Aku turun dari bus dengan langkah yang santai karena meeting diundur. Aku melihat Gavin di dekat gerbang. Apa mereka sudah baikan? Aku turut senang melihatnya. Mungkin saja persepsiku pada Gavin kemarin itu salah. Bisa saja Gavin hanya mengobrol dengan temannya. Setelah ini Elsa pasti akan bercerita banyak padaku. Aku sudah tidak sabar mendengar ceritanya. Namun, aku tidak menemukan Elsa di meja kerjanya. Tasnya juga tidak ada. Kalau Elsa tidak ada di sini, lalu siapa yang diantar oleh Gavin? Aku mencoba menghubungi Elsa, tetapi nomornya tidak aktif. Pandanganku beralih pada sosok Ranti yang sedang memegang sebuah kipas. Kipas itu sangat mirip dengan suvenir dari resepsi pernikahan kemarin.
"Ranti, apa kau tahu di mana Elsa?" tanyaku berbasa-basi dahulu.
"Tidak. Kurasa dia belum datang," jawab Ranti.
Aku ingin menanyakan soal kipas itu, tetapi ragu-ragu. Kipas itu benar-benar mirip dengan milikku. Aku jadi berpikir kalau perempuan yang ada di samping Gavin waktu itu adalah Ranti. Kalau begitu tadi Gavin mengantar Ranti? Benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Cuma ke toilet aja lama banget," keluh Ranti.
"Siapa?" tanyaku.
"Linda," jawab Ranti.
Mulai saat ini aku akan mengawasi Ranti. Setelah pulang dari kantor aku akan mampir ke rumah Elsa dan menceritakan segalanya. Meskipun masih dugaan, aku tidak ingin menyembunyikannya dari Elsa. Namun, apa ini sebabnya Elsa tidak masuk?
Jam makan siang akhirnya tiba. Kurapikan semua berkas-berkas dan menumpuknya jadi satu. Setelah Pak Mario keluar, aku baru bisa keluar. Saat aku akan berbalik setelah menutup pintu, tiba-tiba Pak Mario ada di hadapanku. Untung saja aku tidak menabarak dirinya.
"Maaf jika aku mengagetkanmu. Aku hanya ingin bilang kalau lain kali mungkin kita bisa minum kopi lagi. Aku tidak memaksamu, aku hanya menawarimu saja," ucap Pak Mario.
"Tidak apa-apa, Pak. Jika Pak Mario membutuhkanku, aku akan dengan senang hati menyetujuinya," ucapku.
"Gaya bicaramu terdengar sangat formal. Maksudku tidak apa-apa jika sesekali bersikap akrab, seperti teman," ucap Pak Mario merasa tidak nyaman.
"Teman?" tanyaku kikuk.
"Ya, teman ngopi. Terkadang aku membutuhkan teman untuk sekadar ngopi bersama," jawab Pak Mario.
"Bagaimana dengan Pak Argat? Maksudku, dia juga teman Pak Mario," ucapku.
"Ya, dia juga temanku. Tapi dia agak pemarah akhir-akhir ini dan itu membuatku cukup terbebani," ucap Pak Mario.
Aku bisa mengerti jika Pak Mario merasa tidak nyaman dengan Argat. Saat ini Argat memang sangat marah denganku dan mungkin karena itu dia jadi mudah emosi kepada semua orang. Untuk menghormati Pak Mario, aku menyetujui ajakannya, meskipun sudah bukan dilingkungan pekerjaan.
Kali ini aku sengaja keluar kantor lebih cepat. Bukan karena ingin pulang cepat, tetapi karena ingin melihat dengan siapa Ranti pulang. Aku memilih berdiri di dekat pohon yang cukup besar sambil memantau pergerakan Ranti. Setiap ada orang yang lewat, aku berpura-pura memainkan ponselku. Dari jarak yang cukup jauh, aku bisa melihat kalau Ranti sedang sibuk mengetik di layar ponselnya. Sebuah mobil tiba-tiba menghalangi penglihatanku. Aku sedikit berjinjit supaya bisa melihat Ranti.
"Delisa. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Pak Mario yang membuatku langsung bersikap biasa saja.
Pak Mario menengok ke arah yang sejak tadi kupantau. Tingkah Pak Mario membuatku cukup panik karena takut ketahuan.
"Tidak ada apa-apa, Pak," ucapku.
"Haltenya di sana, kan?"
"Iya, Pak. Aku juga mau ke sana. Permisi," ucapku dengan sopan.
