"Kakak lupa menjemputku hari ini! Dasar!"
Namaku Windu, lengkapnya Atalia Windu Prawiradirga. Entah mengapa keluargaku malah memanggilku dengan nama Windu yang notabene adalah nama seorang pria. Namun ternyata, nama panggilan itu adalah satu kenangan berharga buat Mama. Windu yang berarti selang waktu 8 tahun, adalah waktu dimana ayahku meninggal ketika aku dilahirkan. Ayahku meninggal setelah 8 tahun berpisah dengan kami karena harus menjaga perbatasan negara.
Yah, ayahku adalah seorang tentara. Setidaknya itu yang aku tahu tentang ayahku. Aku hanya melihatnya dalam album foto yang juga menjadi kenang-kenangan. Windu adalah sebuah nama untuk mengingatkan aku akan sejarah bagaimana aku dilahirkan.
Kini, aku berusia 17 tahun. Aku bersekolah di sebuah sekolah swasta yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Namun, setiap hari Rabu, aku meminta kakak perempuanku menjemputku ke sekolah. Karena setiap hari Rabu, aku harus mengikuti kelas tambahan yang membuat aku malas berjalan kaki untuk pulang ke rumah.
Tak seperti biasa, kakakku tak menjemputku ke sekolah. Dengan perasaan kesal ku langkahkan kakiku menuju ke rumah. Aku sudah berencana memarahi kakakku habis-habisan karena rasa lelahku ini. Kakakku yang tak pernah ingkar janji padaku, aku benar-benar harus menghukumnya.
"Awas saja, aku jitak kepalanya!" gumamku.
Ketika aku tiba di depan rumah, aku melihat sebuah mobil milik ayah tiriku yang enam bulan lalu menikahi mamaku, terparkir manis di sana. Hal itu tentu saja menambah rasa heranku. Karena tak seperti biasanya aku melihat mobil ayah pada jam-jam seperti ini. Yang aku tahu, ayah jam segini biasanya tengah bersantai menikmati istirahat siang di kantornya. Melihat mobil lelaki yang selalu menuruti keinginanku dan kakakku, aku sangat gembira.
"Ayah ada di rumah! Yeyyyy!"
Aku bersorak gembira dan melompat-lompat seperti anak SD. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Namun, ketika aku masuk, aku mendengar suara tangisan kakakku yang membuat aku memperlambat langkahku. Mendadak tangisan itu membuat aku gemetaran, pasalnya suara itu seperti suara rintihan akan sesuatu yang menyakitkan.
Ketika aku masuk, aku melihat sepatu ayah dan kakak tergeletak di lantai. Dengan rasa penasaran aku pelankan langkah kaki menuju ke sebuah tempat dimana suara rintihan kakak aku dengar.
Dan hatiku hancur ketika aku melihat hal menjijikkan dari sebuah celah pintu kamar kakakku. Aku tak menyangka akan melihat hal seburuk itu. Dan aku tak menyangka bahwa seseorang yang selama ini aku percayai tega melakukan hal itu pada kakakku.
Dengan tangan gemetaran aku melihat bagaimana tubuh gagah ayah tiriku menindi kakakku. Ia melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Hal yang seharusnya ia lakukan hanya kepada ibuku sebagai seorang istri sahnya.
"Kakak..."
Aku cepat-cepat menutup mulutku yang sebenarnya sudah tidak tahan untuk meneriakinya. Diriku yang penakut, pada akhirnya hanya mampu terdiam seperti seorang pengecut. Aku segera berlari meninggalkan rumahku karena aku sudah tak tahan lagi melihatnya. Aku tak tahan melihat ayahku yang entah sejak kapan berubah menjadi sosok yang menakutkan bagiku.
Aku berlari sekuat tenaga, meski ku tahu bahwa ayahku tak mungkin mengejarku karena dia tak tahu jika aku melihat semuanya. Aku berlari sambil menangis hingga tanpa sadar aku melukai kaki-kakiku yang ternyata sejak tadi bertelanjang tanpa alas kaki.
"Kakak..." gumamku sambil terus berlari tanpa tahu kapan aku harus menghentikan langkahku.
BRUK! Hingga tiba-tiba saja aku terjatuh karena tanpa sengaja menabrak seseorang. Tak ada yang aku lakukan, aku diam dalam posisi jatuhku sambil terus menangis karena bayangan itu tak berhenti berputar diingatanku.
