Chereads / Sang Nona Muda Antagonis / Chapter 22 - Suara Rantai yang Berdenting

Chapter 22 - Suara Rantai yang Berdenting

Perhatian!

Di chapter berikut ini akan berisi adegan kekerasan dan penuh darah, penulis berharap kepada para pembaca tersayang dapat memutuskan sendiri bahan bacaan yang dirasa bijak. Dimohon untuk tidak meniru maupun mempraktekannya.

Suara tetesan air, aroma anyir dan semerbak busuk berhasil mematikan indera penciuman seorang gadis bersurai senja yang baru saja terbangun dari tidur siangnya yang tidak dapat disebut singkat.

Iris keabuannya masih berusaha menyesuaikan cahaya yang temaram. Veronica baru saja kembali dari perjalanan sekali perginya menuju negeri mimpi. Kini ia tengah mengerjap beberapa kali ketika ia telah tiba pada kesadarannya.

"Apa yang … terjadi?" tanyanya dengan suara serak. Ia dapat merasakan tenggorokannya yang terasa kering dan sakit. Selain itu ia dapat merasakan seluruh tubuhnya didera rasa sakit.

Putri bungsu Lindford masih saja tidak menyadari apa yang baru saja ia hadapi saat ini. Veronica memakan waktu cukup lama untuk memunguti jejak-jejak kesadarannya yang belum terkumpul seutuhnya.

Cring cring

Denting besi yang saling beradu berhasil mengusik pendengarannya. Veronica merasa aneh, setiap ia bergerak barangkali seinci suara gemerincing itu seolah mengikuti, sama halnya dengan rasa sakit yang terus mengekor.

"Sepertinya Anda tipe yang bisa tidur dimana saja, benar begitu Nona Lindford?"

Sebuah suara husky yang terdengar merdu mengejutkan gadis bersurai senja. Ia sangat mengenal siapa pemiliknya, sosok yang telah membuat dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Seorang Veronica Shuya De Lindford yang selalu dikenal akan paras manis dan sifat riang, tetapi putri satu-satunya keluarga viscount itu sulit ditaklukan.

Sayangnya hanya satu pria yang dapat membuat gadis pemilik senyuman secerah mentari itu bertekuk lutut. Siapa lagi jika bukan teman masa kecilnya⸺Alastair Dax Salvador.

Bertahun-tahun lamanya Veronica menaruh rasa pria berwajah dingin dan acuh itu, selama ini ia merasa di atas awan karena banyak gadis yang begitu kesulitan hanya untuk mendekat dan menjalin pertemanan dengan sang duke. Tetapi berkat hubungan pertemanan yang terbilang sangat baik antara duke terdahulu dan viscount. Bahkan ia semakin besar kepala ketika kedua orang tua mereka mengikatnya dalam tali pertunangan.

Itu semua berhasil membuatnya lupa diri. Seakan ia baru saja berhasil memenangkan lotre dan mendapatkan hadiah paling istimewa, posisi seorang istri sekaligus duchess yang diinginkan setiap wanita bangsawan lainnya.

"A-Alastair …" Suara serak Veronica memanggil sosok pria bersurai platina. Alastair telah berada di sana, duduk di atas satu-satunya kursi yang tampak mencolok karena bantalannya terbuat dari beludru.

"Jangan memandangku dengan tatapan memelas mu yang menjijikan itu. Vero, aku tidak akan luluh pada wajah anak anjingmu … asal kau tahu," ujar Alastair pedas. Riak wajahnya tidak berdusta dengan ucapannya. Kedua iris abunya membuang pandangan dari paras gadis bersurai senja di hadapannya yang tengah menatapnya intens.

Mendengar kalimat menusuk sang duke berhasil membuat cairan bening mengalir membasahi pipi porselen gadis bersurai senja yang tidak dapat berkata-kata. Hatinya terlalu sakit karena tanggapan yang diberikan padanya, padahal ia bukan orang asing. Ia adalah sahabat semasa kecil dan satu-satunya orang yang tidak pernah pergi dari sisinya.

Sayangnya manusia selalu bisa berubah. Kapan saja tanpa alasan apa pun, mereka pasti akan memiliki seribu satu sebab. Apa yang terjadi pada Alastair sebenarnya hal yang wajar dan kerap terjadi. Hanya saja si bungsu Lindford tidak pernah mau mengakui. Akal sehatnya dikubur hidup-hidup oleh perasaannya.

'Alastair masih menyayanginya, pria itu hanya sedang dibutakan oleh gadis ular yang culas. Earl tidak tahu diri yang menggoda sang duke demi keselamatan jiwanya,' sekiranya begitu kata-kata yang tertanam dalam diri Veronica selama beberapa tahun sejak pertunangan mereka berakhir.

