Ponselku berdering saat aku sedang mengetik di komputer. Ternyata panggilan masuk dari Pak Mario. Begitu mengetahuinya aku langsung mengangkatnya. Namun tiba-tiba saja dimatikan oleh Pak Mario. Selang beberapa detik sebuah pesan dari Pak Mario masuk. Isi pesannya adalah Pak Mario memintaku untuk ke ruangannya karena Argat sudah datang. Jujur saja aku tidak tahu kalau Argat akan ke sini. Kejadian semalam membuatku teringat kembali. Namun demi pekerjaan kukesampingkan rasa sedihku. Sesampainya di ruangan Pak Mario, aku berjabat tangan dengan Argat. Tanpa melihat wajah Argat aku menjabat tangannya. Seperti biasanya, mereka akan membicarakan soal bisnis dengan sesekali diselingi candaan. Lama-lama mataku menjadi begitu berat. Kantuk mulai menyerangku. Mungkin ini efek karena semalam aku baru tidur pukul dini hari.
"Senang bisa bekerja sama denganmu," ucap Pak Mario lalu menjabat tangan Argat.
Aku ikut berdiri melihat mereka berdiri. Akhirnya Argat pulang juga setelah sekian lama. Mungkin aku akan tidur sebentar di ruanganku nanti. Mataku kian berat untuk dibuka. Namun, tiba-tiba aku hampir jatuh karena kakiku tersandung meja.
"Aw…"
Aku mulai kehilangan keseimbangan. Untung saja Pak Mario langsung sigap menahan tanganku. Kalau tidak aku bisa jatuh ke depan dan merasa sangat malu. Tanpa sengaja aku mencengkeram tangan Pak Mario dengan erat hingga membuatnya meringis. Seketika aku langsung melepaskan cengkeramanku.
"Terima kasih, Pak," ucapku dengan cukup canggung.
Argat sengaja menghadap ke samping supaya tidak bisa melihat kebodohanku. Bagus kalau begitu, rasa maluku jadi tidak berlipat ganda. Dengan hati-hati aku mengantar Argat keluar ruangan. Elsa mengambil tisu dalam jumlah yang cukup banyak dan digunakan untuk menutupi wajahnya. Aku sekalian menghampirinya karena kebetulan hanya beberapa langkah jarakku dengannya.
"Elsa, kenapa?" tanyaku heran melihat tingkahnya.
"Sedih banget…" ucap Elsa setelah menyingkirkan tisu dari wajahnya.
Hampir saja aku menjerit melihat matanya yang memerah dan pipi yang basah karena air mata. Kira-kira sudah berapa lama Elsa menangis? Aku melihat ke sekeliling untuk mengetahui reaksi orang-orang. Syukurlah karyawan lain fokus bekerja, sehingga tidak sempat melihat wajah Elsa saat ini.
"Gavin selingkuh, Del. Aku harus apa? Padahal selama ini hubungan kita baik-baik aja," ucap Elsa lalu mengelap ingusnya.
"Kok bisa? Kalian berantem?" tanyaku mencari tahu.
"Enggak, Del. Beneran enggak bohong. Aku tidak sengaja membaca notifikasi chatnya. Isinya tentang percakapan bucin, hiks…" Elsa kembali menangis.
Aku mengambil tisu untuk membantu mengelap air matanya. Saat ini penampilan Elsa benar-benar kacau. Aku mengajaknya ke kamar mandi untuk merapikan penampilannya. Aku sengaja berdiri di depan supaya menutupi wajah Elsa. Aku tidak ingin kesedihan Elsa menjadi gosip di antara para karyawan.
"Basuh wajahmu pakai air, El. Setelah ini aku dandanin lagi," suruhku.
Aku memegang rambut Elsa ke belakang supaya tidak basah terkena air. Setelah Elsa membasuh wajahnya dengan air, aku menyuruhnya untuk mengeringkan dengan tisu.
"Jangan nangis lagi, El. Percuma dong," keluhku.
"Oh iya, aku lupa," ucap Elsa menepuk jidat.
Elsa kembali membasuh wajahnya dengan air lalu mengeringkannya dengan tisu. Setelah benar-benar kering, aku mengeluarkan foundation dari dalam tasku. Dengan telaten kuratakan foundationnya ke wajah Elsa. Setelah itu aku mengoleskan concealer dengan cukup tebal untuk menutupi mata sembabnya. Setelah beberapa menit akhirnya selesai juga. Sekarang tinggal mengoleskan lipstik merah di bibirnya. Sekarang penampilan Elsa jauh lebih baik. Setidaknya cukup mampu menutupi wajah habis menangisnya.
