Chereads / Kami adalah Aku : Epiphany / Chapter 8 - Salah Paham

Chapter 8 - Salah Paham

"Aduh, eh." Jin tersadar dari lamunannya ketika Suga memukul lengannya cukup keras dan sialnya Gia sudah di depan wajahnya.

"Gua perhatiin dari tadi lu ngliatin gua ada masalah?" Tanya Gia cukup keras. Membuat Suga juga keempat pelanggan yang masih ada di dalam warung itu menganga.

"Hah? Egak kok mbak anu saya lihat itu, itu loh Pak Amin itu aja." Jin mencari alasan. Wajahnya sudah pucat pasi bicaranya pun gelagapan.

"Kalo emang liatin Pak Amin ngapain pake anu anu segala? Gagu lu?" Tanya Gia ketus.

"Egak egak mbak ampun mbak saya gak macem-macem kok." Jin mohon ampun mengingat cerita Suga tentang Gia yang menghajar dua preman sendirian tadi.

"Awas lu ya! Bang Agus, bilangin temen lu nih punya mata dijaga!" Gia memberi peringatan pada Jin juga Suga yang ada di sana.

"Iya iya non Gia. Maafin temen saya gak sengaja." Suga ikut bicara lagi.

Begitu Gia menjauh dan kembali ke tempat tambal ban Pak Amin. Sebuah pukulan lebih keras diterima oleh Jin di lengan kanannya.

"Lu juga sih udah dibilangin!" Suga ngomel dengan empat pelanggan yang cekikan dari tadi.

"Muka doang ganteng mas masa sama cewek cupu." Goda salah satu pelanggan yang tidak mereka tahu namanya itu.

Jin hanya melengos saja jadi bulan-bulanan di warung angkringan Suga. Begitu dilihat dari jauh Gia juga sudah tidak ada, Jin ikut pamit juga.

Di rumah Rea, seperti biasa hal pertama yang Gia lakukan setelah tiba adalah membuka dan menyalakan laptop lalu membaca diari mereka yang ada di sana. Membaca dengan tenang omelan Uri tentang tato di punggungnya bahkan tertawa mengejek. Membaca tulisan dari Rea,

"APA??? NIKAH???" Gia tentu saja terkejut dengan berita yang baru saja dia baca itu dan lansgung berlari turun menemui orang tua Rea.

Dari suara langkah kakinya saja, orang tua Rea tahu kalau Gia pasti marah besar dan apalagi kalau bukan karena berita itu. Sudah siap memasang badan di ruang tengah.

"Tolong seseorang jelasin ada apa ini? Apa yang gua baca di diari Rea itu bercanda kan?" Gia meyakinkan dirinya sendiri.

"Itu semua bener Gia. Kami mau Rea menikah." Papa coba mulai bicara.

"Sejak kapan Rea tiba-tiba mikirin pernikahan? Apa dia gak mikirin gua dan Uri? Kita kan belom ada yang bilang setuju sama pernikahan ini?" Gia meluapkan kemarahannya.

"Ini semua demi kebaikan Rea juga. Supaya dia bisa tetep berobat ke dokter dengan tenang kalau kami pergi ke Singapore." Jelas Bu Wulan.

"Kebaikan Rea? Hahaha. Kayanya ini buat kebaikan kalian sendiri deh. Bilang aja kalian udah gak mau ngurusin Rea lagi! Buktinya Rea baik-baik aja sekarang." Gia memang yang paling dominan bahkan kadang berpikiran lebih baik Rea dan Uri tidak ada karena dirinya lah sosok yang paling mampu menjaga diri juga mandiri dan berani.

"Tapi Rea emang udah setuju. Mama yakin Rea juga udah bilang di diarinya." Sejujurnya GIa bahkan belum sempat membaca ke titik itu.

"Arrgghh…!" Emosi membuatnya membanting hiasan meja yang ada di hadapannya hingga pecah. "Gua gak peduli. Gua akan bikin laki-laki itu gak akan mau nikah sama Rea!" Gia memilih pergi kembali ke kamarnya meninggalkan orang tua Rea yang menatap satu sama lain.

"Gimana ini pa?" Tanya sang mama khawatir.

