Chereads / What is My Position / Chapter 8 - Marah

Chapter 8 - Marah

Meeting akhirnya selesai. Di saat semua orang sudah meninggalkan ruangan, aku masih sibuk mengecek catatanku. Aku juga harus mengecek jadwal Pak Mario. Aku ingin mengeceknya dengan teliti dan tidak ingin membuat kesalahan apa pun. Saat aku akan berdiri, aku terkejut melihat Pak Mario yang masih ada di sini. Untung saja aku tidak sampai menjerit.

"Pak, tidak ada jadwal lagi setelah ini," ucapku.

"Aku tahu. Aku hanya ingin mengecek kinerjamu," ucap Pak Mario kemudian bangkit dari kursinya.

Aku akan membiarkan Pak Mario keluar lebih dahulu. Alangkah terkejutnya aku saat tidak sengaja menabrak Linda. Astaga, kemejaku jadi basah terkena tumpahan kopinya. Pasti akan cukup sulit menghilangkan nodanya, mengingat kemejaku berwarna putih.

"Tidak sengaja," ucap Linda dengan santainya.

Karena tidak ingin bertambah kesal, kutinggalkan Linda sendirian di sini. Aku harus segera menghapus nodanya atau akan bertambah sulit. Namun sayang, Linda tidak membiarkanku kabur begitu saja.

"Kinerja bagus tapi enggak bisa jaga penampilan," ejek Linda.

Aku masih berusaha sabar dengan ucapanya. Lagipula bukannya dia yang sengaja menumpahkan kopinya di bajuku? Mengapa Linda selalu ingin ribut denganku? Lebih baik aku terus berjalan ke depan dan mengabaikannya. Di toilet aku tidak sengaja bertemu dengan Elsa.

"Delisa, bajumu kenapa?" tanya Elsa sedikit panik.

"Linda tidak sengaja menumpahkan kopinya dan mengenai bajuku," jawabku.

"Emang ya Linda itu suka cari gara-gara." Elsa jadi emosi.

"Sudahlah, El. Aku akan membersihkannya," ucapku.

Aku mengalihkan pandanganku pada Pak Mario saat pintu mulai terbuka. Aku mempersilakan Pak Mario untuk duduk. Aku juga menawari untuk dibuatkan kopi, tetapi Pak Mario menolak karena tidak akan lama.

"Aku minta maaf dengan apa yang dilakukan Linda kemarin. Itu benar-benar tidak pantas," ucap Pak Mario.

"Tidak perlu minta maaf, Pak. Ini bukan kesalahan Pak Mario dan aku sudah memaafkan Linda. Aku juga memaklumi kalau Linda memang menginginkan posisi menjadi sekretaris anda," ucapku.

"Linda memang keras kepala dan itu membuatku sedikit pusing," keluh Pak Mario.

Aku malah jadi tidak enak dengan Pak Mario. Gara-gara masalah ini Pak Mario sampai rela meminta maaf padaku. Ternyata penilaianku padanya sejak awal memang benar. Pak Mario hanya terlihat menakutkan di depan, tetapi sebenarnya hanya tegas. Bahkan, Pak Mario tidak merasa malu untuk meminta maaf pada karyawannya.

"Pak, besok ada pertemuan dengan Pak Andi pada pukul sepuluh pagi. Aku akan menyiapkan berkas-berkasnya," ucapku untuk memecah keheningan di antara kami.

"Aku sampai lupa. Mungkin karena efek usiaku yang makin bertambah tua," ucap Pak Mario sedikit bergurau.

Aku hanya tersenyum menanggapi gurauannya itu. Namun Pak Mario masih muda kok. Usia tiga puluhan untuk seorang laki-laki itu masih terlihat muda. Hanya ada sedikit kerutan di wajahnya saat sedang tersenyum.

Akhirnya semua pekerjaanku selesai juga. Tanganku jadi lebih pegal dari biasanya karena kebanyakan mencatat. Apalagi bebanku bertambah karena harus membuat jadwal untuk Pak Mario. Sebelum meninggalkan ruangan, kumatikan dahulu komputerku. Di luar kantor aku terkejut melihat Argat yang berdiri di depan mobilnya. Tumben sekali Argat menjemputku.

"Aw.."

