Chereads / Pandu Adalah Windu / Chapter 3 - Kakak

Chapter 3 - Kakak

Dengan wajah serta beberapa bagian tubuh yang lebam karena ibu yang memukuliku, aku pulang ke rumah. Saat aku tiba, ayah tiriku menyambut kedatanganku dengan wajah paniknya. Nampaknya lelaki itu bersandiwara di hadapan ibuku.

"Sayang, apa yang kamu lakukan pada Windu?"

Ia mendatangiku dan dengan raut wajah cemasnya memegangi wajahku. Aku hanya diam tanpa reaksi apapun, karena aku sudah kecewa dan lelah dengan sikap ibuku.

"Jangan mengkhawatirkannya!" ibu yang masih marah dengan hal yang dituduhkan kepadaku meraih tangan ayah agar melepaskan wajahku.

"Inilah mengapa aku tak mau menceritakannya tadi." tanggap ayah. "Maafkan aku, Sayang! Tapi seharusnya kamu tak memukulinya. Dia masih anak-anak!"

"Dia sudah besar, dan sudah bisa membedakan perbuatan baik dan tidak! Jangan lagi kamu membelanya meski dia salah! Kamu hanya akan membuat aku semakin malu!"

Ibu berlalu setelah meneriaki ayah tiriku. Aku melihatnya berlari sambil menangis masuk ke dalam kamarnya. Kini, hanya ada aku dan ayah tiriku. Menakjubkan! Wajahnya berubah seketika saat ibu sudah tak lagi berada di sekitar kami.

Ia meraih tanganku, lalu dengan kasar menyeretku keluar dari rumah. Tak ada yang bisa aku lakukan, aku hanya terdiam mengikuti setiap langkahnya.

Ia mengajakku ke luar rumah untuk berbicara. Ia menyeretku hingga kami ada di depan garasi mobil. Ia sengaja membawaku ke sana agar suaranya tak bisa di dengar oleh ibu.

Dengan sangat kasar ia melemparku hingga aku membentur dinding. Tak ada yang bisa aku lakukan selain terdiam, aku pun tak lagi menangis meski ketakutan yang aku rasakan semakin besar.

Laki-laki itu mencengkeram daguku, memaksa aku agar aku melihat sorot matanya. Hingga pada akhirnya aku dapat dengan jelas mata licik itu. Aku juga dengan teramat jelas melihat senyumannya yang menakutkan.

"Seharusnya, kamu tak melihatnya!" sentaknya dengan nada setengah berbisik.

Ia beberapa kali menangok ke kiri dan ke kanan, melihat situasi agar tak seorang pun memergoki aksinya. Dengan senyumnya yang menyeramkan itu ia beberapa kali membentur-benturkan kepalaku ke dinding. Rasanya sungguh menyakitkan. Kepalaku juga terasa mau pecah karena ulahnya.

"Jangan sekali-kali mengadukan perbuatanku ini pada ibumu, jika kau tak ingin bernasib sama seperti kakakmu! Ngerti?"

Aku hanya diam dan menatapnya tajam. Meski aku dilanda rasa takut, tapi ancamannya benar-benar membuat aku semakin kesal.

'PLAK!' Satu tamparan aku dapatkan karena hanya diam dan menatapnya dengan rasa benci yang terus menggerogotiku.

"Hei! Apa kau bosan hidup!" tanyanya yang sudah mulai gemas dengan tingkahku.

Sungguh tak ada kata maupun gerakan tubuh yang bisa aku lakukan untuk menanggapi ancamannya. Sikap buruk yang aku dapati hanya membuat aku mematung dan tak henti menatapnya.

'BRAK!' Ia kembali mendorongku ke dinding hingga aku terjatuh. Lalu dengan perasaan kesal ia mencekik leherku, mencoba kembali memaksaku untuk menatapnya.

Seketika kurasakan sesak di dada karena ia terus menekan tenggorokanku dengan kedua tangannya. Ia bahkan tak peduli dengan aku yang terbatuk-batuk karena ulahnya.

"Teraplah diam dan jangan berulah! Jika kau sekali saja ikut campur dengan urusanku, aku pastikan kau menghilang dari tempat ini untuk selamanya!"

Setelah mengancamku, ia berjalan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Saat ia pergi dari hadapanku, barulah aku bisa menangis sekencang-kencangnya meluapkan kekesalan dan amarahku. Laki-laki yang sangat dicintai ibuku itu benar-benar membuatku ketakutan.