"Udah mama tenang aja. Nanti kita bicara sama Rea dan Uri buat ngebujuk dia." Pak Estu coba menenangkan.

Berbeda dengan Gia yang bersikeras menolak, Uri memang terkejut saat pagi tadi bangun dan diberitahu oleh Bu Wulan bahwa mereka harus ke kantor untuk bertemu dengan calon suami Rea.

"Gimana gimana mih? Rea mau dinikahin?" Uri meyakinkan pendengarannya.

Bu Wulan sebetulnya letih juga harus mengulangi ucapan yang sama seperti yang kemarin sudah disampaikan ke Rea. Mungkin ini salah satu dari sekian hal yang menambah kekhawatirannya ke Rea.

"Pasti Uri belum membaca diarinya." Pikirnya.

"Iya Uri. Rea mau menikah. Uri bisa kan dukung Rea?" Pinta sang mama sudah mendekat dan duduk di ranjang samping Uri yang masih baru terjaga dari tidurnya.

"Uri masih kecil. Gimana kalo om itu macem-macem sama Uri?" Tanya nya polos.

"Nanti pasti om itu akan tahu tentang Uri dan Gia. Awalnya juga gak akan mudah sama seperti waktu Uri ketemu mamih papih. Tapi pelan-pelan pasti akan terbiasa kok. Uri bisa bilang kalo ini Uri dan bukan Rea jadi om juga bakalan tau." Mama Rea menjelaskan.

Walau ragu tapi Uri mengangguk juga. "Aku baca diari Rea dulu deh. Nanti Uri pikir-pikir lagi."

Dalam kepribadiannya, Uri adalah seorang anak keturunan Indonesia Australia yang memiliki orang tua yang lengkap dan menyayanginya. Dia merupakan bungsu dari tiga bersaudara dengan dua kakak laki-laki. Gadis 17 tahun yang aktif dan enerjik juga merupakan seorang ketua cheerleader di sekolahnya. Tak heran saat pertama Uri muncul, orang tua Rea begitu bingung karena anaknya tiba-tiba sangat fleksibel dan memiliki kemampuan akrobatik yang tiba-tiba di atas rata-rata. Sudah takut saja sang putri akan terjatuh atau terluka. Awalnya Uri pun mengelak dan mempertanyakan sosok orang tua Rea. Tapi seiring waktu Rea bisa dekat dan memanggil mereka papi dan mami.

Orang tua Rea sudah siap di lantai satu rumahnya. Beberapa kali memanggil Uri yang belum juga turun. "Uri, ayo keburur telat nak." Panggil sang mamih dari bawah.

"Iya mih dikit lagi." Tak lama suara langkah kaki berderap turun.

Uri muncul dengan cantik. Rambut lurus dan poni di catok sempurna dengan tambahan jepit cantik di sisi kepalanya. Gaun cantik dengan aksen renda bewarna pink lembut juga sepatu pantofel berwarna putih gading. Cantik walau tentu saja gaya berpakaiannya tak sesuai dengan umur yang seharusnya. Bagaimanapun senyum sang mamih tersungging sempurna.

"Cantik banget Uri." Puji Bu Wulan.

"Ya kita bakal ketemu calon suami Rea kan. Sebisa mungkin Uri dandan cantik buat dia. Supaya papih juga gak malu ngajakin Uri ke perusahaannya." Kata Uri yakin.

"Jadi, kamu setuju kan Rea nikah?" Bu Wulan memastikan.

"Heem mih. Gak apa-apa kok." Jawab Uri singkat.

"Hehehe makasih banyak ya sayang. Ya udah ayo berangkat. Papih udah nunggu di mobil." Ajak Bu Wulan.

Walau keluarga mereka sebenarnya sangat mampu kalau hanya untuk menyewa supir pribadi. Tapi itu tidak mereka lakukan karena masa lalu Rea. Setelah kejadian itu dia menjadi sangat takut pada sosok laki-laki apalagi yang tidak dia kenal. Pernah setelah kejadian itu keluarga Rea menggunakan supir pribadi lagi tapi Rea begitu histeris hingga terjatuh dengan cukup parah saat berusaha berlari naik ke lantai dua rumahnya sendiri. Pada akhirnya, Pak Estu selalu menyetir sendiri ke manapun tujuannya.