Chereads / Pandu Adalah Windu / Chapter 4 - Kepergian

Chapter 4 - Kepergian

Bunyi alarm membangunkanku yang tertidur lelap. Tanpa terasa hari mulai berganti. Aku bangun dari tidurku dan duduk di atas tempat tidurku dengan pandangan kosong. Hari ini aku ingin berdiam diri di rumah. Rasa sakit dan luka lebam yang ada di wajahku tak mungkin aku tunjukkan di depan teman-teman sekolah. Tapi tiba-tiba...

"SINDIIIIIIIIIIIII!"

Alangkah terkejutnya aku saat mendengar ibuku meneriaki nama kakakku. Aku langsung melompat dari tempat tidurku dan segera mencari sumber suara yang mengejutkanku. Namun, tiba-tiba saja kakiku melemah saat melihat ibu duduk di depan kamar kakak sambil menangis. Hatiku pun bertanya-tanya melihat situasi yang nampaknya sangat tak nyaman. Dan aku juga melihat ayah tiriku. Lelaki itu ada di sisinya, merangkulnya dengan wajah duka.

Melihat wajah tak mengenakan itu, aku memikirkan suatu hal yang aku takutkan. Sesuatu yang semalam membuatku tak bisa tidur setelah mendengar perkataan kakak saat aku di kamarnya. Tanganku mendadak gemetaran, dan kakiku pun terasa berat untuk aku langkahkan.

"Gak mungkin! Gak mungkin!" aku mencoba mengelak sesuatu yang ada dalam pikiranku.

"Kakak!"

Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam kamar kakak. Alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok cantik itu tergantung tak bernyawa dengan seutas tali yang melilit lehernya. Kakiku mendadak mati rasa melihat sosok yang teramat ku sayangi kini tak bernyawa. Aku pun menangis sejadi-jadinya di bawah jenazah kakak yang masih bergelantungan pada seutas tali. Teringat aku akan penderitaan terakhirnya. Penderitaan yang seharusnya aku akhiri dengan menolongnya.

Aku bersimpuh di bawah jasad kakak yang sudah tak tahan lagi untuk Ku melihatnya. Aku sungguh tak sanggup melihat wajah kakak yang membuat aku membayangkan bagaimana ia menahan sakit saat detik-detik menjelang kematiannya.

"Kenapa Kakak meninggalkan aku sendiri?" aku terisak. "Aku harus bagaimana, Kak!"

Terdengar bunyi sirene ambulance datang setelah ku lihat ayah tiriku menghubunginya. Wajah lelaki brengsek itu sama denganku. Ia nampak tengah berduka di sisi ibuku yang terus menangis.

Entah mengapa, melihat wajahnya yang penuh dengan sandiwara membuatku muak. Aku beranjak dari tempatku dan menghampirinya. Ku raih tangannya dan ku seret tubuhnya, membawanya secara paksa di bawah jasad kakak yang masih bergelantungan.

"Windu! Apa yang kau lakukan!"

Ibuku yang terkejut mencoba menghentikanku. Namun kemarahanku membuatku lupa bahwa ia adalah ibuku. Ku dorong ibu tanpa peduli dengannya yang jatuh tersungkur karena diriku.

"Kembalikan Kakakku! Kembalikan nyawa Kakakku, Brengsek!" teriakku kesal.

"Windu! Kamu ini kenapa!"

Ibu menarik tanganku, memaksa aku untuk menatapnya.

"Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu bicara selancang itu di depan ayahmu! Bahkan jenazah Kakakmu belum kami turunkan!"

Aku terkekeh memandangi ibu yang terus membela lelaki kejam itu. Melihatku terkekeh, tentu saja membuat ibu terheran-heran.

"Berhentilah Ibu! BERHENTILAH PERCAYA PADANYA!" sentakku geram.

'PLAK!' Lagi-lagi ibu menamparku. Sungguh hal itu membuatku sangat menyakitkan.

"Hahahahhahaa!"

Namun tawaku semakin menjadi-jadi karenanya. Sakit tamparan yang aku rasakan tuk kesekian kalinya karena laki-laki itu sungguh membuatku ingin menertawakan hidupku yang kacau. Ketidakpercayaannya membuatku lelah untuk menahan kenyataan yang harusnya ku tutupi sesuai janjiku kepada kakak.

"Kamu ini kenapa, Windu! Kakakmu belum Kami turunkan, dan kamu..."

"AYAH MEMPERKOSA KAKAK SIANG ITU!"

Tanpa sadar aku meneriakinya. Dan tanpa sadar aku mengingkari janjiku pada kakak.

