"Gia!" Seru Jin dari dalam kamar.
"Sorry sorry gua kan gak tau." Ucap Gia.
"Hh, ya udah lah. Anggap aja kita impas. Aku pernah liat kamu dan kamu pernah liat aku. Hanya dengan menggunakan handuk." Jin mendudukkan diri di sofa panjang di samping Gia yang ada di ruang tengah.
"Ya udah gua mau ke tempat tato dulu." Pilihan yang tepat daripada dia harus berada di rumah berdua dengan Jin.
"Ini udah malem Gia!" Cegah Jin yang melirik jam dinding dan memang menunjukkan pukul delapan malam.
"So what? Selama ini aku juga selalu begini kok. Rea juga gak masalah. Gua juga kerja disana bukan lagi ngobat ato mabok." Ucap Gia yakin.
"Bahaya Gia! Inget badan kamu itu bukan punya kamu aja tapi ada Rea sama Uri juga. Kalo ada apa-apa gimana?" Tanya Jin sedikit emosi.
"Apaan sih lu? Gak usah mendadak sok hero deh. Buktinya selama ini gua aman-aman aja." Ucap Gia santai.
"Tapi Gi,"
Ting tong.
Sebuah bel memecah perdebatan antara mereka berdua. Melihat kesempatan, Gia berjalan meninggalkan ruang tengah dan saat membuka pintu sebuah karangan bunga besar hampir menutup jalan keluarnya.
"Apaan lagi sih ini? Bunga lainnya? Astaga!" Gia nampak terganggu.
Jin yang juga ikut menghampiri langsung mengambil bunga dari tangan kurir yang hanya bisa tersenyum canggung. "Saya permisi dulu ya mas mbak." Pamitnya pada Jin yang segera mengucap terima kasih.
Fokus melihat kartu yang sedang menggantung di sana.
-Selamat atas rumah barunya Rea- xx
"Sialan siapa sih nih ora-" Perhatian Jin terbelah.
"Eh Gia! Gia!"
Begitu si kurir tak lagi menghalangi jalan, Gia langsung pergi meninggalkan garasi rumah dengan motor kesayangan yang untungnya sudah dibawa pindah juga oleh Jin ke rumah mereka. Panggilan bahkan terikan Jin pun sudah tak dihiraukan lagi.
"Tahu gitu gak gua bawa dah tuh motor!" Ucap Jin kesal.
Sepanjang perjalanan Gia mememikirkan kembali karangan bunga yang sudah diterima Rea sejak beberapa bulan belakangan ini. Sebelumnya dirinya memang tak terlalu memikirkannya toh jelas disana tertulis nama Rea. Uri pun pernah mengungkapkannya dalam diari tapi tak ada satupun di antara mereka yang mencari tahu lebih jauh karena karangan bunga itu dianggap tak berbahaya. Siapa sangka hingga mereka menikah, karangan bunga itu terus datang.
Alih-alih menuju tempat tato, Gia pergi ke toko bunga yang memang menjadi langganan kantor Pak Estu. Toko Bunga Ester yaitu toko bunga yang sama yang mengirim semua karangan bunga untuk Rea. Gia masih ingat namanya karena kebetulan toko bunga itu juga selalu dia lewati saat pulang dari tempat tato. Tiba disana sang penjaga toko sudah bersiap menutup sebagian gerai bahkan lampunya sudah sebagian padam.
"Hm, permisi mas." Sapa Gia.
"Iya mbak." Tanyanya ramah.
"Saya mau tanya sesuatu boleh tentang seseorang yang sering pesen bunga kesini." Tanya Gia.
"Wah, kalo itu langsung sama ibu yang punya aja deh. Kalau saya cuma kurir. Itu orangnya masih ada di dalam." Katanya.
Tak banyak bicara Gia langsung menemui wanita yang dimaksud. Awalnya wanita paruh baya itu tak ingin memberi tahu lebih dalam. Terpaksa dia harus mengeluarkan jurus andalannya.
"Buk, saya ini anak Pak Estu, Direksi perusahaan PT. Glomik. Perusahaan di ujung jalan itu yang emang udah jadi langganan disini. Dan ini Pak Estu alias papa saya sendiri yang butuh informasi ini. Saya gak bisa jamin lagi gimana kerjasama ibu dengan perusahaan papa saya kalau," Ucap Gia penuh keseriusan.