Sambil memegangi leherku yang terasa sakit karena cekikannya, aku beranjak dari dudukku dan berjalan terrtatih untuk kembali masuk ke dalam rumah. Bagaimana pun situasi yang aku hadapi aku harus segera bertemu dengan kakak.

"Kakak..." panggilku dengan suara parau.

Perlahan aku berjalan menyusuri lorong rumahku. Hingga akhirnya aku masuk ke dalam kamar kakakku. Aku melihatnya tengah duduk di atas ranjangnya dengan tatapan kosong. Kakak bahkan tak menyadari keberadaanku.

Aku melihat kamar itu masih berantakan seperti siang tadi. Aku bahkan menemukan beberapa butir obat di lantai.

"Kak..."

Ku tepuk pundaknya, lalu memeluknya erat-erat sambil menangis. Tak ada respon dari kakak. Wanita cantik yang selalu periang dan usil itu hanya diam mematung dengan wajah pucatnya.

"Kakak, maafkan aku! Aku tak bisa melakukan banyak hal untuk melindungimu." ucapku sembari menggenggam tangannya.

"Jangan lakukan apapun Windu!" ucap kakak lirih. "Jangan lakukan apapun sampai akhir." ia berucap tanpa memandang wajahku.

"Lalu, bagaimana aku bisa menghentikannya?"

Dalam pelukan, aku melihat bibir itu tersenyum. Ia tersenyum meski pandangannya kosong.

"Semuanya akan berhenti jika aku sudah lelah, Win." jawabnya pelan. "Tetaplah diam! Jangan lakukan apapun!"

"Tapi, Kak... Laki-laki itu..."

"Win, saat kakak sudah tak lagi ada di sampingmu, kamu harus berjanji untuk melindungi dirimu sendiri! Kamu harus menyelamatkan dirimu sendiri."

"A-apa maksud Kakak?"

Entah apa maksud dari ucapannya, tapi setiap kata yang ia ucapkan benar-benar membuatku takut. Aku sekejap melihat senyuman itu dan merasa ada pesan menakutkan di dalamnya.

Setelah beberapa lama ia mematung, akhirnya ia menatapku dan membalas pelukanku. Ia memelukku erat-erat, seakan tak ingin melepaskannya.

"Hiduplah dengan baik Windu..."

Ia memelukku erat, saat aku melepaskan pelukannya, ternyata ia sudah tertidur di pelukanku. Ku rebahkan tubuhnya ke kasur dan ku tatap lekat-lekat paras cantik itu. Sambil menangis aku memandangi wajahnya. Bahkan sambil menangis aku mengusap-usap keningnya agar ia tidur dengan lelap.

"Bagaimana aku hidup dengan baik jika melihatmu menderita seperti ini, Kak?" gumamku sambil terus mengusap keningnya dengan tanganku.

"Melihatmu diperlakukan seperti ini, aku takut menjadi wanita, Kak. Aku sungguh takut!"

Malam itu aku menangis sejadi-jadinya di samping kakak, sebelum akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kamarku sendiri. Aku membawa segala kegelisahan yang aku rasakan di kamar pribadiku setalah sebelumnya aku memperhatikan wajah cantik kakakku ketika terlelap. Namun, saat aku melintas melewati kamar ayah dan ibu, aku mendengar suara tempat tidur berdecit yang seketika membuatku teringat kembali kejadian siang tadi. Suara erangan yang menjijikkan itu membuat aku semakin membenci ayah tiriku.

"Aku tak akan tinggal diam! Kau benar-benar menjijikkan..."

Setelah mendengar apa yang tengah berlaku di dalam kamar ibuku, aku melangkah gontai menuju ke kamar. Sesampainya di sana, ku rebahkan tubuhku di atas tempat tidurku sambil menatap langit-langit kamarku. Teringatku akan pesan kakak saat aku menemuinya di kamar. Dan kejadian yang menimpa kakakku, kembali ku ingat. Tanganku mengepal, aku sudah sangat muak dengan semuanya. Aku sudah muak melihat tingkah ayah tiriku yang seperti binatang, dan ibuku yang kini seperti budak cinta yang mengaguminya.

"Maaf, Kak! Aku tak bisa diam saja! Maafkan aku, Kak! Aku tak bisa melakukan apa yang kau minta!"

Bersambung....