Mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat pertama yang akan dikunjungi hari ini. Sebuah museum tiga dimensi yang cukup unik di Bali. Jin hanya ikut saja karena Uri jelas sudah tahu tempat seperti apa yang akan mereka kunjungi. Di kursi belakang, sesuai perjanjian Uri memanggilnya mas seperti yang Rea lakukan sekarang. Tidak mau menarik perhatian Pak Made yang sedang menyetir di depan. Bagaimana bisa seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan om.
Uri nampak cantik dan begitu ceria dengan rok mini berwarna pink dan kaos putih bergambar. Rambutnya di gerai dengan bando senada menghiasi kepalanya. Sebuah kamera polaroid menggantung di lehernya. Cantik tentu saja hanya ya memang pakaiannya nampak tak begitu sesuai dengan usianya tapi Jin bisa apa. Untungnya Rea memang memiliki postur tubuh yang mungil jadi pakaian apapun akan cocok untuk dirinya.
"Kamu sebenernya lebih suka difoto atau fotoin sih?" Jin bertanya.
Uri menoleh. "Owh ini? Ya aku cuman suka aja sih om eh mas. Tapi gak sejago itu. Tapi di foto juga suka asal yang foto jago. Hehehe."
"Maksudnya? Kamu foto model gitu?" Tanya Jin.
"Ya bukan foto model profesional juga sih mas. Tapi kalo ada temen-temen yang minta aku jadi objek foto, aku gak keberatan. Gara-gara itu aku pernah sekali dapat tawaran main iklan." Entah apa ini memang hanya cerita karangan yang tertanam di pikiran Uri saja atau memang pernah kejadian tapi Jin hanya mengangguk saja.
"Eh serius loh aku. Emang iklannya udah lama sih sekitar tiga tahun lau. Tapi mungkin kalo mas liat di Youtube masih ada. Iklan makanan ringan doang sih itu juga bareng-bareng jadi gak terlalu menonjol." Uri bercerita lagi karena Jin nampak ragu.
"Kayanya emang aku belum banyak kenal kamu ya Ri. Siapa sih kamu tuh sebenernya?" Jin bertanya penasaran dengan suara yang lemah agar Pak Made tak dengar.
"Hehe. Iya kah? Nih ya om, nama aku tuh Lalita Uriana. Aku anak kedua dari dua bersaudara yang kakak aku tuh udah meninggal. Banyak yang bilang dia meninggal karena aku. Tapi kata orang tua aku saat itu, itu hanya kecelakaan saja karena emang kakak aku meninggal waktu jemput aku pulang sekolah." Jelas Uri.
"Terus orang tua kamu?" Tanya Jin bingung.
"Ya ada kok mereka. Aku ketemu mereka pas aku gak lagi ada disini kalo mas ngerti maksud aku." Uri coba menjelaskan.
"Ah gak tau ah aku bingung." Jin berpindah pandangan.
Jujur bidang ini memang diluar kemampuannya. Dia tidak tahu bagaimana seseorang kepribadian bisa memiliki sebuah latar belakang yang lengkap mengenai kehidupannya. Sepertinya dia memang harus segera kembali ke Jakarta dan menenui Dokter Dita, dokter kejiwaan Rea agar dia bisa memberi sedikit penjelasan padanya.
"Gak usah bingung-bingung lah mas. Jalani aja." Uri tersenyum ceria menampilkan sederet giginya yang putih.
Tak lama mereka tiba di lokasi pertama. Dari depan memang tidak terlihat terlalu mencolok. Saat masuk pun hanya memang ada beberapa gambar disana dan resepsionis yang menyambut. Tertulis Ice Cream World dengan nuansa kebanyakan berwarna pink. Demi kenyamanan bersama mereka memang harus menunggu hingga seorang pemandu mengantar mereka ke dalam. Hal ini dilakukan agar antrian untuk foto tidak terlalu panjang dan semua pengunjung bisa mengambil gambar dengan nyaman.
"Gimana om? Lucu kan?" Bisik Uri pada Jin yang sedang menunggu di sebuah bangku.
