"Aaaaaaaarrrrght!!!"
Tak ada yang bisa aku lakukan selain membunuhnya. Aku terlalu mencintainya meski ku tahu, aku tak mungkin bisa bersamanya. Yang tersisa hanyalah perasaan kecewa karena pada akhirnya ia melepaskan hubungan aneh kami dan memutuskan untuk menikah dengan seorang pria.
Hari ini, di hari pernikahannya, aku membunuh lelaki itu dengan tanganku sendiri. Aku membunuhnya dengan sebilah pisau yang aku beli ketika dalam perjalanan kemari. Aku benci melihat senyumannya, oleh karenanya aku mengakhiri hidupnya.
Aku tak ingin membayangkan bagaimana kekasihku akan melewati malam pertamanya dengan orang lain. Aku tak ingin membayangkan, karena aku benar-benar tak sanggup menopang perasaan cemburu ini.
"Maafkan aku Dara, aku tak tahan melihatmu tersenyum bersamanya." ucapku saat aku menatapnya yang tengah menangis di depan jasad Mario yang aku bunuh dengan tanganku.
Tak ada jawaban dari Dara, selain tangisan yang semakin menjadi-jadi yang ku dengar. Hingga kemudian terdengar bunyi sirene mobil ambulance yang diikuti dengan datangnya beberapa aparat kepolisian yang meringkusku.
"Windu!"
Kedua mataku terbelalak lebar tatkala Dara memanggilku dengan nama yang entah berapa lama sudah aku lupakan. Wanita yang di penuhi darah segar pada gaun pengantin yang dikenakannya berdiri dan menatap mataku setelah sebelumnya ia menidurkan Mario dari tangannya.
Dengan derai air mata ia menatapku.
"Windu, berhentilah menjadi Pandu. Aku yakin, akan ada lelaki yang kelak memberimu rasa nyaman dan aman seperti apa yang pernah kamu lakukan padaku..."
Bersambung...