"Udah malem banget mas. Kita pulang sekarang?" Rea membuyarkan lamunan Jin.
Jin segera mengecek jam tangannya sendiri. Ternyata memang sudah jam setengah delapan malam dan itu berarti mereka sudah melewatkan satu setengah jam duduk di dalam restoran itu.
"Ngobrol sama kamu gak kerasa Re." Jin memandang jauh ke dalam mata Rea.
"Kenapa sih mas kok gitu banget liatnya?" Tanya Rea penasaran.
"Hm, mas tau awal mas nikah sama kamu mas bilang sama kamu akan berusaha menerima Uri dan Gia. Mas juga bilang kita masih punya waktu seumur hidup untuk membuat kamu 'membaik'. Tapi mas gak tau bisa nepatin janji itu atau egak Re." Jin terdengar tak enak hati.
"Emang kenapa mas? Mas gak bisa nerima kondisi aku kaya gini?" Rea sudah nampak bimbang.
"Bukan! Bukan itu maksud aku. Jujur aja aku kadang takut kalo kamu tidur. Aku takut sosok kamu hilang dan tergantikan oleh Gia atau Uri. Aku takut itu gak hanya untuk satu atau dua malam. Aku takut itu akan selamanya." Jin bicara panjang lebar sedangkan Rea hanya diam berusaha mencerna. Tangan Jin sudah nampak menggenggamnya erat.
"Maafin aku karena aku egois banget. Tapi aku cinta banget sama kamu Rea. Aku bukan gak suka sama Uri atau Gia. Tapi aku cuman pengen kamu yang selalu ada di samping aku." Suara Jin melemah.
Hari yang semakin malam membuat mereka memutuskan untuk pergi. Mereka masih punya banyak waktu untuk dihabiskan dalam perjalanan pulang. Sedangkan entah apa yang dipikirkan oleh Rea, dia hanya nampak tersenyum lemah saja menanggapi tatapan mata Jin padanya. Membuat pria itu bingung apakah Rea mungkin tersinggung dengan kata-katanya.
Sejujurnya Rea sama sekali tak tersinggung, karena dia merasakan hal yang sama dengan suaminya itu. Kalau boleh memilih, dia tak ingin bertukar posisi dengan Gia dan Uri lalu melupakan apa yang sudah dia lalui. Kalau boleh dia sangat ingin hanya menjadi dirinya sendiri dan tidak lagi bersembunyi dalam dua pribadinya yang lain. Tentu saja jalan satu-satunya saat ini adalah berobat. Dulu memang dia tak memiliki motivasi yang cukup untuk semangat melakukannya, tapi kini dia punya. Ada suami yang ingin dia jadikan teman untuk menghabiskan waktu bersama.
Perjalanan pulang itu begitu sunyi karena sepasang pengantin baru itu larut dalam pemikirannya masing-masing. Jin menatap kosong ke depan sesekali mencuri pandang pada Rea, sedangkan istrinya hanya melihat pemandangan dari luar jendela di sampingnya, walau tangan mereka masih bertaut. Bahkan Pak Made sampai memastikan dari dalam pantulan cermin dan memastikan keduanya baik-baik saja. Bahkan hingga tiba di penginapan, mereka berdua hanya mengucapkan terima kasih singkat. Tepat setelah Rea membuka pintu kamar, Jin menarik tangan Rea agar menghadap padanya.
"Tunggu Re. Mas minta maaf kalau kata-kata mas tadi ada yang salah. Mas tetap akan bersabar dan dampingi kamu sampe kamu bener-bener sembuh." Ucapnya lalu melepas pegangan tangannya dan berlalu ke kamar mandi."
Terdengar suara keran air dari dalam sana, suaminya itu pasti segera mandi, seperti yang selalu dia lakukan, tidak betah kalau badan kotor, beda seperti dirinya yang memang dirasa harus diubah sejak saat ini. Perlahan Rea menanggalkan pakaiannya dan masuk tanpa suara ke dalam kamar mandi. Tidak pernah dikunci, tentu saja karena hanya mereka berdua yang ada di kamar ini. Rea menatap punggung lebar Jin yang menghadap ke arah shower. Satu tangannya menumpu tubuhnya sendiri sedangkan dirinya membiarkan air membasuh bersih ujung kepalanya.
