Aku sedang membuat bubur untuk Argat. Selain itu aku juga menambahkan telur asin di atas buburnya. Bu Rima bilang kalau Argat sangat menyukai telur asin. Kemudian kuantarkan semangkuk bubur ke kamarnya. Di kamar Argat sedang sibuk dengan laptopnya. Kuperhatikan Argat kesulitan mengetik. Aku tidak bisa menahan senyum saat kesabarannya diuji karena mengetik dengan menggunakan satu tangan. Aku tidak ingin menambah bebannya, jadi kusodorkan sesendok bubur di depan mulutnya. Merasa terganggu, Argat menoleh ke arahku.
"Sarapan. Kumohon jangan menolakku. Aku hanya ingin membantumu," ucapku.
Argat mengamati sendoknya dahulu sebelum akhirnya mau membuka mulut dan memakan buburnya. Kakiku memang lumayan pegal karena harus menyuapinya dengan berdiri. Apalagi cukup lama untuk Argat menelan buburnya. Seperti sedang menyuapi anak kecil yang harus sabar menunggunya mengunyah.
"Ehem.."
Mama berdeham yang membuatku jadi canggung. Mama menyodorkan segelas susu untuk diminum oleh Argat. Namun aku mengambil alih susunya dan menaruhnya di meja.
"Minum susu sebelum makanannya habis akan membuatmu mudah kenyang," ucapku.
"Ngatur," gumam Argat.
Mama tersenyum ke arahku. Mama usil memegang tangan Argat yang berada dalam gendongan. Aku sudah was-was melihat mama memegangnya. Mama mengetuk-ngetuk gipsnya dan membuatku langsung memejamkan mata. Namun aku tidak mendengar suara jeritan Argat. Saat kubuka mata, memang semuanya baik-baik saja. Kukira Argat masih bisa merasakan sakit saat gipsnya disentuh, ternyata tidak.
"Teruskan sarapanmu. Tidak usah malu pada Mama," goda Mama.
Mama memberiku isyarat untuk menyuapi Argat lagi. Entah mengapa mama berjalan dengan mengedipkan mata ke arahku. Setelah mama pergi, aku kembali menyuapi Argat sampai habis. Setelah itu Argat meminum susunya.
"Tidak berguna," keluh Argat.
Sepertinya Argat mulai kesal karena kesulitan mengetik. Melihatnya saja aku sudah mulai lelah, apalagi Argat. Kuputuskan untuk menaruh nampannya di dapur dahulu dan kembali ke kamar. Kuambil kertas yang ada di samping Argat dan membacanya.
"Kembalikan kertasnya," perintah Argat dengan melirikku tajam.
Sehari saja Argat tidak marah, aku akan senang hati membantunya. Namun aku juga harus menyadari bahwa hatinya sedang terluka, karena itu emosinya juga tidak stabil.
"Apa aku boleh mengetiknya? Kau bisa mendiktenya," ucapku berusaha membantunya.
"Apa kau bisa diam? Kau hanya menambah masalah saja," ucap Argat dengan ketus.
Dengan sabar aku duduk sambil melihat tangannya yang sedang mengetik. Aku akan menunggu Argat meminta bantuan padaku. Aku yakin lama-kelamaan Argat akan merasa lelah. Beberapa kali Argat berhenti sebentar karena merasakan pegal di bahunya. Namun Argat tetap keras kepala dengan tidak meminta bantuanku. Karena sikap keras kepalanya itu aku jadi gatal ingin segera membantunya.
"Aku akan membantumu. Tolong bacakan untukku," ucapku lalu mengambil alih laptopnya.
Kini aku duduk di kasur yang sama dengan Argat. Argat hanya pasrah dan tidak menolakku. Kalau dari tadi Argat bilang, pekerjaannya akan cepat selesai. Argat kemudian membacakan tulisannya dan aku mulai meringkas bacaannya. Awalnya semuanya baik-baik saja, hingga Argat membacanya dengan cepat. Aku jadi bingung ingin mengetik apa karena kecepatan membacanya.
"Selesai. Kau sudah meringkasnya?" tanya Argat melirik ke layar laptopnya.
Argat menyipitkan mata saat melihat layar. Dari tadi aku baru mengetik satu lembar saja. Bagaimana tidak? Argat terlalu cepat membacanya dan aku jadi bingung sendiri. Otakku tidak secepat itu memproses bacaannya.
"Sama sekali tidak berguna," ucap Argat dan mengambil kembali laptopnya.