"Kamu kenapa, Win?"
Ketika aku menyadari, aku telah berlari cukup jauh dan bertemu Sareka. Tanpa sadar aku menabrak tubuh besar Sareka yang kala itu nampaknya baru pulang dari stadion menghadiri pertandingan basket sekolah kami.
Ia berjongkok di hadapanku dan menatap mataku yang masih basah karena air mata yang tak bisa aku tahan. Melihat sosok Sareka, entah mengapa tiba-tiba saja membuat aku ingin berlindung darinya. Ku peluk Sareka erat-erat, dan kubiarkan diriku menangis sejadi-jadinya tanpa menceritakan hal buruk yang aku lihat.
"Kakak, maafkan aku! Maafkan aku kakak!"
Hanya itu yang keluar dari mulutku. Hanya itu yang bisa aku katakan saat memeluk tubuh Sareka.
Perlahan Sareka membelai rambut panjangku. Mungkin ia mencoba menenangkan aku meski tak tahu hal buruk yang telah aku alami.
Tapi entah kenapa, ketika aku merasakan belaian lembut dari tangan Sareka, aku mengingat kembali bagaimana ayahku menindih tubuh kakakku. Entah mengapa, aku mengingat wajah buasnya yang terkekeh ketika melihat kakakku merintih kesakitan dan memohon ampun.
"Jangan!"
Sontak hal itu membuat aku mendorong tubuh Sareka yang memelukku hingga terjatuh. Dan saat aku melihat wajah Sareka, entah mengapa tiba-tiba saja wajah itu menyerupai wajah ayah yang terkekeh.
"Windu! Kamu kenapa?"
Aku tak membiarkan bayang ayah tiriku itu yang hendak menyentuh tubuhku. Ku dorong kembali tubuhnya ketika hendak menyentuhku. Dan aku kembali berlari sekuat tenaga menuju ke tempat dimana aku tak bisa lagi melihat sosok menyeramkan itu lagi di hadapanku.
Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke rumah nenek dengan menaiki sebuah angkutan umum. Ketika tiba di sana aku melihat mama tengah minum secangkir teh bersama nenekku.
"Ma-Mama!"
Pikirku, aku harus mengadukannya pada mamaku. Aku tak boleh membiarkan lelaki itu bertindak semaunya. Namun, ketika ia melihat keberadaanku, entah mengapa wajah sumringah yang sebelumnya aku lihat, perlahan berubah menjadi sinis. Ia menatapku seakan aku melakukan kesalahan.
Ia menghampiriku yang sudah sangat kelelahan.
"Mama, tadi ayah..."
PLAK! Tiba-tiba saja satu tamparan mendarat di pipi kiriku dan membuat aku bingung. Dengan mata berkaca-kaca aku menatap mamaku. Wanita yang melahirkanku tujuh belas tahun yang lalu itu nampak sangat marah padaku.
"Mama, kenapa Mama..."
"TIDAK BISAKAH KAMU MEMINTA!" mama memotong ucapanku.
"M-mama? A-apa maksud Mama?"
Mama mengusap wajahnya dengan kasar, lalu kembali menatapku dengan ekspresi penuh kebencian.
"KENAPA KAMU HARUS MENCURI UANG AYAHMU! KENAPA KAMU MELAKUKAN HAL YANG MEMALUKAN!"
"Mencuri?"
Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang mama ucapkan padaku. Bahkan ia tak sedikitpun peduli dengan luka-luka di telapak kakiku karena terlalu lama berlari tanpa menggunakan alas kaki. Ia malah mencengkeram tanganku dan kembali menatapku dengan sorot mata kebenciannya.
"Haruskah kamu mencuri uang ayah tirimu!"
"Tapi, Ma! Aku tak mengerti dengan maksud Mama!"
"Jangan menyangkalnya! Meski kamu anak kandungku, kamu pikir aku akan membelamu meski kamu mencuri uang ayahmu!"
Entah apa yang dikatakan lelaki itu pada mamaku. Nampaknya ia sudah mengetahui apa yang aku lihat sore tadi. Dan nampaknya, ia mencoba membuat mamaku tidak percaya padaku.
Entah apa yang harus aku lakukan sekarang? Situasi ini benar-benar membunuh batinku!
Bersambung...