"Masalahnya menikah dengan saya itu bukan hal yang mudah. Menikah saja sudah sulit, apalagi dengan perempuan yang berbeda seperti saya." Rea menekankan kata berbeda.
"Apa yang berbeda dari kamu?" Jin butuh memastikan semuanya. Entah Rea akan berkata jujur atau tidak.
"Sayaaa, saya mengidap gangguan kepribadian disosiatif. Saya punya dua kepribadian yang,," Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Jin sudah memotongnya.
"Gia dan Uri?" Jin menebak saja.
Rea tentu saja terkejut. Matanya membuat sempurna. "Kok,, mas bisa tau?"
"Saya sudah pernah ketemu mereka berdua." Jin menjawab penasaran Rea.
"Hah? Gimana ceritanya?" Tanya Rea penasaran.
Jin menceritakan saja singkat pertemuannya dengan Gia di warung angkringan temannya dan dengan Uri di perusahaan ayahnya.
"Pertama aku gak curiga karena aku emang belum pernah ketemu anak Pak Estu. Tapi emang sebenarnya rumornya di kantor udah kenceng banget dari dulu. Jadi ya awalnya saya antisipasi aja. Begitu Uri bilang dia punya papih mamih yaitu Pak Estu dan Bu Wulan aku mulai bingung. Sedangkan menurut Arjun anak Pak Estu hanya satu dan waktu itu yang ketemu aku hanya Uri bukan Rea. Apalagi setelah aku ketemu lagi sama Gia dan emang kalian semirip itu. Aku sampe browsing loh tentang gangguan kepribadian juga sedikit tanya sama temen yang kayanya lebih ngerti." Cerita Jin lagi yang masih membuat Rea terkesima.
"Lalu kenapa kamu bisa setenang ini? Kamu gak kahawatir dengan seperti apa pernikahan kita nanti kalau misal kita jadi beneran?" Rea penasaran.
"Ya jujur aja saya belum bisa bayangin. Nikahnya aja belum kok disuruh bayangin. Hahaha." Jin sempat-sempatnya bercanda mengundang tatapan serius dari Rea.
"Sorry sorry. Tapi apa salahnya menikah dengan istri dengan gangguan seperti itu? Anggap saja buy one get three kan. Hahaha." Lagi-lagi Jin bercanda sedangkan Rea sudah menuntut jawaban seriusnya.
"Mas, plis jangan bercanda!"
"Hehe maaf maaf. Menurut saya semua penyakit pasti ada obatnya. Jadi kalau memang kita beneran nikah ya pelan-pelan akan saya temani kamu sampai sembuh. Itupun kalau kamu memang ingin sembuh. Kalau tidak ya saya akan berusaha beradaptasi dengan kamu juga Gia dan Uri." Jawab Jin singkat.
"Bicara itu mudah mas. Mungkin akan sedikit mudah dengan Uri tapi Gia,," Rea bicara lagi.
"Kita tidak akan pernah tahu kalau belum mencobanya kan. Kamu bisa biarin aku ketemu sama Gia." Jin menjawab lagi.
"Kamu kelihatannya cukup yakin." Rea tesenyum melihat Jin. Baru kali ini dia melihat Jin dengan seksama. Ternyata pria piihan ayahnya ini tampan.
"Kenapa? Apa saya tampan?" Tanya Jin sambil mengedipkan satu matanya.
"Kamu pria yang penuh percaya diri rupanya." Rea menimpali.
"Dengan wajah seperti ini? Kenapa aku tidak bisa?" Rea tertawa geli. Jin memang seperti itu, suka bercanda dan mengelukan ketampanannya sendiri. Tapi itu memang tidak pernah menjadi masalah karena memang dia setampan itu.
"Makan dulu aja kalo gitu mas." Rea dan Jin mulai makan makanannya yang memang sudah tersedia sejak tadi.
"Kegiata kamu sehari-hari apa kalau boleh tahu?" Tanya Jin.
"Aku nulis. Novel internet gitu." Jawab Rea singkat.
"Wah keren. Cerita dong." Jin bertingkah imut.
"Agak ganggu ya mas. Hahaha." Rea menimpali.
