"Ayo pindah ke kasur mas. Kasian mas tidur disini pasti gak nyaman." Rea mengajak Jin pindah ke ranjang.
"Hm, eh iya iya." Walau sedikit tergagap Jin membawa bantalnya. Jujur saja kantuknya sudah berat karena aktifitas panjang bersama Gia siang tadi, tapi melihat Rea yang entah kenapa malam ini menunjukkan penampilan yang berbeda membuat Jin berdesir juga. Sebuah gaun tidur berwarna merah kontras dengan kulitnya yang putih dan dia bahkan sedikit merias wajahnya untuk hanya tidur.
"Kenapa cantik banget cuman mau tidur doang? Kamu mah mancing-mancing terus Rea. Pikiran udah travelling aja nih sialan!" Jin mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Jin membaringkan diri menghadap plafon atas kamarnya sedangkan Rea entah kenapa berbaring menyamping menatap dirinya. Menutup tubuh mereka dengan selimut tebal yang hangat.
"Mas udah ngantuk?" Tanya Rea tiba-tiba dengan wajah yang luar biasa merona.
"Ya lumayan sih dek soalnya badan capek tadi siang habis jalan sama Gia. Kenapa?" Jawab Jin yang mau tidak mau jadi ikut tidur menyamping menatap Rea.
"Owh gitu, ya udah kalo gitu aku kira mas ma-, hmmph." Jin mencium bibir Rea lembut. Saking terkejutnya Rea tak sanggup membalas dan Jin yang berinisiatif memperdalam ciuman mereka. Membiarkan Rea merasakan sapuan lidah Jin di dalam rongga mulutnya.
Jin melepas ciuman yang sudah sukses membuat deru nafsunya memuncak. "Mas boleh minta jatah mas malam ini?"
"Bukannya mas bilang capek tadi?" Tanya Rea balik yang juga masih mengatur detak jantungnya sendiri.
"Iya capek tapi egak untuk yang satu ini." Jin tersenyum penuh arti dan berpindah menindih tubuh Rea, bertumpu kepada kedua lengannya dan kembali menciumnya.
Sejujurnya seluruh pengalaman ini membuat Rea mau tidak mau sedikit mengingat lagi pelecehan seksual yang pernah dialaminya saat kecil, tapi ini suaminya yang sah yang ada di hadapannya. Dia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak lepas kendali karena takut tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Tubuhnya kaku, matanya tertutup rapat, dan bahkan dia menggigit bibirnya sendiri. Rea bahkan menangis saat Jin mulai menyentuh payudaranya.
Jin yang awalnya sibuk mencium leher istrinya itu dengan cepat menyadari perubahan sikap Rea. "Mas bisa nunggu kalo kamu belum siap tapi plis kamu jangan nangis."
Rea dengan cepat membalasnya dengan gelengan kepala. "E-egak mas. Rea mau menunaikan salah satu kewajiban istri ke suaminya. Ini hak mas dan aku mau kasih itu ke mas. Aku sendiri juga pengen banget mengatasi trauma aku dari dulu ini. Lagipula,,," Rea menggantung ucapannya.
"Kenapa?" Tanya Jin.
"Lagipula aku gak yakin mas bisa nunggu lebih lama lagi." Rea tersipu malu penuh arti saat melirik sesuatu yang begitu kokoh di bawah sana.
"Reaaa kamu ya." Jin menyentil dahi Rea.
"Aww mas sakit." Rea mengusap dahinya sendiri.
"Ok. Buka mata kamu dan sebut terus nama aku biar kamu gak inget sama pengalaman buruk kamu yang dulu." Jin menatap Rea serius yang balik menatapnya ragu.
Rea kesulitan menelan ludahnya sendiri dan mengangguk lemah. Jin bergerak perlahan dan lembut kembali menyentuh setiap inchi tubuh sang istri. Dia ingin menunjukkan betapa menyenangkannya apa yang mereka lakukan ini ketika dilakukan atas dasar cinta. Jin juga ingin menghapus semua jejak pahit yang ada di tubuh Rea dan menggantinya dengan memori manis.