"Kamu jangan berbohong seperti ini Windu!" ayahku memulai siasatnya. "Jangan karena ibumu memarahimu kemarin, kamu membalas ayah seperti ini!"

"Ibu memarahimu karena tak ingin kamu mengulang kesalahan yang sama, Nak. Janganlah kamu..."

"Jika tak ada kata-kataku yang ibu percaya, suruh saja mereka memeriksa Kakak!"

Ku tunjuk beberapa petugas medis yang tengah berdiri di sudut ruang. Mereka menahan langkah mereka untuk menurunkan kakak karena pertengkaran kami.

Ibuku memundurkan langkahnya. Wajahnya semakin pucat. Nampaknya, apa yang aku katakan sangat memukul batinnya...

*****

3 minggu setelah kematian kakak...

Sejak kematian kakak, aku tidur di kamarnya. Aku sedikit merasa lega setelah lelaki itu ditangkap. Ayah tiriku ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan setelah hasil autopsi badan forensik keluar. Tak hanya bukti pelecehan yang mereka temukan, dalam tubuh kakak terdapat kandungan obat-obatan terlarang yang diduga diminumkan oleh ayah tiriku.

Sekarang hanya ibu yang masih merasa terpuruk. Ia bahkan merasa jauh lebih kecewa bila dibandingkan denganku. Betapa tidak, ketidakpercayaannya kepadaku, dan kepercayaan yang diberikannya kepada sang suami, perlahan menjadi cambuk menyakitkan saat kebenaran itu ia dapatkan. Ia sungguh tak menyangka jika lelaki yang dicintainya tega melakukan hal menjijikkan itu.

Pagi ini, entah mengapa aku masih terlalu malas membuka mataku, karena aku berharap apa yang aku alami selama ini hanyalah mimpi. Aku masih tak ikhlas dengan kepergian kakakku. Aku sungguh ingin memejamkan mataku, karena kepergian kakakku membuat aku merasa bahwa duniaku sudah hancur.

"Windu..."

Terdengar suara parau ibu yang tengah mencariku. Ah, aku sungguh lelah mendengar nama itu.

"Sampai kapan kamu hanya di kamar, Nak? Bangunlah! Kamu harus pergi ke sekolah! Tiga hari lagi ujian negara."

Aku masih dalam posisi nyamanku. Aku masih tidur sambil merengkuh guling kakakku. Rasanya benar-benar membuatku tak ingin pergi.

"Windu..."

"Bu!" akhirnya aku membuka mataku karena aku lelah dengan panggilan ibu. "Sudah kukatakan berapa kali, berhenti memanggilku Windu! Windu sudah lama mati! Aku adalah Pandu!"

"Kamu ini bicara apa sih, Win?"

"Ck!"

Aku menyingkirkan selimut hangat milik kakakku. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju meja rias tempat biasanya kakakku bersolek di pagi hari. Ku ambil sebuah gunting dari sana, lalu membawanya dan menghadap ibuku yang bingung dengan tingkahku.

"Windu, apa yang kamu..."

'Krekk... krekk!' Dengan asal, ku potong rambut panjangku hingga pendek.

"Windu! Apa maksudmu sebenarnya?"

Aku melempar gunting itu ke sembarang tempat, lalu menatap wanita yang 17 tahun lalu. Ku tatap matanya dan kutemukan titik-titik air mata di sudut matanya.

"Mulai sekarang, ibu hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Pandu."

"Windu, ibu tak mengerti. Kenapa kamu melakukan ini? Ibu..."

"Aku takut menjadi wanita, Bu! Aku takut!" jeritku histeris.

Tangisku pun pecah mengingat bagaimana lelaki itu merenggut keperawanan kakakku. Andai saja aku anak laki-laki dikeluarga ini, pasti kakakku masih menemaniku di sini. Andai saja aku adalah anak laki-laki, aku pasti bisa melindungi kakakku dari lelaki tak tahu diri itu.

"Biarkan aku menempuh jalanku sendiri, Bu. Jangan paksa aku menjadi seorang wanita. Aku sungguh sangat malu!"

"Nak, tak akan ada lagi hal yang membuatmu takut. Ibu berjanji akan selalu melindungimu, Nak."

"Jika ibu ingin melindungiku, biarkan aku menjalani hidupku sebagai anak laki-laki. Dan jangan lagi memanggilku Windu."

"Tapi, Nak.."

"Ku mohon padamu, Bu. Untuk terakhir kalinya, biarkan aku memilih jalan ini. Aku sungguh tak ingin lagi menjadi wanita. Itu hanya akan menyakitiku."