Aku turun dari taksi setelah membayar ongkosnya. Aku ragu apakah harus masuk sekarang atau nanti. Lebih baik aku menunggu sampai Pak Mario datang. Aku sengaja memilih berdiri di dekat pohon dan menyibukkan diri dengan ponsel. Aku langsung menoleh saat pundakku ditepuk.
"Bu Delisa tidak masuk?" tanya Bu Rima.
"Sebentar lagi, Bu Rima," jawabku.
"Bu Delisa tinggal di mana? Kok tidak pulang ke rumah? Tuan Argat sering pulang malam dan ketiduran di sofa. Kelihatannya sangat lelah, tetapi aku tidak berani membangunkannya," ucap Bu Risma.
"Argat memang sering pulang malam. Bu Rima tidak perlu khawatir."
Aku tidak perlu tahu apa yang dilakukan Argat. Lagipula aku tidak berhak mengkhawatirkannya. Namun, setiap aku berusaha menyadari bahwa aku tidak memiliki hubungan dengan Argat, wajah Maya dan ibu langsung terbayang di pikiranku. Mereka seakan mengingatkanku akan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Ya Tuhan, mengapa aku terus berada di posisi yang sulit?
"Bu Delisa ingin minum? Biar kuambilkan," ucap Bu Rima menawarkan bantuan.
"Tidak perlu, Bu. Aku tidak bisa menyuruh Bu Rima. Bu Rima lebih tua dariku," tolakku dengan halus.
"Tapi Bu Delisa istrinya Tuan Argat. Sudah tugasku untuk melayani segala kebutuhan Bu Delisa," ucap Bu Rima merasa bingung.
Saat ini posisiku sebagai sekretarisnya Pak Mario, bukan istrinya Argat. Namun bagaimana caraku memberitahu Bu Risma? Aku takut kalau Bu Rima keceplosan di waktu yang salah. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja tiba. Aku tahu benar kalau itu mobilnya Pak Mario.
"Bu Rima kembali saja. Aku akan masuk ke dalam," ucapku.
Setelah Bu Risma pergi, aku menghampiri Pak Mario. Dengan membawa buku di tanganku, aku sudah siap mendampinginya sebagai sekretaris. Dengan gerakan mata, Pak Mario mengisyaratkan untuk berjalan sedikit di belakangnya. Kok aku jadi deg-degan ya. Argat sudah berdiri di depan pintu untuk menyambut kami. Aku menjabar tangan Argat dengan sikap professional. Segala masalah yang terjadi di antara kami, kami singkirkan sementara waktu. Argat kemudian mempersilakan Pak Mario untuk duduk. Beberapa tamu penting juga ikut duduk bersama mereka.
"Kau tidak duduk?" tanya Pak Mario.
"I-iya, Pak."
Bu Rima tiba-tiba datang dengan membawa nampan berisi minuman. Jantungku berdegup dengan kencang karena takut Bu Rima akan mengatakan sesuatu yang mengacaukan acara ini. Saat tatapan kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandanganku.
"Bu- " ucapan Bu Rima terpotong olehku.
"Toiletnya di mana ya?" tanyaku asal.
Bu Risma mengerutkan keningnya karena merasa heran dengan pertanyaannku. Sementara Argat memberikan tatapan tajam padaku. Tatapannya itu seakan pertanda bahaya untukku. Sebelum Bu Rima membuka mulut, aku memintanya untuk mengantarku ke toilet. Aku berusaha berlagak setenang mungkin untuk mengecoh semua orang.
"Bu Delisa kenapa harus tanya toiletnya di mana? Bu Delisa kan sudah cukup lama tinggal di sini," ucap Bu Rima merasa heran.
"Aku lupa," ucapku ngawur.
"Bu Delisa kok duduknya jauh-jauhan sama Tuan Argat? Bu Delisa sedang ada masalah dengan Tuan Argat? Cerita saja, tidak usah sungkan. Nyonya Amelia juga sering curhat kalau sedang berantem dengan Tuan Hendra," ucap Bu Rima panjang lebar.
"Enggak, Bu," ucapku menyangkalnya.
