Aku bangun karena mendengar alarm yang berdering. Aku akan melakukan rutinitasku di pagi hari dan kemudian bekerja. Dari jendela aku melihat ibu yang sedang menyirami tanamanya. Aku tersenyum melihat ibu yang tampak bahagia saat merawat tanaman hiasnya. Semalam aku tidak mengatakan apa pun kecuali kebohongan pada ibu. Aku berbohong kalau Argat akan pergi keluar kota, sehingga aku memilih tinggal di sini karena tidak betah sendirian. Aku terpaksa melakukannya karena tidak ingin membuat ibu sedih dan kemudian jatuh sakit.
"Bu, sarapan sudah siap," ucapku lewat jendela.
Ibu hanya tersenyum kemudian menghentikan aktivitasnya untuk bergabung denganku di meja makan. Aku mengambilkan sepiring nasi dan semangkuk sop ayam untuk ibu.
"Ibu terlihat sangat bahagia sekali," ucapku dengan tersenyum.
"Tanaman Ibu terlihat subur. Rasanya Ibu ingin memandanginya setiap hari," jawab Ibu.
"Ibu bisa melihatnya sepanjang waktu," ucapku.
"Selain itu Ibu senang melihatmu bahagia dengan Argat. Ibu tidak bisa menggambarkan betapa bahagianya Ibu," ucap Ibu.
Andai saja ibu tahu apa yang kurasakan. Mungkin aku akan menangis dipelukannya selama sehari penuh. Namun aku hanya bisa menelan kepahitanku sendiri. Entah takdir seperti apa yang diberikan untukku. Aku hanya ingin memenuhi janjiku pada sahabatku, Maya.
"Apa Argat merepotkanmu?" tanya Ibu yang membuatku terbatuk-batuk.
Ibu menuangkan segelas air untukku. Aku meminumnya sampai habis. Mengapa ibu memberiku pertanyaan yang membuatku harus berbohong lagi?
"Argat sangat baik padaku. Dia tidak merepotkanku sama sekali. Malah aku yang merepotkannya," jawabku.
"Jika kau lebih pengertian padanya, Ibu yakin kau bisa memahaminya. Masalah apa pun yang kalian hadapi nantinya, bersabarlah, Nak. Semoga Argat tidak membuatmu seper- " ucapan Ibu terpotong olehku.
"Tidak, Bu. Ibu tidak perlu khawatir."
Ingin sekali aku berteriak dengan sekeras-kerasnya untuk meluapkan beban yang ada di hatiku. Maya, Argat, Ibu, aku harus menanggung semuanya. Aku tidak masalah, tetapi mengapa harus bersamaan? Pada satu sisi aku tidak ingin mengecewakan Maya dan ibu, tetapi di sisi lain aku sudah mengecewakan Argat. Sungguh, aku tidak tahu ke mana lagi aku akan pergi. Ibu memegang tanganku dan menatapku dengan tatapan penuh harap.
"Cintai suamimu dengan tulus," ucap Ibu yang membuat bebanku semakin bertambah.
Aku turun dari bisa dengan perasaan kurang bersemangat. Jika teringat soal tadi, aku jadi merasa kalau ibu mengetahui kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Ya, ibu selalu tahu tentang apa yang kurasakan. Bedanya kali ini ibu tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan rumah tanggaku. Itulah sebabnya ibu tidak bertanya lebih dalam.
"Punya muka kok ditekuk," sindir Elsa.
Kuletakkan tasku di atas meja dan hampir saja akan duduk. Kesadaranku langsung kembali saat Elsa menarik tanganku. Sekarang aku baru sadar di mana aku berada. Ini bukan ruanganku yang baru, tetapi meja lamaku.
"Kenapa sih, Del? Kayaknya banyak pikiran banget," ucap Elsa yang duduk di atas meja.
"Selamat pagi, Pak," ucapku menjahili Elsa.
Elsa sontak turun dari dari meja dan berbalik untuk menyapa Pak Mario yang sebenarnya tidak ada. Kesempatan ini kugunakan untuk melarikan diri. Jangan sampai Elsa terus menginterogasiku sampai titik yang paling dalam.
"Delisa! Awas kau!" teriak Elsa dengan kesal.