"Ih ketawa." Jin menggoda Rea yang langsung berubah malu.
"Aku tuh suka drama tapi biasanya ada unsur fantasi. Sampe sekarang aku udah bikin sembilan judul novel dan banyak banget cerpen sampe gak keitung mungkin 20an. Aku suka kalo pembaca bisa ambil pelajaran dari apa yang aku tulis. Itu kenapa selalu aku masukin unsur-unsur pelajaran hidup di sana." Cerita Rea.
"Ya itu bagus. Apapun yang kita lakukan emang selalu harus bermanfaat untuk orang lain tapi terutama untuk diri sendiri." Jin bicara lagi.
"Hm?" Rea menatap mata Jin jauh ke dalam.
"Kenapa? Salah kata-kata aku?" Tanya Jin menyadari perubahan raut wajah Rea.
"Egak mas. Cuman takjub aja karena aku juga punya pemikiran yang sama. Sebenarnya aku ngerasa hidup aku tuh sulit sejak kecil. Apa lagi setelah kejadian itu lalu muncunya Gia dan Uri. Kadang aku ngerasa hidupku itu gak berguna. Cuman bisa nyusahin mama sama papa. Tapi makin kesini aku emang mikir harus ngelakuin sesuatu. Aku harus berubah jadi lebih baik lebih bahagia. Aku sadar harusnya aku lebih bersyukur karena banyak orang yang hidupnya pasti jauh lebih sulit. Aku pengen mama dan papa bisa ngerasa bangga karena punya aku. Dan pemikiran itu gak berhenti disitu. Aku pengen orang lain di luar sana juga semua bisa bahagia dari hal kecil yang bisa aku beri ya dari nulis ini." Jelas Rea panjang lebar.
Jin hanya mengamati saja dan mengangguk tanda setuju pada semua perkataan Rea.
"Ya salah satu alasan aku ikut tes ini juga buat orangtuaku. Aku yakin di titik ini pun mereka bangga punya aku juga kakak aku. Tapi aku pengen memberi mereka lebih dari ini. Aku ngerasa belum bener-bener bikin mereka senang. Ya siapa tahu ini memang jalannya." Jin menutup pembicaraan.
Angin berhembus cukup kencang malam itu. Jam di pergelangan tangan Jin juga sudah menunjukkan pukul 8:45 malam. Selebihnya mereka hanya berbincang ringan saja. Jin bertanya mengenai Gia dan Uri dengan harapan bisa lebih mengenal mereka. Rea juga bercerita mengani pengobatan yang sedang dilakukannya sekarang. Dia juga tidak lupa bercerita tentang diari antara mereka bertiga karena memang mereka tidak akan tahu apa yang di lakukan kepribadian lain saat menguasai tubuh mereka. Terakhir Rea meminta Jin berhati-hati apa lagi dengan kemungkinan pemberontakan dari Gia yang memang tidak setuju Rea menikah.
"Jangan kaget kalau misal tiba-tiba aku nyerang mas secara fisik ya, karena itu pasti Gia yang ngelakuin." Rea bicara.
"Emang kamu pikir aku bakalan takut gitu? Jangan remehin badan kurus aku ini. Badan aku emang gak berotot besar kaya cowok-cowok yang rajin nge gym itu. Tapi aku bisa silat loh. Jadi kamu gak perlu khawatir. Hehehe." Jin bicara lagi.
"Ya kita liat aja nanti mas." Rea menutup pembicaraan.
"Jadi gimana Rea? Apa kamu udah ngerasa cukup kenalan kita hari ini?" Tanya Jin penasaran.
"Ya mas aku rasa cukup." Jawab Rea.
"Jadi kamu nginep disini kan?" Rea mengangguk terhadap pertanyaan Jin.
"Ya udah biar aku antar ke atas." Jin menawarkan.
"Gak perlu mas." Jawab Rea.
"Ya harus dong. Aku kan harus bangun image sebagai calon menantu ideal." Jin malah bercanda.
"Argh, aku malas debat. Ya udah ayo." Dan Jin berdiri mengantar Rea ke lantai kamarnya menginap dengan Pak Estu dan Bu Wulan baru pamit dari sana.