"Owh gitu. Baik-baik sebentar." Senyum Gia mengembang. Sepertinya rencananya berhasil. Tak lama ibu itu menulis sebuah nama dan nomor teleponnya. Tak lama Gia pamit dan segera pergi dari sana pergi ke tujuan awalnya, tempat tato.
Pikiran Gia masih menerawang dan akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada nama yang tertulis disana. Tentu saja agar pria itu mau bertemu, dia harus mencatut nama Rea dalam usahanya. Cukup terkejut karena tanpa ragu sang pria itu mengiyakan ajakannya untuk bertemu di sebuah alamat yang sepertinya adalah sebuah apartemen. Gia bisa menjaga dirinya dan apartemen jauh lebih aman. Tentu saja masalah waktu akan dibicarakan kemudian karena dirinya tak tahu kapan akan kembali lagi di dalam tubuh ini.
Pelanggannya datang sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan. Kali ini bukan klien biasa karena dia adalah seorang direksi perusahaan besar lainnya di Kota Jakarta, PT. Akbar Keramik. Seorang wanita hampir berusia 40 tahun yang mandiri dan tangguh dan juga mencintai tato sepertinya. Sebenarnya dia memang sudah beberapa kali membuat tato padanya dan beberapa kali juga sedikit berbicara mengenai ayah Rea dan perusahaannya. Bagi Gia toh itu adalah hal yang wajar dalam bisnis untuk bersaing. Gia pun selama ini lebih banyak diam toh memang tidak ada yang tahu tentang identitas sebenarnya. Memilih menjadi pendengar setia sang direktur yang biasa dia panggil Tante Sarah.
Di lain tempat, tepatnya di rumah baru Jin, pikirannya sedang kacau. Pikirannya kembali fokus pada rencana awalnya saat berada di Bali. Langsung menelpon Suga yang mungkin masih ada di warung angkringannya.
"Hei bro. Penganten baru nih senggol dong." Godanya di seberang sana.
"Gua lagi serius nih bro. Gua butuh kontak Juki." Kata Jin ramah.
"Juki? Juki sohib kita dulu kan? Lu gak punya kontaknya? Keterlaluan banget dah lu Jin!" Ucap Suga menggoda.
"Ya lu kan tau kenapa gua hilang kontak sama dia. Tapi sekarang gua bener-bener butuh kontaknya plis bantu napa." Jin memohon.
"Tiba-tiba banget. Ada apaan sih emangnya?" Tanya Suga yang memang masih berada di warung angkringannya.
"Panjang banget ceritanya. Kapan-kapan gua ceritain deh. Intinya sekarang ada yang coba ganggu istri gua dan gua butuh tau siapa orangnya. Gua rasa Juki bisa bantu gua." Ucap Jin.
"Ok bentar gua kirim sekarang juga kontaknya." Ucap Suga.
"Ya udah gua tutup dulu ya bro. Gua mau coba kontak Juki dulu." Tutup Jin.
Segera Jin langsung menghubungi Juki yang sebenarnya bernama asli June Kennedy itu. Namanya memang bule karena ayahnya memang keturunan Inggris asli tapi sayangnya kabur ke Negara asalnya saat tahu ibu Juki hamil. Nasib buruk akhirnya mengikuti Juki dan ibunya hingga terpaksa pria itu hidup dalam sengsara dan membentuknya menjadi seorang preman. Padahal dia punya otak yang lumayan encer dan kemampuan fisik yang mumpuni.
"Juki." Sapa Jin.
"Hei bro apa kabar?" Tanya Juki yang selalu bercanda dengannya.
"Gua butuh bantuan lu." Ucap Jin serius.
"Lu nih ya. lama gak nongol, sekalinya nongol minta bantuan lu!" Sindir Juki.
"Sorry sorry bro. Besok lu dateng ya ke kantor gua. Nanti gua kirimin alamatnya tapi pastiin lu dateng. Gua ada kerjaan buat elu." Ucap Jin.
"Kerjaan? Wah menarik nih kayanya. Ok ok bro gua dateng besok." Ucap Juki.