Chereads / What is My Position / Chapter 16 - Luka

Chapter 16 - Luka

Kumatikan komputerku setelah selesai menggunakannya. Kuambil tasku dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Pak Mario sudah berdiri di depan pintu. Aku menyapanya dengan rasa hormat.

"Aku lelah sekali hari ini," keluh Pak Mario sambil memijat pelipisnya.

Kuletakkan kembali tasku di atas meja. Sekarang aku jadi bingung harus melakukan apa. Pak Mario terlihat sangat lelah, karena itu aku tidak ingin memberondongnya dengan pertanyaan yang akan membuatnya bertambah pusing.

"Apa kau ada kesibukan lain?" tanya Pak Mario.

"Tidak, Pak," jawabku.

"Ingin minum kopi? Mungkin kita bisa minum kopi di luar. Itu pun jika kau mau," ucap Pak Mario menawariku.

Sebenarnya aku tidak memiliki kegiatan setelah ini. Kurasa mama juga tidak keberatan jika aku menemani Pak Mario minum kopi.

"Ya, Pak," ucapku menyetujui ajakannya.

Dengan menaiki mobil Pak Mario, kami pergi ke kedai kopi. Kukira Pak Mario memiliki sopir, ternyata dia sendiri yang menyetir. Biasanya seorang bos memiliki sopir untuk mengantarnya ke mana saja.

"Apa Linda masih merepotkanmu?" tanya Pak Mario memecah keheningan.

"Tidak, Pak. Kami sudah jauh lebih baik," jawabku.

Akhirnya kami sampai di sebuah kedai kopi. Pak Mario mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Pak Mario sengaja memilih kedai kopi yang tidak begitu ramai supaya bisa menenangkan diri. Aku memang tidak begitu menyukai kopi, tetapi aku bisa meminumnya. Setelah memesan kopi, kami memilih tempat duduk yang ada di lantai dua. Kebetulan di lantai dua memiliki konsep terbuka. Jadi kami bisa melihat pemandangan dari atas. Angin yang berhembus menambah kesan sejuk.

"Soal Linda tadi, dia benar-benar tidak mengganggumu, kan?" tanya Pak Mario.

"Tidak, Pak. Semuanya sudah baik-baik saja," jawabku.

Pak Mario mengetuk-ngetuk meja dengan kukunya, sedangkan aku memilih melihat ke arah lain. Keadaannya cukup canggung karena aku jarang mengobrol berdua dengan Pak Mario jika tidak berhubungan dengan pekerjaan. Akhirnya pesanan kami sudah datang. Sekarang aku memiliki kesibukkan dengan meminum kopi.

"Di sini cukup dingin," ucap Pak Mario.

"Pak Mario ingin pindah ke bawah?" tanyaku menawarinya.

"Tidak perlu. Di sini dingin, tapi aku menyukainya," jawab Pak Mario.

Pak Mario adalah pria yang hangat, tidak seperti yang digambarkan para karyawannya. Jika seperti ini aku bisa melihat sisi hangatnya. Aku memilih untuk membaca buku. Merasa sedang diperhatikan, aku menutup bukunya. Ternyata benar saja, Pak Mario sedang melihat ke arahku.

"Sejak kapan kau mulai suka membaca buku?" tanya Pak Mario.

"Aku tidak tahu pastinya. Aku hanya membaca jika memiliki waktu luang," jawabku.

"Cara menjadi isri yang baik," ucap Pak Mario membaca bukuku.

Seketika aku langsung memasukkan bukunya ke dalam tas. Kecerobohanku baru saja membuatku malu. Sekarang aku jadi gugup karena takut Pak Mario akan menuduhku sudah menikah. Ya ampun Delisa, mengapa aku bisa seceroboh ini?

"Aku hanya iseng membacanya, Pak. Sampul bukunya bagus, jadi aku membelinya," ucapku dengan cepat.

Melihat reaksiku, Pak Mario malah tersenyum. Hari ini secara perdana aku melihat Pak Mario sedang tersenyum. Bahkan sampai menampakkan sedikit giginya. Apa jawabanku terdengar lucu?

"Anggap saja sebagai persiapan, itu bagus. Melakukan persiapan itu lebih baik daripada mengatasinya," puji Pak Mario.

Tak terasa sudah satu jam kami menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama. Kopiku juga sudah habis. Karena tidak ada lagi yang ingin dibahas, kami memutuskan untuk pulang. Aku ingin membayar kopiku sendiri, tetapi Pak Mario mendahuluiku dengan memberi kartu atmnya ke kasir.

"Terima kasih, Pak," ucapku.

Pak Mario membuka pintu supaya aku bisa keluar lebih dahulu. Aku akan pulang naik taksi saja supaya tidak merepotkan Pak Mario.