Rea perlahan melingkarkan tangan di pinggang suaminya, tentu saja Jin refleks menoleh, mendapati istrinya sedang memeluknya dengan tubuh yang basah. Memeluk tubuh istrinya itu dan menatap matanya dalam.
"Maafin aku ya mas tadi diem aja sepanjang perjalanan pulang tapi Rea sama sekali gak marah sama mas. Rea cuman minta mas sabar ya dan jangan bosen-bosen nemenin Rea berobat sampe sembuh. Rea janji akan berusaha dengan kuat dan sungguh-sungguh buat kebahagian aku juga mas. I love you mas." Rea menatap manik mata Jin dalam. Tanpa waktu lama Jin mencumbunya mesra di bawah guyuran air itu.
Pada akhirnya tentu saja mandi yang harusnya selesai dalam waktu 15 menit bisa menjadi satu jam karena Rea yang menerobos masuk. Tidak lain tidak bukan hanya ingin menunjukkan betapa besar perasaannya pada Jin, suaminya. Letih karena seharian beraktifitas membuat Rea dan Jin bebaring di atas ranjang dengan selimut menutup tubuh mereka. Belum lagi tubuh kedinginan karena terlalu lama di kamar mandi.
"Dingin banget mas." Ucap Rea yang mulai bersin karena dingin.
"Hehe. Maaf maaf. Siapa suruh ikutan mas mandi. Ya mana bisa mas menyia-nyiakan kesempatan." Jin membela diri.
"Hehe. Iya aku juga salah. Ngebangunin singa tidur." Rea terkikik.
"Nah itu tau. Hehehe. Besok kira-kira, siapa yang bakalan nemenin mas ya?" Tanya Jin dengan senyuman.
"Hm, gak tau deh mas." Rea berkomentar dengan mata setengah tertutup karena ngantuk.
"Dengan otak yang pas-pasan ini aku masih mikir kok bisa ya kamu yang sekecil ini bikin dua kepribadian lain yang beda banget sama kamu dan kamu punya bakat luar biasa di keduanya." Cerita Jin.
"Menurut mas gitu?" Tanya Rea penasaran mengenai dirinya.
"Ya kamu bisa liat sendiri hasil tato Gia kan, terus juga Uri yang jago cheerleader. Itu berarti kamu bisa ngelakuin itu semua. Kamu jago gambar juga jado dance dan atletik. Iya kan? Kan mereka semua asalnya dari kamu aja." Tanya Jin.
"Iya bener juga sih mas. Hehehe. Aku pasti jadi perempuan yang hebat banget ya kalo nanti bisa sembuh?" Tanya Rea pada Jin.
"Iya gak usah nanti lah. Sekarang pun kamu hebat tapi nanti bakal plus plus plus. Mas malah takut tapi Re. Takut kalo kamu marah terus aku dipukul ato ditendang." Ucap Jin serius.
Rea yang mengingat lagi cerita Gia yang memang sempat menendang Jin jadi tertawa lagi. "Hahaha. Ya salah mas sendiri."
"Malah ngeledek. Iya mas yang salah iya." Jin memelas.
"Hahaha. Ya moga egak deh mas. Tapi gak tau lagi kalo suatu saat mas berani macem-macem dibelakang aku." Rea mengancam dengan melotot.
"Ya mana berani aku Re. Gak cuman diserang satu orang tapi tiga sekaligus. Bisa babak belur muka ganteng mas." Jin bercanda lagi.
Tawa mereka mengantarkan keduanya tertidur. Jin nampak pulas dengan satu tangan berada di bawah kepala Rea sebagai bantalan. Rea yang awalnya sudah sangat mengantuk jadi sibuk menatap Jin untuk sesaat sebelum benar-benar ikut tidur dalam pelukan sang suami.