Sejak tadi Elsa terlihat tidak fokus. Elsa jadi lebih pendiam dari biasanya. Aku mencoba mengajaknya bicara, tetapi hanya jawaban singkat yang kudapat. Biasanya Elsa akan bersemangat membicarakan sesuatu, tetapi kini minatnya seakan menghilang.
"Elsa, apa Gavin mengganggumu lagi?" tanyaku khawatir.
"Tidak. Dia tidak menggangguku. Aku hanya sedang bingung. Kemarin aku bisa mengatasinya, tapi kenapa sekarang tidak? Aku mulai merasakan kesakitan itu lagi," ucap Elsa.
Jadi ini alasannya hanya diam. Elsa pasti sedang bingung dengan perasaannya yang mulai berubah-ubah. Aku tidak menyalahkannya karena bagaimanapun Gavin pernah berhubungan dengannya. Jadi wajar jika Elsa membutuhkan waktu untuk bisa melupakan Gavin.
"Aku sudah membuang semua barang-barang pemberiannya, tetapi rasanya seperti aku belum membuang apa pun. Terkadang kenangan itu menggoyahkan keputusanku. Mengapa harus sekarang?" Elsa menatap ke arahku dengan gelisah.
Linda yang baru saja datang mengambil tempat duduk di depan kami. Meskipun di lain meja, aku bisa melihat betapa risihnya Elsa mengetahui kehadiran Linda di sini.
"Kita pergi," ajakku menggandeng tangan Elsa.
"Tidak sekarang. Aku tidak ingin dianggap lemah oleh siapa pun," tolak Elsa.
Linda tampak biasa saja melihat kehadiran kami di sini. Bahkan Linda tampak asyik mengobrol dan bercanda dengan teman-temannya. Aku tahu kalau kita sebaiknya melupakan pertengkaran yang terjadi, tetapi begitu mudahnya Linda melakukannya. Begitu tenang seperti tidak ada masalah yang terjadi.
"Asyik gebetan baru, nih," ucap Ranti menggoda Linda.
"Apaan sih? Belum juga kejadian," ucap Linda menyangkal Ranti.
Apa yang dimaksud gebetan baru? Apakah itu Gavin? Namun mereka sudah berpacaran. Diam-diam aku berusaha mendengarkan obrolan mereka.
"Kasih tips dong, Lin. Aku juga mau kali dapat yang bagus," ucap Shandy.
"Iya, nih. Bagi tips dong," ucap Ranti.
"Cuma ada satu. Kalau niat, berusahalah untuk mendapatkannya. Tidak peduli dengan yang dirasakan orang lain," ucap Linda yang membuat Ranti dan Shandy bertepuk tangan.
Aku ingin mengajak Elsa untuk pergi dari sini, tetapi Elsa tetap mau di sini. Elsa meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Justru Elsa ingin meyakinkan hatinya kalau dia sudah melupakan Gavin. Elsa menganggap bahwa dengan berada di sekitar Linda, maka akan mempermudahnya untuk cepat move on. Itu memang bagus, tetapi aku khawatir kalau hal itu hanya akan memperparah rasa sakitnya. Luka itu masih segar, jika terkena gesekan sedikit saja, maka rasanya akan perih.
"Setelah kita mendapatkannya, jangan lupa untuk terus menggengamnya. Jangan biarkan orang lain dengan mudah mengambilnya," ucap Linda tertawa.
"Setuju…" ucap Ranti dan Shandy bersamaan.
"Kalau sudah bosan, kau baru bisa memikirkan apakah harus dibuang atau dikembalikan," ucap Linda yang membuat Ranti dan Shandy tertawa puas.
Berbeda dengan Linda yang terus tertawa, Elsa terlihat memegang gelasnya dengan erat. Aku was-was kalau gelas itu bisa pecah dan melukai tangannya.
Aku mendengar mama yang berteriak memanggil nama Argat. Dari bawah aku melihat mama berjalan dengan cepat sambil membawa sebuah amplop berwarna cokelat. Setelah mama menuruni tangga aku menghampirinya.
"Di mana Argat?" tanya Mama sudah tidak sabar.
"Argat belum pulang, Ma," jawabku.
