Andra terdiam sebelum ia memberitahu pada Mama Amara tentang keadaannya yang memangs udah baik-baik saja. Hanya saja Andra sedang memikirkan alasan lain karena dirinya tidak mungkin mengatakan kalau sebenarnya ia merasa sakit kepala karena teringat dengan teman lamanya dulu. Andra tidak mau kalau Clara tahu mengenai dirinya karena ia merasa masih asing dengan Clara.
"Aku tidak apa-apa, Ma. Aku tadi hanya sedang berusaha mengingat masa laluku saja, tetapi justru kepalaku sakit sekali untuk mengingatnya," ucap Andra yang tidak memberitahu pada Mama Amara ingatan apa yang menyebabkan dirinya mengalami sakit kepala yang sangat amat luar biasa.
"Memangnya kau sedang mengingat apa?"
"Hanya mencoba mengingat apa yang tidak aku ingat, Ma."
"Andra, Sayang. Mama tidak mau kau kenapa-kenapa, tolong jangan membuat mama khawatir. Jangan menc—"
"Ma, Mama tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja, Ma. Jadi Mama tennag ya," ucap Andra yang memotong ucapan Mama Amara.
"Tapi, Andra … bagaimana mama bisa tenang? Kau saja membuat mama khawatir."
"Aku tidak apa-apa, jadi Mama tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Apa yang dikatakan oleh Andra benar, Ma. Andra sudah tidak apa-apa. Jadi, Mama tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya," ucap Clara di tengah perbincangan Mama Amara dan Andra.
Mama Amara pun menoleh pada Clara dan menatapnya sembari berkata, "Clara … kau tahu 'kan Andra itu satu-satunya anak sematawayang mama. Jadi, mana mungkin mama tidak mengkhawatirkannya."
"Mama ini berlebihan, aku ini tidak apa-apa," ucap Andra yang lalu terduduk.
"Berbaringlah saja, Nak. Kau harus banyak istirahat."
"Aku sudah tidak apa-apa, Ma. Justru jika aku selalu berbaring, Mama akan selalu mengkhawatirkanku."
"Ahk, tidak begitu, Andra."
"Ya, sudah. Mama tidak akan mengkhawatirkanmu lagi. Tapi, kau kembali barbaring, ya?" ucap Mama Amara lagi yang meminta Andra kembali untuk berbaring.
"Tapi Mama janji tidak akan mengkhawatirkanku lagi?"
"Iya, Andra. Mama janji."
"Ya, sudahlah." Andra pun berbaring kembali di bantu oleh Mama Amara.
"Kau beristirahatlah, Nak. Mama akan keluar, kau baik-baik ya, Sayang," ucap Mama Amara sembari mengelus lembut rambut Andra.
"Iya, Ma."
Mama Amara pun menoleh pada Clara dan berepesan, "Clara … kau jaga Andra baik-baik, ya. Ingat jangan sampai dia merasakan sakit kepala lagi. Jika terjadi sesuatu, cepat hubungi mama, ya?"
"Iya, Ma. Pasti aku akan segera menghubungi Mama jika terjadi sesuatu dengan Andra. Tapi, aku harap tidak akan terjadi apa-apa."
"Ya, tentu saja. Mama harap pun begitu," jawab Mama Amara yang menatap sendu putra sematawayangnya.
"Baik-baik ya, Sayang," ucap Mama Amara lagi pada Andra sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamar Andra dan Clara.
Meninggalkan jejak Mama Amara, Clara pun menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Clara duduk di samping Andra sembari berkata, "Kenapa kau bohong?"
"Apa maksudmu?" tanya Andra yang tidak mengerti.
"Kenapa kau mengtakan yang sejujurnya?"
"Aku sudah mengatakan yang sejujurnya."
"Benarkah?"
"Iya."
"Lantas …." Clara pun menghentikan ucapannya karena teringat sesuatu.
'Tunggu … jika Andra mengingat Reno, Eddy dan Dennis. Itu artinya dia juga ingat denganku?' batin Clara yang merasa janggal.
"Kenapa kau diam?" tanya Andra karena Clara terdiam membisu.
"Tidak apa-apa."
"Katakan saja, apa yang mau kau katakan?"
"Kau itu 'kan amnesia sebagian, tapi apa kau sungguh tidak mengingatku?" ucap Clara yang menatap Andra dengan tatapan heran.
"Aku memang tidak mengingatmu. Tapi, wajahmu memang sepertinya begitu familiar."
"Oh, iya?"
