Kirana dapat merasakan hembusan napas Zayn di wajahnya seketika bulu kuduknya berdiri, dia menundukan dan memalingkan muka tidak berani menatap Zayn yang sedang menatapnya.
"A-aku bertanya itu hanya ingin tahu saja, bukan maksud untuk menggodamu atau lainnya," ucap Kirana.
"Oh ya? Tapi pertanyaanmu tadi membuatku berpikiran lain Kirana," kata Zayn.
Kirana mendorong tubuh Zayn agar menjauh darinya, dia bertanya seperti itu hanya ingin tahu pendangan laki-laki lain tentangnya. Apa dia tidak cukup menarik sehingga Adrian telah mengkhianatinya dan lebih memilih wanita lain daripada dirinya. Dia tidak menyangka pertanyanya malah membuatnya terlihat konyol dan mendapat tanggapan lain dari Zayn.
Zayn mengerutkan bibirnya lalu mundur dan kembali membukakan pintu untuk Kirana.
"Kau tidak usah takut! Aku tidak akan melakukan itu pada seorang wanita yang masih ada laki-laki lain di hatinya," tutur Zayn.
Kirana memandang Zayn, apa yang di ucapkanya memang benar masih ada Adrian yang mengisi hatinya walaupun yang tersisa terasa begitu menyayat.
"Aku akan mengantarmu pulang ini sudah sangat larut," ajak Zayn.
Kirana dengan cepat menjawab dan melangkah keluar, "I-iya."
Ketika sepanjang perjalanan di dalam mobil mereka membisu. Kirana masih memikirkan tentang pertanyaan bodohnya tadi, sedangkan Zayn dengan tenang dan fokus mengemudikan mobilnya.
"Emh ... tentang pertanyaanku tadi ...." Kirana lebih dulu memecah keheningan di antara mereka.
"Kau masih memikirkan itu? Kau tidak usah khawatir! Aku akan menganggap kau tidak pernah mengatakannya itu, jangan pernah tanyakan itu pada laki-laki lain! Aku tahu kau ingin mendengar pendapatku tentangmu bukan?" kata Zayn dengan melihat ke arah Kirana.
Kirana tersenyum, lagi-lagi apa yang di ucapkan Zayn benar seolah apa yang ada dalam hati dan pikirannya mampu dibaca oleh Zayn.
"Adrian adalah yang pertama bagiku, semenjak remaja hingga sekarang yang ada dalam hati dan pikiranku hanya dia. Aku hanya memandangnya seakan laki-laki di dunia ini hanya ada dia seorang, sehingga aku hanya mendengar apa yang dia katakan termasuk pendapatnya. Aku pikir itu suatu ketulusan, ternyata aku selama ini begitu naif," tutur Kirana matanya mulai merelap.
Zayn mendengarkan Kirana tanpa berkomentar hanya sesekali melihat ke arah wanita yang ada di sampingnya itu.
"Saat dia mengatakan aku cantik, aku manis, aku baik dan dia sangat mencintaiku, aku percaya saja dan perasaanku sudah melambung tinggi mendengar itu. Ternyata kini aku tahu pandangannya padaku tidak seperti itu, karena jika itu benar mengapa dia bisa menghamili wanita itu bahkan menikahinya," kini bulir bening sudah memabasahi pipi Kirana.
Kirana mengusap pipi dan kedua matanya, "Ah maafkan aku! Karena kau harus mendengarkan ini."
Zayn melambatkan kemudinya, ia masih ingin mendengar semua apa yang di rasakan Kirana, "Keluarkan saja semua! Aku akan mendengarkan semua," titah Zayn.
"Perasaanku akhir-akhir ini menjadi sangat sensitif, mungkin karena aku baru saja kehilangan ayahku dan ... dan mungkin karena aku sedang hamil," ucapan Kirana melemah.
"Mungkin saja, yang aku dengar ibu hamil memang lebih sensitif tapi jika kau ingin menangis ya menangislah keluarkan semua! Tapi setelah itu kau harus bangkit lagi demi anak yang ada dalam kandunganmu," ujar Zayn.
Melihat reaksi Zayn yang nampak tidak terkejut dengan kehamilannya, Kirana berpikir pasti Zayn sudah mengetahui jika dirinya sedang hamil.
"Apa dokter tadi yang mengatakan jika aku sedang hamil? Kau sepertinya sudah tahu itu," tanya Kirana.
Zayn tidak mungkin mengatakan bahwa beberapa pekan terakhir ini dia menyelediki dan menguntit Kirana untuk meluluskan rencananya bersama Sarita, ibunya.