Kupercepat langkahku ke arah halte. Begitu samai di halte, aku tidak bisa menemukan keberadaan Ranti. Ke mana Ranti pergi? Ya ampun, aku sudah kehilangan jejaknya. Gara-gara Pak Mario semuanya jadi gagal. Lain kali aku tidak akan bersembunyi di dekat pohon itu lagi. Sekarang aku pergi ke rumah Elsa dengan rasa kecewa.
Kuketuk pintu rumah Elsa selama tiga kali. Saat pintu dibuka, aku melihat wajah pucat Elsa. Elsa terlihat terkejut melihatku ada di sini. Melihat kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja, aku cukup pesewa karena Elsa tidak memberitahuku sama sekali. Bahkan nomornya tidak aktif.
"Kau tidak memberitahuku kalau kau sedang sakit. Kalau aku tahu, aku pasti membawakan makanan kesukaanmu," ucapku.
Aku meminta Elsa untuk berbaring saja di tempat tidurnya, sedangkan aku duduk di sampingnya. Kondisi Elsa membuatku khawatir. Aku tidak menyangka kalau perselingkuhan Gavin membuatnya sampai seperti ini.
"Aku tidak mau menyusahkanmu," ucap Elsa dengan nada yang lirih, tidak seperti biasanya.
"Tidak sama sekali. Aku justru tidak senang kalau kau tidak membagi masalahmu denganku," ucapku memegang tangannya.
Biasanya Elsa memiliki suara yang keras, tetapi kali ini aku hanya bisa mendengar suara lirihnya. Sorot matanya menyiratkan kesedihan.
"Kalian sudah putus, kan?" tanyaku.
"Tidak jadi. Gavin tidak ingin putus dariku," ucap Elsa yang membuatku makin tidak tega.
"Kenapa? Bagaimanapun perselingkuhan itu tidak benar," ucapku.
"Aku belum memiliki bukti untuk membuktikan perselingkuhannya," ucap Elsa.
Aku melihat semangkuk bubur di atas meja. Saat kupegang buburnya sudah lumayan dingin. Sepertinya Elsa sengaja tidak memakannya.
"Kau tidak memakan buburmu?" tanyaku.
"Aku tidak lapar," jawab Elsa.
Ibunya Elsa sudah memasakkan bubur sebelum berangkat bekerja, tetapi Elsa tidak mau memakannya. Karena itu aku akan membujuknya supaya mau makan. Kalau Elsa tidak makan, dia tidak akan cepat sembuh.
"Aku tidak lapar, Del," tolak Elsa.
"Sedikit saja," bujukku.
Dengan sedikit paksaan, aku berhasil menyuapi Elsa. Setiap kali Elsa ingin berhenti makan, aku membujuknya lagi dengan satu suapan. Meskipun buburnya tidak habis, setidaknya Elsa mau makan. Kemudian aku memberikan obat dan segelas air untuk diminumnya. Jika aku tidak ada di sini, entah kapan Elsa akan meminum obatnya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu soal Gavin," ucapku.
"Apa?"
"Kemarin aku tidak sengaja melihatnya di sebuah acara pernikahan. Gavin sedang berbicara dengan seorang perempuan. Aku tidak tahu siapa perempuan itu. Perempuan itu membelakangiku, jadi sulit untukku menebaknya."
"Mungkin saja itu temannya," ucap Elsa.
"Pagi tadi Gavin mengantar seseorang. Kukira itu adalah kau. Aku merasa sangat senang karena kalian bisa berbaikan, tetapi ternyata bukan kau. Tapi, aku melihat Ranti memegang sebuah kipas yang sama persis dengan suvenir pernikahan yang kuhadiri," ucapku.
Kemudian aku menceritakan bagaimana tingkat kemirian kipas milik Ranti denganku. Mungkin ini belum pasti kalau perempuan itu adalah Ranti, tetapi lebih baik aku mengatakannya pada Elsa.
"Jadi kau beranggapan kalau selingkuhan Gavin adalah Ranti?" tanya Elsa yang maish tidak percaya.
"Aku hanya menduganya," jawabku.
"Perselingkuhan memang snagat aneh," ucap Elsa.
Elsa terlihat menahan air matanya. Aku menunduk karena tidak ingin menangis juga. Satu hal yang baru kusadari adalah Gavin yang tidak ada di sini. Elsa membutuhkan Gavin saat ini. Seharusnya dia ada di sini.