"Sayang banget sama Delisa," ucap Elsa sambil memelukku.
"Sejak kapan Gavin mulai selingkuh? Emang Gavin beneran selingkuh? Aku khawatir kalau kau hanya salah paham," ucapku.
"Aku tidak bohong, Del," ucap Elsa sambil menunjukkan dua jarinya.
Saat Elsa akan menangis lagi, aku langsung mengguncangkan pundaknya untuk mengingatkannya. Jangan sampai semuanya jadi luntur gara-gara air mata Elsa. Setelah Elsa bercerita panjang lebar, aku jadi lebih percaya kalau Gavin memang selingkuh. Kecurigaan Elsa membuatku ingin membantunya.
"Sekarang bagaimana? Apa aku harus putusin Gavin sekarang juga?" tanya Elsa mencari solusi.
"Jangan dulu. Lebih baik kita cari dulu kebenarannya. Jangan putusin Gavin sampai kita dapat buktinya," ucapku.
Aku berjalan meninggalkan ruanganku. Jujur saja masalah yang dialami Elsa membuatku kepikiran. Meskipun aku juga memiliki masalah sendiri, bukan berarti aku jadi tidak mempedulikan Elsa.
"Delisa!" panggil Mama.
Mama ada di sini? Aku menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada Pak Mario. Namun saat aku menoleh ke belakang, aku melihat Pak Mario yang berjalan ke arahku dalam jark yang cukup jauh. Tanpa menunggu lama aku langsung berjalan cepat ke arah mobil. Aku membuka pintu mobil untuk mama supaya mama bisa masuk duluan. Sambil terus mengawasi langkah kaki Pak Mario, aku meminta mama untuk segera masuk.
"Ada apa, Sayang?" tanya mama yang heran melihatku bertingkah aneh.
"Mama masuk dulu, setelah itu baru aku," ucapku.
Akhirnya mama mau masuk juga. Kubuka pintu mobilnya dengan cepat dan masuk dengan sedikit tergesa-gesa. Setelah menutup pintu mobilnya, kusandarkan kepalaku ke belakang. Hari ini aku selamat.
"Aaa…"
Aku menjerit setelah mengetahui Argat berada di sampingku. Aku tidak menduga kalau Argat berada di mobil yang sama dengan kami. Bukankah tadi Argat sudah pulang? Mengapa tiba-tiba ada di sini? Cukup aneh karena bukannya menyetir Argat malah duduk di belakang.
"Ada apa?" tanya Mama ikutan panik.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Aku hanya terkejut saja," jawabku.
Di saat aku menjerit ketakutan, Argat tetap diam seperti tidak ada yang terjadi sama sekali. Aku memakluminya karena Argat memang sedang marah padaku. Tidak peduli seberapa tajam lidahnya menyakitiku, tetap saja aku tidak bisa marah padanya.
Kami sampai di sebuah mall. Aku tidak tahu mengapa kami berada di sini. Aku berjalan di samping mama untuk menghindari berdekatan dengan Argat.
"Hari ini kita akan belanja," ucap Mama dengan bersemangat.
"Belanja?"
"Kita akan belanja baju untuk menghadiri pesta pernikahan teman Mama. Kalian berdua harus ikut," perintah Mama.
"Apa?" Argat terkejut.
"Kenapa? Kau sudah setuju, kan?"
"Mama tidak bilang kalau kita akan melakukan hal yang sia-sia," ucap Argat merasa dibohongi.
Wajar saja Argat marah, soalnya mama berbohong padanya. Argat mengira kalau mereka hanya akan sekadar makan siang, ternyata tidak. Aku juga hanya pasrah karena mama sudah memerintah. Di salah satu toko pakaian, mama menyuruh kami untuk mencoba bajunya. Lagi-lagi mama yang memilihkannya. Dengan wajah malas Argat menuruti permintaan mamanya.
"Bagus. Mama menyukainya," puji Mama setelah melihat penampilan kami.
Setelah mendapat pujian, Argat langsung mengganti bajunya. Entah mengapa aku menahan senyum melihat tingkahnya yang kesal tetapi penurut pada sang mama. Andai saja Argat tidak memiliki mulut setajam silet, kurasa aku akan menyukai kepribadiannya.