"Iya … aku seperti pernah melihatnya. Tapi, di mana, ya?"
"Tentu saja di sini, lihatlah sekarang kau sedang menatap wajahku, bukan?"
"Ya, tapi maksudku bukan itu."
"Tentu saja, kau merasa tidak asing karena kau sellau melihatku setiap waktu. Aku ini 'kan istrimu."
"Kau bilang, kau istriku? Lalu … memangnya apa saja kenangan kita?"
Clara terdiam setelah mendengar ucapan Andra yang bertanya mengenai kenangan mereka. Bagaimana tidak terdiam Clara saja tidak mempunyai kenangan bersama Andra. Secara pernikahan mereka terjadi karena rencana Clara yang menjebak Andra. Jadi, tentu saja mereka tidak memiliki sebuah kenangan.
"Hm … kenangan, ya?"
"Iya, kenangan. Kita pasti memiliki banyak kenangan, bukan?"
"Apa kita sudah lama menjalin hubungan?" ucap Andra lagi yang bertanya.
"Kalau untuk hubungan pernikahan belum. Kita belum lama menikah."
"Kalau kekasih?"
"Hm … kita bukan sepasang kekasih."
Andra pun menyerkitkan dahinya dan berkata, "Apa? Kita bukan sepasang kekasih?"
"Iya."
'Aku akan membuatmu merasa ini adalah sebuah cerita yang murni sesuai dengan sepenggal ingatanmu padaku.' Batin Clara yang menatap Andra.
"Jadi begini … kita tidak menjalin hubungan kekasih karena memang kita tidak menjalin itu."
"Kenapa?"
"Karena berbagai alasan."
"Contohnya apa?"
'Aku akan memanfaakan keadaan Andra ini untuk mengamankan posisiku dan membuat pembalasan dendamku terwujud. Ya, setidaknya hilang ingatannya ini membuat keuntungan besar untukku.' Batin Clara.
"Contohnya karena aku yang tidak mau."
"Aku sungguh tidak mengerti. Kau tidak mau bagaimana?"
"Ya, aku tidak mau menjalin hubungan denganmu."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau merasakan sakit."
"Sakit?" seru Andra yang menyerkitkan dahinya membuat garis kerutan di sana.
"Iya, setiap irang yang mencintai 'kan harus siap untuk merasakan sakit juga."
"Itu 'kan hanya untuk orang-orang yang cintanya tak terbalas bertepuk sebelah tangan."
"Ya, kau benar. Tapi, cinta yang berbalas pun terkadang juga menyakitkan."
"Tapi tidak semua begitu."
"Iya."
"Contoh selain itu?"
"Hm … ya, aku ingin fokus dengan kehidupanku sendiri."
"Jadi, intinya kau sebenarnya menolakku?"
Clara pun menatap ke arah luar jendela lalu berdiri dan berkata, "Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku yang menolakmu atau kau yang menolakku."
"Maksudmu bagaimana? Aku tidak mengerti."
"Ya … mungkin kebih tepatnya, aku menjauhimu."
"Alasannya apa kau menjauhiku?"
"Setelah kau menolakku, kau menjauhiku?"
"Kau itu sebenarnya hilang ingatan atau tidak?" seru Clara yang menasaran dengan meninggikan suaranya.
"Kau kenapa? Kau meragukan sakitku?"
"Bukan aku meragukan sakitmu, tapi aku meragukan kejujuranmu."
"Kenapa dengan kejujuranku? Apa ada masalah?"
"Iya, ada!"
"Apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah kau tidak mengingat aku."
"Kalau itu masalahnya, aku sungguh minta maaf. Ini juga bukan kemauanku seperti ini untuk tidak mengingatmu."
"Harusnya kau pasti ingat padaku."
"Perlahan aku akan terus mencoba mengingatmu. Aku akan berusaha untuk segera mengingatmu."
"Tidak perlu bersusah payah untuk mengingatku karena sebenarnya kau juga pasti sudah tahu aku bukan?"
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau ucapakan itu."
"Lihat aku baik-baik," ucap Clara dengan raut wajah datarnya.
"Untuk apa?"
"Ya, lihat saja. Kau pasti mengenaliku, bukan?"
"Aku tidak ingat."
"Kau lupa denganku?" seru Clara yang lalu melipatkan kedua tangannya.
"Memang aku lupa denganmu."
"Andra … kau pasti ingat aku."
"Clara, aku sama sekali tidak mengingat …." Andra pun menghentikan ucapannya setelah ia teringat dengan seseorang dalam benaknya.