Hingga entah sejak kapan tidak ada lagi sehelai benang yang menutupi tubuh mereka dan mereka begitu terpesona dengan tubuh masing-masing.
"Mas sudah gak bisa mundur lagi." Suara Jin yang berat seakan menusuk telinga Rea seiring dengan gesekan milik mereka di bawah sana.
"Then do it Jin." Jawab Rea bercampur desahan dan Jin melakukannya.
Ruangan ber-AC itu terasa sangat panas. Keringat mengalir membasahi tubuh mereka. Suara desahan menggema memenuhi ruangan dengan nama yang disebut bergantian. Perih dan letih bahkan sudah tak terasa karena nikmat yang meraja. Hingga Jin mengerang dan menyemburkan seluruh cairan cintanya di dalam tubuh sang istri Rea.
Kedua tubuh tanpa busana masih terbaring disana tertutupi selimut. Kedua insan itu masih menata deru nafasnya juga detak jantungnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam dan ini berarti sudah satu jam mereka bercinta.
"I love you so much Rea." Jin mencium pelipis Rea.
"I love you too mas ganteng." Respon Rea.
"Ahahaha. Mas ganteng? Jadi kamu mengakui aku ganteng gitu?" Tanya Jin yang masih mendekap Rea dalam pelukannya.
"Iya mas emang ganteng. Aku kan realistis dan jujur apa adanya. Salah satu mas jadi kandidat untuk menikah sama aku selain karena emang kinerja mas kan juga karena mas ganteng. Bahkan Uri juga dari awal bilang supaya aku mempertimbangkan mas karena salah satunya mas ganteng banget kata dia." Jelas Rea yang mendadak cerewet.
"Ya bagus deh kalo gitu. Berarti mata mereka semua sehat." Jawab Jin dengan kepercayaan diri tinggi.
"Mas minggir, aku mau ke kamar mandi bentar." Pamit Rea.
"Mau ngapain? Gak usah lah." Rengek Jin yang mendadak bucin.
"Ih gimana sih mas. Ya mau bersih-bersih lah. Lengket banget badan aku." Rea merengek.
"Ya tunggu bentar lah. Biar benih yang ku tanam disini bisa tumbuh." Tangan Jin nakal membelai kemaluan milik Rea di bawah sana.
"Ah mas ini loh tangannya loh." Rea menepisnya. Tentu saja dia masih malu walau dia dan Jin sudah melakukannya barusan.
"Eh tapi mas mendadak mendapat sebuah ide brilian terima kasih kepada otak encer Kanaka Jin Prawira." Kata Jin tiba-tiba bersemangat.
"Apa itu mas?" Rea serius penasaran.
"Aku harus tanam bibit lebih banyak supaya kemungkinan tumbuh lebih besar. Siapa tahu nanti bisa langsung keluar empat atau lima bayi dari perut kamu." Jin menatap Rea dengan senyum jahil penuh arti.
"Ya ampun mas. Gak ada begitu rumusnya. Dikira aku kucing apa?" Rea cemberut yang mengundang tawa renyah Jin.
Malam itu berakhir dengan Jin yang meminta jatahnya lagi, lagi, dan lagi. Mereka bahkan melakukannya di seluruh penjuru ruangan. Sofa, kamar mandi, bahkan dapur. Kegiatan super panas yang pada akhirnya berakhir pada pukul empat pagi. Mata yang sangat berat dan tubuh yang benar-benar lelah membuat Rea tertidur sedang Jin memeluk pinggang istrinya dengan mata hampir terpejam.
"Egois gak sih kalo aku minta kamu jangan pergi-pergi lagi Re? Aku jadi takut kalo besok bangun bukan kamu lagi yang ada di sebelah aku." Jin berbisik hampir tak terdengar.
Jin tentu saja bukan membenci Gia dan Uri, tapi setelah malam ini, perasaanya pada Rea menjadi begitu nyata. Dia ingin Rea yang menyambutnya sepulang kerja, menemaninya minum kopi, dan berbaring disampingnya saat tidur. Jin ingin memiliki Rea dan waktunya seutuhnya.