Karena tidak ingin berdebat dengannya, aku memilih keluar. Mungkin dengan memasak suasana hatiku bisa kembali. Di dapur ternyata ada mama yang sedang membuat kue brownis. Aroma adonan kuenya membuatku ingin segera memakannya.
"Apa yang bisa kubantu, Ma?" tanyaku.
"Kau duduk saja dan melihatku menyulap adonan ini menjadi kue brownis yang lezat. Lagipula kau pasti lelah karena habis mengurus Argat," ucap Mama tersenyum padaku.
Ya, aku memang lelah. Bayi besar itu cukup merepotkan. Begitu pemarah, keras kepala dan suka menyalahkanku.
Setelah di oven, brownis pun matang. Dengan hati-hati mama mengeluarkan brownisnya dari oven. Mama kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian. Mama mengambil sepotong brownisnya dan menyuapiku. Dari ekspresiku saja aku yakin mama bisa mengetahui kalau brownis buatannya sangat enak. Teksturnya lembut sehingga mudah ditelan.
"Bawakan juga untuk Argat. Argat tidak akan menolak brownis buatan Mama," ucap Mama.
Aku mengambil tiga potong brownis dan menaruhnya di atas piring. Kemudian membawanya ke kamar. Argat sedang tidur dengan menyenderkan kepalanya ke sandaran kasur. Aku geleng-geleng melihat laptopnya yang masih berada di pangkuannya dengan keadaan menyala. Kupindahkan laptopnya ke meja supaya tidak jatuh. Namun, aku salah fokus melihat ketikannya yang belum selesai. Tadi Argat mengejekku tidak berguna, tetapi ternyata dia tidak meneruskan ketikanku. Dengan sukarela aku meneruskan pekerjaannya. Sebenarnya aku sedikit mengantuk, tetapi tetap kupaksa. Aku tidak tega jika harus membangunkan Argat.
"Delisa, makan dulu. Makanan sudah siap," ucap Mama dengan pelan karena menyadari Argat sedang tidur.
"Mama duluan saja. Aku akan menyusul," ucapku.
"Baiklah. Tapi jangan lupa makan," ucap Mama lalu menutup pintu.
Aku kembali menyibukkan diri dengan laptop di hadapanku. Berkali-kali aku menguap karena saking mengantuknya. Untuk membuat mataku tetap terjaga, aku pergi ke dapur untuk membuat kopi. Meminum secangkir kopi akan membuatku terjaga. Setelah meminum separuhnya, aku kembali melanjutkan kegiatan mengetikku. Aku tidak mengerti mengapa kopinya tidak ampuh untuk mengusir rasa kantuk. Perlu waktu berapa lama supaya kopinya bekerja? Kupaksakan mataku untuk melek hingga aku menyelesaikannya. Mungkin bukan hanya mengantuk, tetapi juga lelah. Sepertinya memang begitu, mataku sudah lelah. Kusandarkan kepalaku ke tembok dan memejamkannya. Lama-kelamaan makin gelap dan aku mulai tertidur.
"Bangun…"
Baru saja aku tertidur, sekarang sudah dibangunkan. Aku bangun karena merasakan gerakan di tanganku. Saat aku membuka mata ternyata pelakunya adalah Argat. Argat sengaja mengguncangkan bahuku supaya aku bangun.
"Pindahkan kopinya. Aku tidak menyukai bau kopi," suruh Argat memintaku untuk cepat-cepat membuang kopinya.
Dengan mata yang masih mengantuk, aku berdiri dan mengambil secangkir kopinya. Saat melihat laptop, aku baru sadar kalau aku sudah menyelesaikan pekerjaan Argat. Baru saja aku ingin mengatakan pada Argat, Argat sudah mengecek laptopnya. Kupikir Argat akan senang, tetapi ternyata raut wajahnya biasa saja.
"Singkirkan kopinya. Sama seperti kopi, kau mengganggu ketenangan kamar ini," ucap Argat mengusirku.
Dengan wajah kecewa aku berjalan keluar. Aku kecewa karena usahaku tidak dihargai olehnya. Bahkan, Argat tidak terlihat senang saat pekerjaannya sudah selesai.
"Tunggu dulu. Bawakan pengharum ruangan ke sini," perintah Argat.
Bukan hanya tidak menghargai usahaku, Argat tetap semena-mena padaku. Seharusnya sejak awal aku tidak usah berharap kalau Argat akan menghargai usahaku. Aku tidak minta dipuji, aku hanya ingin dihargai, itu saja. Argat bersikap seolah tidak ada yang terjadi dan mengusirku begitu saja. Karena itu suasana hatiku jadi buruk.