Aku akan berdiri di dapur selama menit, baru setelah itu aku kembali duduk dengan yang lainnya. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Argat. Argat tidak menyapaku atau menoleh ke arahku sedikit pun. Untuk beberapa waktu aku berhenti sebentar. Melihatnya membuatku teringat dengan ucapan ibu. Ibu memintaku untuk mencintai suamiku dengan tulus. Kemudian aku teringat dengan suratanya Maya, bahwa kesabaran dan ketulusan akan mampu meluluhkan Argat. Astaga, mengapa sikapku seakan sudah ditentukan oleh orang lain. Diriku menyangkal memiliki hubungan dengan Argat, tetapi harapan orang lain membuatku menyadari bahwa faktanya aku adalah istrinya.
"Argat," panggilku sangat pelan saat kembali berpapasan dengan Argat.
Mengapa Argat hanya diam saja? Setidaknya katakanlah sesuatu. Kalau Argat memang ingin kita berpisah, dengan senang hati aku akan melakukannya. Ya ampun, rasanya kepalaku ingin pecah memikirkannya. Lagi-lagi aku teringat dengan ibu dan Maya. Namun jika Argat tidak mengambil tindakan apa pun, aku juga tidak bisa memutuskan apa pun. Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkan dengan pelan. Kemudian aku berjalan ke tempat dudukku semula.
" Kau dari mana saja? Kenapa lama sekali?" tanya Pak Mario dengan keluhannya.
Aku ingin bicara denganmu sebentar," ucap Argat pada Pak Mario.
Sekarang tinggal aku sendiri yang duduk di sini. Untuk mengusir rasa bosan, aku memilih berkeliling rumah. Mungkin sendirian di rooftop akan merilekskan pikiranku. Udara di atas sini terasa dingin. Meskipun begitu aku merasa nyaman. Aku memegangi kerudungku yang tertiup hembusan angin. Bintang yang ada di sana sangat indah. Aku mencoba menghampiri lebih dekat supaya bisa melihatnya lebih jelas. Saat aku sedang menatap ke langit, aku mendengar suara langkah seseorang. Keterkejutanku membuatku sedikit bersembunyi di balik sofa.
"Apa kau sudah menemukannya?"
Suara itu tidak asing lagi. Saat aku mengintip sedikit aku melihat Argat sedang berdiri membelakangiku dengan posisi sedang menelepon. Aku mencoba tidak bersuara supaya tidak mengganggunya.
"Apa? Kau belum menemukannya? Tidak berguna!"
Argat terlihat marah. Aku bisa melihat otot-otot lehernya saat Argat sedang berbicara. Namun siapa yang dia cari. Apa orang yang dimaksud adalah Maya?
"Aku tidak mau tahu! Cepat cari dia sampai ketemu!"
Argat menutup teleponnya lalu menendang sofanya. Aku segera menutup mulutku saat merasakan tanganku yang sakit karena terkena guncangan dari sofa yang ditendangnya. Untung saja aku masih bisa menahan diri untuk tidak menejrit. Argat berjalan pergi dengan langkah yang lebar. Setelah memastikan Argat benar-benar sudah pergi, aku berdiri. Tanganku sedikit nyeri karena tendangannya. Kelamaan pasti akan muncul bekas memar berwarna ungu di tanganku. Ponselku tiba-tiba berdering. Seebuah pesan baru saja masuk dari Pak Mario. Pak Mario memintaku untuk ke ruang tamu karena acara akan segera dimulai. Dengan langkah cepat aku pergi dari sini. Aku berdiri di belakang Pak Mario. Argat akan melakukan pidato pertamanya. Argat melakukan penyambutan terlebih dahulu dan kemudian di sambung oleh Pak Mario. Semua orang bertepuk tangan setelah mereka selesai berpidato. Sekarang saatnya mengangkat gelas di tangan masing-masing. Minuman yang disediakan adalah jus.
"Cheers…"
Semua orang kompak mengatakannya dan kemudian meminum segelas jusnya. Karena cukup haus aku menghabiskan jusnya. Hari ini aku melihat Argat dengan sosok yang berbeda-beda. Sosok yang jutek, pemarah dan sekarang dia tersenyum. Argat terlihat menikmati acara ini. Di balik semua masalah yang menimpanya, Argat tetap professional dengan pekerjaannya. Selain itu kurasa Argat ingin menghormati Pak Mario dan hubungan bisnis ini.