"Aku pulang sendiri saja. Aku tidak mau merepotkan kalian," kata Kyra sambil menundukkan kepala.
Tiba-tiba pintu terbuka, mengejutkan mereka seketika. Seorang pria berpakaian rapi berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya.
"David? Kenapa kamu disini?" tanya Xyever.
"Saya disuruh tuan muda Keenan untuk kemari dan ingin mengantarkan nona ini ke rumah dengan selamat," kata David, tersenyum lebar.
"Huh? Aku selalu heran, kenapa dia selalu tahu apa yang terjadi disini, walau dia tak ada," batin Xyever.
"Kalau begitu kita pergi saja." Kyra tak mau berlama-lama berada di rumah itu. Xyever dan Cavero hanya menatap kepergian Kyra.
Sementara itu, Harrison memukul balik Devano. Ia menyerangnya secara bertubi-tubi. Sebenarnya, sebelum ada Kyra, mereka selalu bertengkar. Mereka tak pernah akur dari dulu. Devano mengusap bibirnya yang berdarah.
Harrison menatapnya tajam, ia mencengkeram baju Devano dan ingin memukulnya lagi. "Kenapa diam saja? Kamu nggak ingin memukul wajahku?" Devano tersenyum miring.
Tiba-tiba Harrison berubah pikiran. Ia mendorong Devano hingga tersungkur ke lantai. "Aku lebih baik mencari perempuan cantik itu daripada berurusan denganmu," ucap Harrison seraya meninggalkan pria itu.
Devano menghembuskan nafas sambil tersenyum kecut. Sepasang matanya menyipit, menatap punggung Harrison penuh dendam. Sebenarnya, ada dendam apa di antara mereka? Padahal, mereka berdua adalah kakak beradik.