Chereads / Kami adalah Aku : Epiphany / Chapter 16 - Bulan Madu Berantakan

Chapter 16 - Bulan Madu Berantakan

Jin masih setengah sadar saat tiba-tiba dirinya harus segera ke kamar mandi saat ingin kencing. Dia berjalan terhuyung-huyung dengan pandangan mata yang masih buram mencari kenop pintu kamar mandinya

Baru saja Jin membuka pintu.

"Arrrrggghh." Sebuah suara dari dalam mengejutkannya dan,

Bruuuk.

"Aduuuh." Jin tersungkur kembali ke lantai kamar karena tendangan yang cukup kuat ke dadanya. Iya dadanya. Entah mana yang harus diusapnya duluan sekarang pantat atau dadanya. Berusaha bangkit sekuat tenaga.

"Apaan sih Uri?" Karena seingatnya memang semalam dia masih tidur bersama dia.

"Mau ngapain lu? Mau merkosa gua lu ya?" Sebuah suara nyaring dari dalam kamar mandi.

Nampak Rea, hm sepertinya Gia sedang berdiri dengan rambut yang masih basah. Handuk melilit tubuhnya yang bahkan belum kering sempurna.

"Gia?" Jin memastikan.

"Gak usah sok bego lu!" Ya tentu saja itu Gia.

"Ya ya maaf gua gak tau lu didalem. Gua cuman mau pipis." Jin bicara sejujurnya sedangkan Gia bergerak mendekatinya.

"Ya udah sana buru. Ngapain masih disini? Kesenengan lu liat body gua hah?" Tanya Gia sinis.

Jin perlahan masuk ke kamar mandi dan bicara dengan cepat, "Badan lu tuh badan istri gua juga kali." Jin segera menutup pintu sebelum Gia menyemprotnya lagi.

Dimatanya entah Rea, Uri, dan Gia semua sama saja. Semua ya Rea istrinya dengan pribadi yang berbeda. Tapi ternyata sulit juga harus menghadapi ketiganya. Sepertinya masalah sebenarnya dari rumah tangga uniknya bersama sang istri baru saja dimulai.

"Bulan madu apaan? Kayanya ini liburan keluarga deh. Bukannya bisa mesra-mesraan sama istri. Gua jadi harus ngurus bocil sekaligus cewek pemarah." Batin Jin masih meraba dadanya yang di tending oleh Gia tadi.

"Gila tuh cewek. Kok bisa-bisanya dia nendang gua setinggi itu mana sakit lagi." Jin membatin lagi beralih mencuci tangannya.

"Gua harus bisa sih ngatasin Gia. Pelan-pelan dia pasti bisa nerima gua sebagai suami dari Rea. Mungkin hari ini emang kesempatannya. Gua harus nunjukin kalo gua memang suami yang tepat untuk Rea." Jin rupanya bertekad.

"Lu sabar ya tong di bawah sana." Jin melirik pada celananya yang mengembang hanya karena membayangkan ada istrinya di luar sana yang belum tersentuh. Jin akhirnya memilih untuk sekalian mandi saja untuk mendinginkan gairahnya sendiri.

Gia sudah mengenakan pakaiannya, hotpants jeans dan tanktop longgar bergambar band favoritnya, sedangkan rambut hitam sebahunya dibiarkan terurai berantakan. Jangan lupakan tato yang terpampang nyata di lengan juga sedikit di dada dan punggungnya. Tangannya bersilang di depan dada, sudah siap dengan segala sumpah serapahnya.

Baru saja Jin memutar kenop pintu kamar mandi, dari sudut matanya dia bisa melihat Gia mengawasinya. "Here we go again." Batinnya.

"Lain kali kalo pintu itu ketutup, lu ketok dulu dong, ada orang kagak. Masa gitu aja mesti gua ajarin?" Gia sudah berbicara sinis.

Jin menghela nafas. Memilih duduk di kursi lain yang memang berhadapan dengan kursi Gia sekarang. Sebuah meja kecil memisahkan mereka.

