Selesai sarapan aku berpamitan pada ibu. Aku merasakan ponselku yang bergetar di genggamanku. Aku berhenti sebentar untuk mengeceknya. Ada satu pesan masuk dari Maya. Sejak malam itu aku tidak berniat menghubungi Maya lagi, jadi aku menduga kalau pesan ini berisi kekhawatirannya padaku. Pesannya tertulis 'Tolong jangan menyerah' yang membuatku memejamkan mata karena rasa bersalah yang kumiliki. Suara ketukan pintu membuatku sadar dan bergerak menekan kenop pintunya.
"Mama," ucapku saat melihat Mama berdiri di hadapanku.
Mama melepaskan kecamata hitamnya dan menaruhnya ke dalam tas. Seperti biasa Mama menggunakan lipstik berwarna merah yang menampilkan kesan berani. Kehadiran Mama seakan mengunci pergerakanku.
"Kemasi barang-barangmu dan ikut denganku," perintah Mama.
Aku hanya diam dan berusaha menimbang-nimbang keputusanku. Aku tidak bisa kembali, Argat tidak akan menyukainya. Merasa tidak ada pergerakan dariku, Mama memegang pundakku. Sorot mata Mama memancarkan harapan yang besar padaku. Namun, aku tidak bisa kembali hanya karena Mama menginginkannya. Ya Tuhan tolong bantu aku. Aku sangat bingung sampai tidak tahu harus mengambil keputusan yang mana. Mengikuti semua orang hanya akan melukai Argat dan jika aku menyetujui keputusan Argat, maka semua orang akan terluka. Posisiku benar-benar sulit.
"Argat tidak akan menyukainya, Ma," ucapku berterus terang.
"Mama sudah bicara dengannya lewat telepon. Apa kau meragukan Mama?" tanya Mama.
"Bukan begitu, Ma. Aku hanya tidak yakin dengan situasinya," jawabku.
Mama membujukku dengan mengatakan bahwa Argat sudah menyetujuinya. Mama juga sudah berulang kali menghubungi Argat. Karena itu Mama sampai rela kembali ke Indonesia hanya untuk membujukku. Kalau sudah begini aku jadi tidak tega melihat wanita yang sangat menyayangiku ini merasa sedih.
"Tapi, Ma. Aku harus bekerja," ucapku.
"Aku sudah bilang pada Mario kalau hari ini kau bisa libur," ucap Mama yang membuatku tidak percaya.
"Pak Mario mengizinkanku libur?" tanyaku memastikan.
"Argat bilang kalau bosmu itu Mario. Lalu Mama menyuruh Argat untuk menghubungi Mario supaya kau dapat jatah libur," ucap Mama begitu santai.
Jangan-jangan Mama tahu soal acara peresmian kemarin? Apa mama tahu kalau aku dan Argat berpura-pura tidak memiliki hubungan? Aku takut kalau Mama marah pada kami.
"Tentu saja Mario mengabulkannya karena kau adalah istrinya Argat. Mama jadi penasaran bagaimana Mario memperlakukanmu di kantor," ucap Mama dengan gemas.
Aku mengelus dada sebagai tanda syukur. Aku bersyukur karena Argat yang menelepon Pak Mario, bukan mama. Kalau mama yang menelepon pasti semuanya akan terbongkar. Mama juga merasa aneh mengapa Mario menjadikanku sekretaris setelah mengetahui bahwa aku istri rekan kerjanya. Padahal Pak Mario sama sekali tidak mengetahui apa pun. Sebenarnya mama memiliki beberapa asumsi yang membuatku gugup, tetapi aku mencoba menjelaskan bahwa menjadi sekretaris adalah keinginanku.
"Apa lagi yang kau tunggu? Ambil kopermu."
"Mama tidak mau masuk dahulu? Ibu pasti akan senang melihat Mama," ucapku menawarkannya.
"Mungkin lain kali saja. Mama sudah tidak sabar ingin mengomeli Argat," tolak Mama.
Saat aku berbalik, Mama justru menarik tanganku dan memintaku untuk segera masuk ke mobil. Mama sudah menyuruh Pak Hasan untuk mengambil barang-barangku nanti sore. Terpaksa aku mengangguk menuruti ucapan mama meski harus merepotkan Pak Hasan. Pesan dari Maya membuatku pasrah ke mana mama akan membawaku.
Sesampainya di rumah, aku jalan berdampingan dengan mama. Aku cukup terkejut melihat Argat yang sedang sibuk dengan laptopnya. Tumben sekali Argat tidak pergi ke kantor. Tadinya aku ingin bernapas sebentar setelah sampai di sini, tetapi kehadiran Argat membuatku tidak sempat bernapas dengan tenang.