"Astaga … mengapa kau tega sekali denganku? Alastair, aku adalah sahabat dan kekasihmu!" seru Veronica yang berteriak dengan suara serak⸺bahkan ia hampir tidak mampu berbicara dengan jelas akibat suaranya yang terdesak isakan.

"Sejak kapan kau kekasihku?"

"Aku adalah tunanganmu! Apa kau lupa?!"

"Mantan … tunangan. Sepertinya ingatanmu sangat kabur atau kau memang selama ini idiot sampai tidak memahami ucapanku beberapa tahun lalu. Sejak kapan kita masih memiliki hubungan satu sama lain?"

Tepat sasaran, Veronica dibungkam paksa dengan kenyataan yang baru saja dilontarkan si pria bersurai platina. Ia seolah baru saja dilemparkan dari atas langit dan menghantam bumi.

Tetapi memang begitulah kenyataan yang ada. Mau tidak mau Veronica harus terbangun, entah karena dirinya sendiri atau seseorang yang membangunkannya secara paksa. Hanya saja siapa sangka Alastair sendirilah yang melakukan itu.

Veronica tertunduk lesu. Helaian senja rambutnya menjuntai, menyembunyikan wajahnya yang semakin dialiri cairan bening yang semakin menganak sungai. Tidak ada seulas senyum riang dan ceria yang kerap disunggingkannya.

"Ini semua karena dia … jalang itu … Dracella memang sepantasnya mati!"

"Kau dicuci otak bukan oleh gadis gila yang menyedihkan itu? Dia bahkan menjalin perjanjian dengan iblis."

Veronica berteriak keras di dalam ruangan berteralis itu. Tangannya yang menghentak-hentak, menggoyangkan rantai besi yang mengurung kedua pergelangan tangan. Denting gemerincing terdengar menggema akibat gerak tubuhnya yang memberontak.

Deru nafasnya naik-turun. Wajahnya merah padam, mungkin saja kepalanya juga mengepul akibat amarah. Gadis itu tampak seperti sebuah teko yang baru saja mendidih. Tatapannya memincing tajam memandang sosok Alastair yang tidak bereaksi. Ia hanya diam⸺tidak bersuara barangkali hanya satu atau dua patah kata.

Dan itu justru semakin membuat tamu penghuni ruangan bawah tanahnya diliputi api amarah. Veronica menggeram kesal, "Apa yang sebenarnya gadis itu berikan sampai membuatmu meninggalkanku?!"

Alastair masih tetap bungkam, mengacuhkan pertanyaan Veronica.

"Aku akan memberikan segalanya! Asalkan kau kembali padaku, Alastair. Harta? Tahta? Atau mungkin … aku tahu!"

"Gadis itu pasti memberikan tubuhnya secara sukarela pad⸺"

Brakk cring

"Sekali lagi bibirmu lancang mencaci maki wanitaku akan kubunuh kau jauh lebih cepat, Lady Lindford."

Alastair mencengkram erat leher putih Veronica. Tangannya yang sedang mencekik gadis itu menampakan urat-urat hijau. Iris peraknya berkilat, rahangnya mengeras. Bahkan Darcel yang sedari tadi diam hanya dapat mengulum senyum tertahan.

'Ah … astaga, Tuan mudaku sangat marah. Nona, Anda baru saja menggali kuburmu sendiri,' kata Darcel dalam hati.

"Ugh-" lenguh Veronica saat merasakan lehernya yang semakin merasakan sesak. Ia merasa pasokan oksigen di dalam paru-parunya seakan baru saja disedot habis. Perlahan paras gadis bersurai senja itu memucat. Tangannya meraih lemah pergelangan tangan Alastair.

"Kau …seharusnya berkaca, siapa yang sebenarnya mengkhianati siapa. Kau seperti biasa selalu kekanakan dan memuakan."

"Duke, Anda tidak dapat membunuhnya terlebih dahulu, barangkali Anda lupa," sela Darcel yang membuat cengkraman Alastair melonggar.

Berdecak kesal, sang duke terpaksa melepas cekikannya. Veronica yang sempat melemas langsung terbatuk saat paru-parunya berhasil diisi oksigen kembali. Pandangannya sedikit mengabur, meski begitu ia masih dapat melihat seringai yang tercetak di paras pria di hadapannya.

"Aku tahu … mungkin ini akan menjadi peringatan pertama yang bagus untukmu."

"Argh!"

Alastair terbahak mendengar lengkingan tinggi suara gadis di hadapannya. Sang duke menunjukan sesuatu yang dilumuri cairan kental merah, "Aku mengambil salah satu yang selalu kau banggakan padaku."

"Sayang sekali … salah satu kuku mu tidak lagi bisa kau banggakan itu."