"Gia, gua kan udah minta maaf. Gua gak sengaja. Gua pasti akan ketuk pintu lain kali. Dan ada yang pengen gua omongin sama lu kalo lu gak keberatan." Jin mencoba meminta ijin.

"Apa?" Singkat, padat, dan jelas.

"Jujur gua gak ngerti kenapa lu benci banget sama gua. Menurut gua semua kebencian lu ini, ketidaksukaan lu sama gua itu gak berdasar. Rea bahkan Uri dengan senang hati menerima gua ke dalam hidup mereka. Gua bukan mau sombong tapi gua yakin itu karena mereka bisa ngeliat sesuatu dalam diri gua, yaitu ketulusan. Gua tulus sayang sama Rea dan kalian. Ya mungkin semua ini kecepetan buat lu dan lainnya, tapi jujur buat gua juga sama. Bahkan sampe sekarang gua masih sering mikir ini mimpi. Gua gak pernah nyangka bakal ketemu Rea dengan cara seperti ini dan gua juga gak pernah kira kalo akan secepet ini juga jatuh cinta sama dia." Jin serius menatap Gia yang melihatnya masih dengan tatapan nyalang.

"Lu tenang aja. Gua gak akan bertindak gegabah. Gua juga gak mau buru-buru. Gua sama Rea masih sama-sama belajar disini. Sama-sama mengenal satu sama lain. Kita masih punya banyak waktu untuk itu, seumur hidup. Gua juga menghargai Uri dan lu sebagai bagian dari Rea. Kalo memang lu butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa gua memang pantas untuk Rea ya silahkan. Gua ngerti kalo lu khawatir dan lu takut Rea pada akhirnya bakalan lebih perhatian sama gua suaminya dan pelan-pelan ngelupain kalian. Gua gak tau bener ato gak ngomong ini, tapi bukannya Rea pantas bahagia?" Sungguh kata-kata terakhir Jin menampar Rea dengan sangat keras.

"She is happy with us Jin, even before he met you!" Gia bersikeras.

"Oh ya, tentu. Gua sangat yakin dia bahagia dengan kehidupannya. Ada orang tua yang begitu sayang, kehidupan yang berkecukupan, karirnya juga lancar, ada lu juga Uri yang selalu menemani. Tapi coba lu inget-inget deh. Kapan terakhir kali dia ketawa? Ato kapan terakhir kali dia begitu antusias akan sesuatu?" Pertanyaan lain yang lagi-lagi membungkam mulut Gia.

"Gua mau ke resto dulu, nyari kopi di sana, sekalian sarapan. Kalo lu mau lu bisa nyusulin nanti. Kita bisa jalan-jalan." Jin memilih untuk pergi meninggalkan kamar bulan madunya itu.

Gia masih termenung di sana memikirkan semua kata-kata Jin. Dirinya memang nampak keras di luar tapi jauh di dalam dirinya dia rapuh. Dia juga sadar bahwa dia dan Uri yang dianggap selalu "ada" untuk Rea, faktanya tidak pernah benar-benar ada. Mereka hanya bertemu melalui diari ketiganya dan berusaha merasakan kehadiran satu sama lain melalui tulisan. Dia sadar dan sama sekali merasa tidak berhak untuk mengatur kehidupan Rea. Merenggut tubuhnya saja walau hanya satu-dua hari rasanya salah.

"Apa emang ini waktunya gua buat nglepasin Rea juga hidup gua sendiri?" Rea bertanya dalam diri.

Bukan tanpa alasan sebenarnya Gia mendorong semua orang yang berusaha mendekatinya bahkan termasuk orang tua Rea. Dia tak ingin merasa semakin nyaman ada di dunia ini dan berakhir memperbesar keinginannya untuk "mendominasi". Tentu saja "melebur" itu tidak mudah. Gia harus merelakan semua kehidupannya, kecintaannya terhadap seni yang selalu dia tuangkan saat membuat tato. Rasanya seperti kamu harus membunuh dirimu sendiri walau tentu saja itu tidak benar terjadi karena toh tubuh Rea dan semua pribadinya akan masih ada.

"Hah, bodo amat. Toh Rea gak pernah protes sama kehadiran gua dan Uri." Gia akhirnya memilih pergi.