"Ma, aku akan buatkan jus. Di luar panas sekali," ucapku berusaha menghindar.
Sebelum membuat jus, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Di ruang tamu aku seakan kekurangan oksigen dan baru sekarang aku bisa mendapatkan oksigen kembali.
"Bu Delisa tidak apa-apa?" tanya Bu Risma yang melihatku sedikit pucat.
Aku hanya menggeleng dan melanjutkan kegiatanku membuat jus jeruk untuk mama. Aku mengehentikan kegiatanku sebentar untuk meminum segelas air. Tenggorokanku mendadak kering.
"Bu Delisa pusing? Kebetulan obat pusingnya masih ada. Mau kuambilkan?" tanya Bu Risma yang membuatku hampir menyembur.
Aku memang pusing, tetapi bukan pusingyang bisa disembuhkan dengan meminum obat. Rasa pusingku ini membuat jantungku berdetak dengan kencang, tetapi yang jelas bukan karena jatuh cinta.
"Tidak," jawabku.
Kutuangkan jusnya dari blender ke dalam gelas. Sisanya kutuangkan ke dalam geas kecil dan kuminum. Rasa jusnya sudah pas. Tidak terlalu asam dan manis. Kombinasi jeruk dan es batunya seimbang sehingga rasanya segar saat diminum. Kemudian kubawa segelas jusnya ke ruang tamu untuk diberikan ke mama.
"Terima kasih," ucap Mama menerima jusnya.
Mama duduk di depan Argat dan meminum jusnya sampai habis. Cuaca panas memang mudah membuat haus. Jadi cocok sekali jika minum jus yang segar seperti ini.
"Ehemmm.." Mama berdehem untuk menyadarkan Argat.
Argat hanya melihat ke arah kami sebentar dan kembali fokus ke laptopnya. Aku melambaikan tangan ke arah mama dengan tujuan supaya tidak mengganggu Argat. Namun, mama memintaku untuk diam saja dan biarkan dia mengatasi segalanya.
"Mulai sekarang Delisa akan tidur di kamar Argat," ucap Mama yang membuat jantungku tidak waras.
"Layaknya pasangan suami istri," imbuh Mama.
Aku tahu kalau mama ingin memperbaiki hubunganku dengan Argat, tetapi bukan dengan paksaan. Bukankah hal itu hanya akan membuat Argat semakin tidak menyukaiku? Mama terlalu berani mengambil sebuah keputusan. Mulai sekarang aku harus mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu mama mengambil keputusan.
"Mama aku bisa tidur di kamar yang lain, seperti biasanya," tolakku.
"Jadi kalian tidak pernah tidur sekamar? Tidak pernah?" Mama merasa tindakan kami sangat tidak wajar.
Mengapa Argat diam saja? Argat marah padaku, kan? Kalau begitu dia harus menolak perintah mama. Aku jadi bergidik ngeri membayangkan tidur sekamar dengan Argat. Kumohon Argat bicaralah, buka mulutmu.
"Bu Rima! Bu Rima!" panggil Mama.
"Iya, Nyonya."
"Hias kamarnya Argat dengan bunga-bunga. Delisa akan tidur di sana nanti. Menantuku ini akan tidur dengan suaminya," perintah Mama yang membuatku sangat malu.
Mama kemudian menjelaskan detailnya kepada Bu Rima. Bahkan mama meminta Bu Rima untuk berbelanja segala kebutuhan hiasannya. Kami diperlakukan layaknya seperti pengantin baru.
"Baik, Nyonya," ucap Bu Rima.
Setelah menerima uang dari mama, Bu Rima pergi untuk berbelanja dengan Pak Hasan. Aku jadi kepikiran dengan hiasannya nanti. Astaga, mengapa aku memikirkannya?
"Argat kau mendengarkan Mama, kan?" tanya Mama.
"Aku tidak mau mendengarnya. Aku akan berangkat ke kantor," jawab Argat tanpa rasa bersalah.
Aku lega mendegar jawaban Argat. Kukira Argat menyetujui perintah mama begitu saja. Aku sudah khawatir tadi. Lagi-lagi aku jadi memikirkan ucapan ibu dan Maya. Apa takdir memang menginginkanku supaya menjadi istrinya Argat yang berbakti? Jadi, apa aku harus memulainya sekarang? Apa sekarang waktu yang tepat untuk memenuhi harapan semua orang?