Argat menarik tanganku dengan cukup kencang dan menyuruhku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku tidak menduga kalau kemarahannya bisa membuatnya bersikap kasar. Argat mengemudikan mobilnya dengan kencang. Aku berpegangan pada pintu mobilnya karena takut akan terdorong ke depan saat Argat mengerem mobilnya sewaktu-waktu.

"Kita mau ke mana?" tanyaku sedikit panik.

"Rumah sakit," jawab Argat.

Argat mengemudikan mobilnya seakan jalanan ini milik nenek moyangnya. Padahal jalanan cukup ramai. Aku ngeri sendiri membayangkan jika terjadi kecelakaan.

"Argat awas!" teriakku saat melihat mobil yang sama kencangnya dari arah depan.

Argat berusaha menghindari mobil yang ada di depannya. Jidatku hampir saja terbentur ke depan. Aku baru membuka mata saat Argat menepikan mobilnya.

"Aku ingin kau mengatakan pada Maya bahwa kau ingin bercerai dariku. Katakan padanya dengan tegas. Tidak ada penolakan," perintah Argat dengan paksa.

"Maya membuatku berjanji," ucapku dengan jujur.

"Apa kau ingin terus berada dalam hubungan yang menyiksa ini? Apa kau tidak ingin aku dan Maya bahagia?" Argat merasa heran padaku.

"Ya, tentu saja aku ingin kalian bahagia. Tapi aku bingung harus berbuat apa. Di sini ada kau dan di sana ada Maya. Permintaan siapa yang harus kuturuti?" Aku merasa frustrasi.

Aku benar-benar berada di posisi yang sulit. Melihat Maya yang mencoba menyakiti dirinya sendiri membuatku tidak tega menolak permintaannya. Kemudian Argat memaksaku untuk menuruti permintaannya juga. Katakan apa yang harus kulakukan?

"Jika kau memang sahabatnya, seharusnya kau bisa membujuknya," ucap Argat menyalahkanku.

"Aku sudah berusaha, tetapi kau tahu apa yang dia lakukan? Maya berusaha menyakiti dirinya sendiri. Dia berusaha mencabut jarum infus di tanganya. Apa aku akan membiarkannya dalam keadaan bahaya? Tidak, Argat," ucapku berusaha menjelaskan padanya.

Argat mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Aku hanya bisa melihat ke luar jendela untuk menyembunyikan mataku yang mulai berair. Napasku terasa sesak melihat mereka yang begitu menderita. Aku mencoba membantu, tetapi maaf jika hanya seperti ini yang bisa kulakukan.

"Apa kau sengaja ingin bertahan denganku?"

"Argat!" teriakku dengan spontan.

Di sini aku terjebak dalam pernikahan dan permintaan yang memaksa. Kenapa Argat tidak memahami posisiku? Dengan mudahnya Argat menuduhku ingin memanfaatkan kesempatan ini. Argat kembali menghidupkan mobilnya dan mengemudi dengan lebih manusiawi.

Kami akhirnya sampai di rumah sakit. Argat masih menarik tanganku dan menekanku dengan perintahnya. Rasanya aku ingin menangis karena rasa sakit yang kurasakan di pergelangan tanganku.

"Sakit," ucapku.

"Rasa sakit di tanganmu ini tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang dirasakan oleh Maya. Kau akan selalu ingat dengan rasa sakit yang kau terima ini," ucap Argat tanpa memedulikan perasaanku.

Ponsel Argat tiba-tiba berdering. Tanpa melepaskan tanganku, Argat mengangkat teleponnya. Dari raut wajahnya aku bisa menebak kalau Argat tidak menyukainya. Bahkan urat-urat dilehernya sampai kelihatan karena menahan emosi. Dari ucapannya aku merasa kalau telepon penting itu dari kantornya.

"Batalkan semuanya. Aku tidak mau tahu," ucap Argat lalu mematikan teleponnya.

Argat kemudian menatapku dengan tatapan penuh amarah. Bahkan tanganku makin sakit karena Argat menekannya dengan lebih keras. Aku hanya bisa menahan air mata yang sudah siap akan jatuh. Kugigit bibir bawahku untuk menahan rasa sakit yang kian terasa. Aku makin kewalahan mengimbangi langkah kaki Argat yang kian cepat saja. Begitu sampai di depan pintu, Argat melepaskan tanganku dengan sedikit mendorongnya. Detik itu juga air mataku mulai jatuh. Namun saat pintu dibuka, tidak ada siapa pun di sana. Maya tidak ada di sana.