"Iya dokter tadi yang mengatakannya! Apa laki-laki itu sudah mengetahuinya?" tanya Zayn pura-pura bertanya, Kirana hanya mengangguk.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di depan rumah Kirana, tapi nampak rumah dan sekitarnya gelap gulita, Kirana dan Zayn tampak heran.
"Mengapa rumahmu gelap?" tanya Zayn.
"Mungkin ibu tidak sedang di rumah," duga Kirana. Ia teringat ibunya tidak menghubunginya hari ini, bahkan ketika Kirana belum juga pulang hingga larut malam. Ini memang terasa aneh biasanya ibunya selalu khawatir jika pukul sembilan saja Kirana belum sampai ke rumah.
Kirana mencoba membuka gerbang rumahnya perlahan, Zayn memutuskan tidak langsung pergi ia menemani Kirana masuk ke rumahnya ingin mengetahui apa yang terjadi.
Kirana memencet bel rumahnya berkali-kali namun ibunya tidak juga muncul, ia memutuskan menelpon ibunya akan tetapi tidak ada jawaban. Ia mulai merasa cemas, "Ibu kemana?" tanya Kirana.
Zayn melihat ke samping rumah itu mengintip ke jendela satu persatu sampai ia menemukan lewat salah satu jendela rumah. Ratih sedang terduduk di ranjangnya dengan mata terpejam. Dia mengedor-gedor jendela kamar Ratih, "Ibu tolong buka pintunya!" seru Zayn.
Kirana mengikuti Zayn ke samping rumahnya dan melihat ibunya yang sedang duduk sambil menuender di atas dipan. mtereka menggedor-gedor kaca jendela itu, tetapi tetap tidak ada reaksi dari Ratih.
"Tidak ada jalan lain, kita harus memecahkan jendela ini, sepertinya ibumu pingsan," ujar Zayn.
"Apa pingsan?" tanya Kirana dengan panik.
Zayn memundurkan Kirana agar menjauh, dia membuka bajunya dan menggulung baju itu di tangannya yang akan dia gunakan untuk memecahkan kaca jendela.
Zayn memecahkan jendela itu hingga cukup untuknya masuk ke dalam kamar. Dia kemudian masuk ke dalam, sedangkan Kirana masih di luar menunggu dengan kahawatir. Zayn memeriksa Ratih dan memastikan ia masih bernapas.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit!" ujar Zayn. Ia lalu mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke luar kamar. Kirana menunggu di depan pintu rumahnya hingga Zayn muncul membawa ibunya.
Sepanjang perjalanan Kirana tidak henti-hentinya menangis, "Apa lagi ini? Ibu kau kenapa?" ucapnya.
Mereka tiba di rumah sakit dan Ratih langsung di bawa ke Unit Gawat Darurat, Kirana menunggu pemeriksaan dokter dengan cemas. Tidak lama kemudian dokter yang memeriksa Ratih muncul.
"Dia pingsan dan dia over dosis dengan obat-obatan penenang, dia harus dirawat untuk beberapa hari ini," kata dokter itu, setelah itu ia pergi.
Kirana tahu akhir-akhir ini ibunya sering merenung sendiri karena kesedihannya, namun ia tidak tahu jika ibunya menggunakan obat-obat penenang itu. Dia menatap ibunya, bagaimanapun dia harus merasa lega setidaknya ibunya masih bisa di selamatkan, jika tidak mungkin esok hari Kirana sudah kembali harus kehilangan orang tuanya, tidak bisa ia bayangkan.
"Kau harus pulang sekarang! Kau pasti lelah, ini sudah lewat tengah malam, aku akan menjaga ibuku terima kasih sudah menolongku lagi," ucap Kirana kepada Zayn yang ada di sampingnya. Dia tahu laki-laki itu pasti sangat lelah sejak kemarin karena harus mengurus permaslahan yang di timbulkan oleh Julia.
"Tidak apa-apa! Aku akan pulang besok pagi aku sudah sangat mengantuk aku ingin tidur di sini," elak Zayn.
"Tapi pasti di sini sangat tidak nyaman," ucap Kirana.
"Aku bisa tidur di mana saja jika sudah mengantuk," ucap Zayn. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Kirana seorang diri di sana, oleh karena itu ia beralasan.
"Baiklah kau bisa tidur di sofa itu aku akan di sini bersama ibu," kata Kirana pada akhirnya. Ia duduk di samping ranjang dengan tangan memegang erat Ratih.
Keesokan harinya ketika masih pagi rumah Kirana di datangi beberapa orang berseragam rapih, mereka masuk ke dalam rumah yang sedang tidak berpenghuni itu. Tidak lama orang-orang itu keluar dan menempelkan satu papan bertulisan di depan pintu rumah Kirana.
TANAH DAN BANGUNAN INI TELAH DI SITA!!!