Jin nampak bingung di kamarnya. Dua pintu lemarinya terbuka lebar. Mengambil satu potong baju dan melihat pantulannya di cermin. Suara ketidakpuasan terdengar berkali-kali. Sang ibu yang kebetulan sudah mengamatinya dari tadi hanya tersenyum kecil di ambang pintu.
"Kenapa sih anak ibu yang ganteng ini bingung banget kayanya?" Tanya sang ibu bergerak masuk.
"Hm, nyari baju ini loh buk buat makan malam. Bingung aku mau pake yang mana. Supaya kesannya formal tapi santai." Kata Jin.
"Emang mau makan malam sama siapa sih?" Bu Utari masih mengamati Jin yang serius.
Jin menyadari dirinya belum bicara pada sang ibu. Dia memiih duduk di pinggir ranjang.
"Tadi pagi aku di telpon bu sama Bu Ifa. Dia bilang aku lolos dan ini tahap terakhir. Makan malam sama anak Pak Estu di restoran. Rea namanya." Cerita Jin singkat.
"Owh gitu, bentar ya." Bu Utari langsung mencari pakain dalam lemarinya. Mencari-cari di antara gantungan dan mengambil hem lengan panjang berwarna hitam. Mencari lagi dan mengambil dua buah vest rajut satu bewarna abu dengan kombinasi putih dan satu berwarna coklat susu.
"Kamu tinggal pilih pake warna yang mana. Kata ibu sih coklat bagus kesannya hangat. Tapi abu juga lebih dingin. Celana kamu tinggal menyesuaikan aja. Pake celana cargo juga bisa supaya gak terlalu formal dari pada celana kain." Tawar sang ibu.
"Ah,ibu baik banget. Urusan beginian gak pernah mengecewakan. Hehehe. Makasih ya bu." Jin nampak cukup puas dengan pilihan sang ibu.
"Semoga kamu di beri jalan yang terbaik ya. Kalau Rea emang jodoh kamu ibu yakin semuanya akan menjadi lebih mudah." Bu Utari bicara lagi.
Jin selalu bisa mengandalkan sang ibu. Jin juga selalu terbuka dengan ibunya. Banyak pelajaran hidup yang bisa dia dapat darinya. Perkataan ibu juga selalu bisa menenangkannya. Walau ibunya hanya penjahit saja yang bekerja di rumah bekal hasil kursus menjahit. Namun sebenarnya sang ibu ini juga seorang lulusan dari jurusan komunikasi bahkan sempat bekerja juga di sebuah perusahaan periklanan dulu saat dia masih muda. Hanya saja setelah kakak Jin lahir memang ibunya itu memilih untuk tidak bekerja di kantor.
Jin bersiap dan berangkat menggunakan motor kesayangannya. Ibu dan ayahnya hanya tersenyum saja dari teras rumah mereka. Sang ayah juga sudah memberi restu, siapa tau memang ini jalan kamu cara kamu untuk ketemu sama calon istrimu, itu katanya. Jin semakin mantap walau belum pernah tahu bagaimana sosok Rea sebenarnya. Tentu saja pertanyaan mengenai sosok Gia dan Uri masih bergelayut di pikirannya. Siapa tahu dia bisa mendapat jawaban dari pertemuan hari ini, pikirnya.
Tiba di sebuah resto yang terletak di sebuah hotel bintang empat di tengah Kota Jakarta. Jin membenahi rambutnya yang berantakan karena helm. Jujur saja dirinya merasa sedikit minder karena harus ke hotel semegah ini dengan motor bebek kesayangannya.
"Harusnya gua emang nurutin kakak untuk beli mobil dari kemaren-kemaren." Jin merutuki kebodohannya sendiri sambil berjalan masuk ke resepsionis. Restoran itu ternyata berada di lantai lima hotel ini. Begitu membuka lift dan berjaan sedikit ke arah resto, seorang pelayan sudah menyambutnya. Begitu Jin menyebutkan namanya, si mbak sigap melihatnya ke daftar tamu di sana.
"Owh meja untuk bapak sudah disiapkan. Silahkan ikuti saya." Resepsionis itu berjalan ke arah balkon yang tertutup tenda. Angin cukup kenjang dan dia bersyukur karena mengenakan rompi hangat saran dari sang ibu.