Aku hanya senyum-senyum karena menahan tawa. Begitu sampai di ruanganku, tawaku pecah seketika. Aku memegangi perutku yang terasa sakit karena tertawa sangat puas. Elsa maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Aku hanya tidka ingin menceritakan masalah ini kepada siapa pun. Apalagi Elsa tidak tahu kalau aku sudah menikah. Mataku langsung terbuka lebar saat mendapat pesan dari Pak Mario. Sekarang juga Pak Mario menyuruhku ke ruangannya.
"Pak Argat kenalkan ini Delisa, sekretarisku," ucap Pak Mario memperkenalkanku.
Mendengar namanya saja sudah membuat jantungku tidak siap. Apalagi saat sosok pria itu berbalik ke arahku, rasanya jantungku hampir copot. Ya, pria itu adalah Argat, suamiku. Dengan santainya Argat mengulurkan tangan padaku. Argat melihatku seakan tidak pernah mengenalku. Mau tidak mau aku berjabat tangan dengannya. Mengapa Argat bisa ada di sini?
"Kami sudah setuju untuk menjalin kerja sama. Peresmiannya akan diadakan beberapa hari lagi. Aku ingin kau menyesuaikan jadwalku dengan Pak Argat," perintah Pak Mario.
Dengan cepat aku membuka kalender dan melihat jadwal Pak Mario. Jadwal Pak Mario cukup padat untuk minggu ini.
"Pak, untuk minggu ini jadwal anda sangat padat," ucapku.
"Apa malamnya juga padat?" tanya Pak Mario.
"Tidak, Pak," jawabku.
"Kalau begitu tidak masalah," ucap Pak Mario.
Aku duduk di samping Pak Mario dan mencatat apa saja yang diperlukan. Kukira aku tidak akan kembali lagi ke rumah itu. Acara persemian ini membuatku harus menginjakkan kaki ke rumah itu lagi.
"Delisa ambilkan kopi untuk kami," perintah Pak Mario.
"Tidak perlu. Aku sedang tidak ingin minum kopi," tolak Argat.
Ternyata Argat masih marah padaku. Argat mau berjabat tangan denganku karena Pak Mario, selain itu dia tidak mau melihatku. Jika kami tidak bisa menjadi suami istri, bisakah kami menjadi teman?
"Kurasa itu sduah cukup," ucap Argat kemudian berdiri.
Pak Mario menjabat tangan Argat sebagai tanda persetujuan kedua belah pihak. Aku mencoba tersenyum seperti sejak tadi. Setelah Argat pergi aku baru bisa bernapas dengan lega. Hari ini rasanya udara sangat sesak.
"Aku ingin kau mendampingiku di acara peresmian. Tidak ada kata terlambat," perintah Pak Mario yang hanya kubalas dengan anggukan.
Saat aku keluar dari ruangan Pak Mario, aku melihat Argat yang masih ada di sini. Argat sedang menelepon seseorang. Kalau dari nada bicaranya dia kelihatan sedikit kesal. Berulang kali Argat mengatakan tidak perlu kepada sosok di seberang telepon. Mengapa aku jadi diam dan menguping di sini?
"Fokus," batinku.
Sekarang aku jadi banyak pikiran. Aku memang sedang duduk, tetapi pikiranku ke mana-mana. Aku terus saja berkhayal saat acara peresmian itu tiba. Kira-kira aku harus bersikap seperti apa supaya tidak canggung di hadapan Argat? Acara masih beberapa hari, tetapi aku sudah pusing sejak saat ini. Tolonglah, pikirkan saja pekerjaan yang harus kukerjakan sekarang.
TOK…TOK…TOK...
Kemudian pintu terbuka dan menampilkan Elsa. Astaga ku kira siapa, ternyata Elsa. Dengan wajahnya yang selalu bahagia dan tak pernah sedih, Elsa duduk di kursi yang ada di depan mejaku. Elsa mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku.
"Tiket nonton?"
"Nonton, yuk. Biar pikiran jadi segar," ajak Elsa.
"Aku capek banget, El," tolakku.
"Ya ampun, Del. Nonton kan cuma duduk dan nikmatin filmnya. Apa capeknya?"
Elsa terus membujukku supaya mau diajak olehnya. Sebenarnya kasihan juga karena Elsa sudah membeli dua tiket, walaupun awalnya buat pacarnya. Kesannya aku cuma jadi pelariannya Elsa. Namun boleh juga, siapa tahu aku bisa membuang pikiran tidak pentingku ini.
"Nah, gitu dong." Elsa menggandeng lenganku dengan bersemangat.
Kami keluar dari kantor dengan canda tawa. Elsa sudah berhasil mengembalikan suasana hatiku.