Tiba-tiba mama membanting amplop itu di atas meja. Mama terlihat sangat marah. Kubuka isi amplopnya untuk memastikan dugaanku. Ya ampun ternyata benar saja, amplop itu berisi surat gugatan cerai. Bagaimana mama bisa menemukannya? Aku bahkan tidak tahu di mana Argat meletakkan amplop itu. Apa memang aku yang tidak menyadarinya? Semalam aku sangat mengantuk. Mungkin karena itu aku tidak menyadari jika ada amplop di atas meja.
"Mama juga marah padamu. Selama ini Mama senang karena kau bisa menjadi istri yang baik untuk Argat. Tapi kenapa kau mengecewakan Mama?" Mata mama terlihat mulai berair.
Mama langsung menarik tangan Argat setelah mengetahui anaknya itu sudah pulang. Mama mengambil suratnya dan menunjukkannya tepat di depan wajah Argat. Argat menatapku dengan murka. Jangan bilang Argat akan menuduhku lagi.
"Apa ini? Kalian mau bercerai?" tanya Mama dengan mencengkeram lengan Argat.
Argat melepaskan tangan mama yang mencengkeram lengannya. Argat kemudian mendekat ke arahku. Aku hanya bisa menunduk karena tidak sanggup menghadapi tatapan penuh amarahnya. Aku terkejut saat Argat tiba-tiba menggoyangkan kedua bahuku dengan cukup kencang. Aku menatap ke arah matanya seakan memohon untuk dimaafkan, walaupun aku tidak membuat kesalahan.
"Kau sengaja mengadu pada Mama? Menjijikan!"
"Argat!" teriak Mama.
Aku terdorong ke belakang dan hampir jatuh. Mama memegangi lenganku supaya Argat tidak berani menyakitiku lagi.
"Seperti inikah caramu memperlakukan istrimu?! Delisa istrimu, Argat!" ucap Mama yang makin marah dengan Argat.
"Dia bukan istriku! Pernikahan ini tidak sah!" Argat kukuh pada pendiriannya.
Aku mencoba menghentikan mama yang akan menampar Argat. Aku tidak ingin mereka bertengkar hanya karena aku. Argat sudah sangat membenciku dan aku tidak ingin dia makin membenciku. Jika Argat memang ingin marah, marah saja padaku, tetapi jangan pada mama. Mama begitu menyayangiku dan aku tidak ingin menyakitinya.
"Jadi kau memaksa Delisa? Kau membuatnya supaya mau menandatangani surat ini?" tanya Mama dengan tatapan tidak percaya.
"Kau mungkin tidak menganggapnya sebagai istri, tetapi Mama menganggapnya sebagai menantuku. Mama sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Jangan sampai kau menyakiti anakku," ucap Mama.
Argat kembali mendekatiku. Mama sudah was-was dan berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu Argat akan menyakitiku lagi. Mama meletakkan tangannya di depanku untuk menghalangi Argat. Meskipun Argat sedang marah, aku tetap saja menemukan kesedihan di matanya. Apakah kemarahan adalah cara Argat untuk menunjukkan kesedihannya?
"Jadi ini keputusanmu?" tanya Argat dengan nada yang mulai memelan, tetapi tajam.
"Aku tidak ingin bercerai darimu," jawabku sembari menatap ke arah matanya.
Argat langsung memalingkan wajahnya begitu mendengar jawabanku. Aku tahu bahwa jawabanku tidak sesuai dengan harapannya. Aku juga tahu kalau Argat akan sedih dengan keputusanku. Namun aku sudah berjanji bahwa aku juga yang akan mengatasi kesedihannya. Aku sudah berjalan pada pilihanku untuk hidup bersamanya. Meskipun tidak ada benih-benih cinta di antara kita, aku tetap memilih hidup dengannya.
"Kalau itu keputusanmu, maka dengarkan baik-baik keputusanku. Aku tidak akan pernah menyentuh atau menganggapmu, jadi jangan hentikan aku untuk berbuat yang lebih buruk dari ini," ucap Argat kemudian pergi meninggalkan kami.
Mama memelukku dan mengusap-usap punggungku. Aku tidak bisa lagi menangis. Air mataku rasanya mulai mengering. Mengapa aku tidak menangis saja? Rasanya lebih sakit saat air ata tidak lagi keluar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan sebuah tantangan yang harus kuterima dan kuselesaikan. Kini kami sudah membuat keputusan masing-masing, maka mulai sekarang aku juga harus siap menghadapi kemungkinan yang bisa saja terjadi.