Entah kenapa Jin merasa berdebar juga. Apalagi melihat punggung serang wanita yang duduk sendiri di sebuah meja yang sepertinya sedang resepsionis ini tuju, dan benar saja.
"Ini pak mejanya silahkan duduk." Jin meneguk ludahnya kasar.
"Kenapa dia udah duuan duduk disini? Kesannya gua terlambat dong. Tapi kan janji ketemunya emang masih kurang 10 menit lagi. Argh payah." Si wanita masih tidak bergeming di tempatnya.
"Selamat malam Nona Rea." Jin mencoba menyapa.
Rea perlahan menoleh dan Deg. Ya itu memang Rea tapi juga sama persis dengan Gia dan Uri walau dengan penampilan yang berbeda.
"SIlahkan duduk aja mas." Rea tersenyum kaku.
Jin dengan perlahan dan mata yang tidak pernah lepas dari wajah Rea terus bergerak. Tidak seperti Gia yang frontal dan blak-bakan, atau Uri yang ceria dan percaya diri, Rea nampak kikuk dan malu. Cantik? Tentu saja walau riasannya juga tidak terlalu tebal. Rea juga nampak sedikit kurang nyaman karena pakaiannya yang sedikit ketat yang menempel di tubuhnya.
"Saya harus perkenalkan diri dulu. Saya Kanaka Jin Prawira. Nona Rea bisa panggil saya Jin. Tapi saya yakin Nona Rea sudah tahu tentang saya." Jin mengulurkan tangannya.
Rea membalas jabatan tangan Jin. Tangan yang terasa sangat dingin. "Saya Edrea Leta Qirani, mas bisa panggil saya Rea, gak usah pake nona."
Jin tersenyum renyah dan bicara lagi. "Maaf saya terlambat ya Rea."
"Mas gak telat kok. Emang saya aja yang kecepetan." Rea bicara lagi.
"Hm, ya tetep aja saya gak enak bikin kamu nunggu sendirian di sini." Jin bicara lagi dan Rea hanya tersenyum.
Malam ini memang dijadwalkan supaya Rea tertutama bisa mengenal dua kandidat untuk suaminya.
"Saya mau minta maaf dulu mas sebelumnya. Saya yakin mas juga pasti kaget dengan pengumuman dari papa saya yang tiba-tiba. Tapi kalau boleh tau, kenapa mas mau ya ikut tes ini?" Rea mulai bertanya. Tentu ada poin dan pertanyaan yang ingin dia sampaikan. Dia tak ingin menikah dengan laki-laki yang terpaksa menerimanya apalagi hanya memanfaatkannya. Tentu saja sulit untuk memulai pembicaraan seperti ini dengan pria asing, tapi lebih cepat lebih baik agar semua bisa cepat selesai.
Di lain sisi, Jin tiba-tiba ingin menarik perkataannya, ternyata Rea sosok yang kritis juga. Tidak menyangka juga sebenarnya kalau Rea langsung menanyakan hal ini.
"Saya juga awalnya sempat ragu. Sejujurnya CEO juga bukan posisi yang saya harapkan. Saya takut tidak bisa memenuhi ekspektasi Pak Estu. Saya takut tidak mampu menanggung semua beban pekerjaan di masa datang. Saya takut tidak bisa memberi kontribusi pada perusahaan. Terutama saya juga takut tidak akan bisa menjadi suami yang baik untuk putri beliau. Tapi saya berpikir lagi, Pak Estu sudah memilih saya menjadi salah satu kandidat pasti bukan tanpa alasan. Saya juga sudah bicara dengan kedua orang tua saya dan mereka memberi restunya. Jadi saya rasa saya harus mencobanya." Ungkap Jin panjang lebar.
"Menjadi CEO itu hal yang saya rasa bisa dipelajari. Papa saya juga pasti akan terus mengawasi dan membantu sebisa mungkin. Kalaupun suatu saat mas terbukti tidak bisa menjabat posisi itu, papa pasti dengan mudah menggantikannya. Tapi menikah kan lain soal mas. Menikah itu adalah ibadah yang sakral. Bagi saya sendiri sebisa mungkin dilakukan satu kali seumur hidup." Ujar Rea lagi.
"Bukankah itu gunanya kita bertemu hari ini? Supaya bisa mengenal satu sama lain? Setelah ini toh semua masih bisa dipertimbangkan. Tidak hanya untukmu tapi juga aku." Jin menutup pembicaraan.