"Pak, aku akan naik taksi saja. Terima kasih untuk kopinya," ucapku berpamitan pada Pak Mario.

"Masuklah, aku akan mengantarmu," ucap Pak Mario menawariku.

"Aku akan pulang naik taksi saja, Pak," tolakku dengan sopan.

Mama sedang pergi keluar untuk menemui teman-temannya. Jarak yang jauh membuat mama tidak bisa sering bertemu dengan mereka. Mumpung ada di Indonesia, mama ingin berkumpul dengan teman-temannya. Tiba-tiba aku mendengar suara benda jatuh dari lantai bawah. Aku langsung berinisiatif untuk mengeceknya.

"Argat!" teriakku saat melihat kemejanya terkena darah.

Dengan cepat aku menuruni tangga untuk mengecek keadaannya. Ya ampun tangannya mengeluarkan darah. Untuk mencegah darahnya mengalir kian deras, aku berlari ke dapur untuk mengambil kotak obat. Aku juga membawa sebaskom air untuk membersihkan darah di tangan Argat. Saat aku akan memegang tangannya, Argat mundur satu langkah menjauhiku.

"Urus saja dirimu sendiri," tolak Argat mentah-mentah.

"Tanganmu berdarah. Biarkan aku mengobatinya," ucapku mulai panik.

Aku terpaksa memaksanya. Luka ini harus segera diobati untuk menghentikan pendarahannya. Dengan hati-hati kucelupkan tangan Argat ke baskom yang berisi air. Argat sedikit merintih karena merasakan perih di tangannya. Dengan pelan aku membasuh tangannya dengan air. Setelah tangannya bersih, aku mengeringkannya dengan tisu. Aku mengelap tangannya dengan pelan dan hati-hati. Kemudian kuteteskan obat merah ke lukanya dan berakhir dengan menutup lukanya dengan perban.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanyaku.

Pak Hasan yang baru datang memberikan ponsel Argat yang tertinggal di mobil. Aku mencegah Pak Hasan yang akan pergi. Jika Argat tidak mau menjawabku, maka aku akan bertanya langsung pada Pak Hasan.

"Pak, kenapa semua ini bisa terjadi?" tanyaku.

"Tuan Argat sangat marah setelah menelepon seseorang. Kemudian Tuan Argat meninju pohon sampai tangannya berdarah. Aku sudah mencoba menghentikannya, tetapi Tuan Ar- " ucapan Pak Hasan dipotong oleh Argat.

"Pergilah. Aku tidak ingin diperlakukan dengan khusus oleh orang yang pura-pura peduli padaku," ucap Argat sambil menatapku dengan penuh kemarahan.

Setelah Pak Hasan pergi, Argat bangkit dari duduknya. Sebelum mengetahui apa yang terjadi, aku tidak akan membiarkannya pergi.

"Katakan padaku apa yang terjadi? Maaf jika mungkin aku yang menyebabkan semua ini."

"Ya! Kau, kau, kau dan hanya kau! Semua masalah ini terjadi karena kau! Maya pergi dariku itu juga gara-gara kau! Aku selalu menahan kemarahanku, tetapi sekarang tidak lagi. Setiap hari aku merasa muak dan rasa muakku kian bertambah setelah anak buahku tidak becus mencari Maya," ucap Argat dengan nada yang meninggi.

Aku terkejut saat Argat membanting vas bunga yang ada di atas meja. Tubuhku bergetar menyaksikan kemarahannya. Kemarahannya meledak-ledak, aku sendiri bingung mencari cara untuk menenangkannya. Tidak pernah kusangka sebelumnya jika kemarahannya bisa meledak-ledak.

"Jangan bersikap seakan kau memiliki hubungan denganku. Kehadiranmu sama sekali tidak ada artinya bagiku," ucap Argat menajamkan kata-katanya.

Waktu itu Argat mengetahui jika Maya yang membuatku melakukan ini. Mengapa Argat terus saja menyalahkanku? Aku menangis bukan karena sakit hati dengan ucapannya, tetapi karena aku kasihan melihat keadaannya yang seperti ini. Ditambah aku tidak bisa memberitahumu di mana keberadaan Maya. Lagi-lagi janji ini memaksaku untuk diam. Setelah Argat pergi, kutekan nomor Maya di ponselku. Namun anehnya, nomor itu tidak terdaftar. Aku sudah mencobanya berkali-kali, tetapi hasilnya sama saja. Nomor Maya tidak terdaftar. Demi tuhan ke mana kau Maya? Argat sangat membutuhkanmu. Kumohon jangan menghindar dan membuat masalah ini makin rumit.