"Ya gimana bisa bilang bagus ato egak kan belum bisa liat apa-apa dari sini." Jin menanggapi dengan tawa kecil.
"Hahaha. Iya juga sih ya om." Uri ikut duduk di samping suaminya itu.
Mereka melepas alas kaki dan bersiap masuk saat seorang pemandu siap di hadapan mereka. Saat Jin masuk museum yang sebenarnya lebih banyak mengarah ke instalasi seni ini nampak indah. Dominasi warna cerah termasuk pink nampak indah. Uri sedari tadi sudah memintanya berpose dengan berbagai cara dan posisi. Sang pemandu untungnya mau membantu juga untuk memotret mereka menggunakan kamera polaroid yang Uri bawa. Walau awalnya terlihat antipati, tapi Jin menikmati juga.
"Om eh mas. Yang semangat dong mas. Biar muka gantengnya keliatan gitu loh." Awalnya malu-malu tapi Jin menurut saja saat sang pemandu memberi instruksi.
Jin membuat tanda damai atau tanda hati dengan tangannya. Kadang kala memonyongkan bibirnya yang tebal itu. Membuat banyak pose lucu dengan wajah tampannya. Berpose dengan beberapa properti yang memang sudah disediakan disana. Bahkan dia memeluk sebuah boneka super besar hampir setinggi dirinya dengan senyum imut. Jujur saja dengan Uri, Jin tidak ragu mengeluarkan sisi kekanak-kanakannya. Bukan berarti dia tidak bisa melakukannya saat bersama Rea tapi ada sedikit gengsi disana. Berdua dengan Uri yang memang tak kalah imutnya seakan dia mendapat partner sepadan. Jin bertingkah sangat imut di depan Uri walau sang pemandu sudah menahan tawa geli dari tadi.
"Aku tau dari Rea kalo om suka warna pink, makanya aku langsung bawa om ke sini. Aku juga sukaaa banget warna pink sebenernya. Hehehe." Bisiki Uri yang tengah berjalan di sampingnya.
"Iya kah? Jadi samaan dong kita?" Tanya Jin bersemangat.
"Iya om. Tapi aku gak nyangka ternyata om sesuka itu. Nih liat nih hasilnya. Hahaha. Om jauh ebih ekspresif daripada aku nya." Uri semangat menunjukkan hasil jepretan sang pemandu pada Jin.
"Hahaha. Konyol banget muka aku. Kamu juga nih ganjen banget gayanya." Jin tertawa saja melihat hasil fotonya.
"Tapi lucu kan? Hehehe." Uri tertawa kecil.
"Tapi hasilnya gini banget ya? Ada yang miring, ada yang tangan si abangnya ikut kefoto, aku juga ini belum siap." Jin mengamati lebih jauh.
"Justru karena itu om aku suka kamera ini. Hasinya lebih realistis kan. Lebih jujur dan apa adanya. Daripada kamera digital yang penuh settingan. Kadang masih diedit lagi supaya dapet hasil yang kita mau. Hehehe."Bela Uri pada hasil foto yang dia dapat.
"Wah, gak nyangka juga pemikiran kamu jauh lebih dewasa dari usia kamu." Puji Jin.
"Kan katanya usia cuman angka om. Yang penting tuh ada disini dan disana." Uri menunjuk dada dan kepalanya bergantian.
"Emangnya om umur aja 40 tapi tingkah 15?" Uri menggoda.
"40? Heh aku gak setua itu ya Uri! Emang gak bisa liat ini muka mulus dan ganteng om. Mana ada umur 40 kaya begini wujudnya." Jin langsung sibuk berkaca di sebuah dinding kaca besar di dalam salah satu ruangan.
"Hahaha. Tuh kan. ABG labil!" Goda Uri tanpa henti.
"Kamu tuh bocah tengil!" Jin mengejar Uri dan mengurungnya dalam himpitan tangannya. Uri hanya tertawa saja melihat tingkah suami Rea yang sedang memeluknya itu.