Nia menahan rasa sakit hati dan amarah hanya dengan air mata, tetapi air matanya tertutup oleh perban yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
"Nia, bukankah memang seperti itu hubungan kita? Aku menikmati tubuhmu dan kau juga bisa mendapatkan kepuasan dariku. Aku tidak melibatkan perasaan apa pun dalam hubungan kita."
Ucapan Bram, membuat perasaan Nia semakin tersayat-sayat. Mungkin awalnya memang benar apa yang dikatakan Bram. Tetapi Nia sudah masuk terlalu dalam, dia sudah menyukai Bram bukan hanya tentang permainannya saja tetapi juga dengan sosok utuh seorang Bram.
"Awalnya memang begitu, tapi setelah itu aku pikir kita memang tengah berkencan." Suara Nia seolah tercekik.
Bram berubah suram dan bingung, sekaligus ingin tertawa. Dia menganggap Nia selayaknya wanita-wanita lain yang biasa diajak untuk bersenang-senang.