Seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan untuk semua orang. Tumben Argat sudah turun. Aku masih mengamatinya karena khawatir dengan keadaan tangannya. Setelah memastikan Argat baik-baik saja, aku kembali ke dapur untuk membawa sayurnya. Saat aku kembali, Argat terlihat kesulitan saat memegang sendoknya. Aku ragu ingin membantunya. Namun, lama-lama aku tidak tega melihatnya kesulitan seperti ini. Dengan pelan aku membenarkan posisi sendoknya supaya mudah digunakan olehnya. Tiba-tiba Argat berdiri sehingga sendoknya terlepas dari tangannya.
"Apa mengganggu adalah kebiasaanmu sekarang? Apa kau tidak bisa duduk diam saja? Kau hanya membuatku muak." Argat marah karena aku membantunya.
"Tunggu dulu. Kau harus sarapan. Aku akan pergi," ucapku kemudian menaiki tangga untuk mengambil tas.
Di kamar aku melihat ke arah cermin. Di cermin aku bisa melihat wajah kecewaku yang berusaha tersenyum ini. Apa aku sehina ini?
"Delisa. Kau tidak sarapan, Sayang?" tanya Mama yang berdiri di depan pintu.
"Tidak, Ma. Aku harus segera berangkat," jawabku lalu berjalan melewati mama.
Kupercepat langkahku dan menuruni tangga. Aku berhenti sebentar untuk melihat Argat yang sedang makan. Meskipun Argat tidak menyukaiku, setidaknya dia mau makan.
Di kantor aku berpapasan dengan Pak Mario. Aku menyapanya dan kembali berjalan menuju ruanganku.
"Delisa," pangil Pak Mario.
"Pagi ini aku ada pemotretan untuk keperluan perusahaan. Kau ikut denganku," perintah Pak Mario.
'Baik, Pak."
Sebelumnya aku tidak tahu kalau Pak Mario memiliki jadwal pemotretan. Sepertinya memang mendadak, mengingat Pak Mario sudah datang sebelum aku. Aku berjalan di belakang Pak Mario dan mengikutinya. Di dalam ruangan sudah ada beberapa fotografer. Lalu siapa itu? Argat ada di sini? Bukankah tadi masih sarapan?
"Selamat pagi Pak Argat," sapa Pak Mario.
"Pagi, Pak Mario," balas Argat.
Bagaimana Argat bisa sampai di sini secepat ini? Mungkin karena aku naik bus, itu sebabnya memakan waktu lebih lama karena harus berhenti di terminal sebentar. Argat sedang bersiap untuk difoto. Pak Mario dan aku duduk sambil melihat proses pemotetannya. Sebenarnya aku sedikit khawatir dengan keadaan Argat.
"Argh…"
Aku spontan berdiri dan akan mendekat ke arah Argat. Namun aku langsung sadar bahwa tindakanku tidak benar. Kemudian aku kembali duduk sambil mengawasinya. Argat memegangi tangannya. Pasti tangannya masih sakit. Seharusnya Argat memilih waktu lain saja supaya tidak menyusahkan dirinya sendiri.
"Ada apa?" tanya Pak Mario.
"Pinggangku sedikit sakit, Pak," jawabku berbohong.
"Kita akan mempercepat pemotretannya," ucap Pak Mario.
"Pak, tidak perlu. Sekarang sudah baik-baik saja," ucapku menahan Pak Mario yang akan bersuara.
Aku tidak tega jika pemotretan ini dipercepat. Lebih baik tetap pelan seperti ini saja supaya Argat juga merasa aman. Beberapa kali fotografer memegang lengan Argat untuk membenarkan posisinya. Saat itu juga tanganku seperti bersiap-siap ingin memegangnya jika merasa kesakitan. Semoga saja Pak Mario tidak menyadari sikapku ini.
Akhirnya pemotretan untuk Argat sudah selesai. Sekarang aku bisa bernapas lega. Baru saja aku merasa lega, fotografer tanpa sengaja menyenggol tangan Argat. Dengan gerakan cepat aku memegang tangan Argat untuk memastikan bahwa dia tidak apa-apa.
"Apa ini sakit?" tanyaku berulangkali meniup tangannya.
Seperti kejadian pagi tadi, Argat menjauhkan tangannya. Argat menatapku dengan tatapan tidak suka. Melihat tatapannya itu membuatku tersadar jika semua orang memperhatikan kami. Seketika aku bergerak menjauhi Argat.
"Maafkan aku, Pak. Aku tidak sengaja," ucap seorang fotografer.
"Mungkin seperti itulah gambarannya kalau Pak Argat memiliki seorang istri," ucap fotografer lainnya tanpa diduga-duga.
"Aku tidak memiliki istri," ucap Argat lalu keluar dari ruangan ini.
Lagi-lagi ucapan Argat membuatku terluka. Entah mengapa kali ini rasanya jauh lebih sakit. Setiap kali aku berusaha menerima Argat, saat itu juga aku mendapat kekecewaan. Hanya ada rasa sakit dan penghinaan yang kuterima.
"Kau hanya berusaha membantunya. Argat memang pemarah akhir-akhir ini, seperti yang pernah kukatakan," ucap Pak Mario seakan mengerti kesedihanku.
Akhirnya pemotretannya selesai juga. Kami bertepuk tangan untuk saling mengapresiasi kerja keras masing-masing. Karena di jam ini Pak Mario tidak ada jadwal, aku memilih kembali ke ruanganku. Pertama kali yang kulihat saat pintu terbuka adalah Argat. Argat berdiri di depan mejaku. Dengan tatapan tajamnya Argat berjalan menghampiriku.
"Aww…"
Dengan tiba-tiba Argat memegang tanganku dengan kuat. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi tenagaku tidak seimbang dengannya.
"Argat, lepaskan. Ini sangat sakit," rintihku.
"Berhentilah berpura-pura baik di hadapan semua orang. Aku tidak menyukainya," ucap Argat.
"Aku tidak berpura-pura," ucapku membantahnya.
"Aku benci dengan semua yang kau lakukan. Apa kau berusaha membongkar hubungan kita di hadapan semua orang? Kau ingin diakui?" Argat mulai menuduhku.
"Kau sudah salah sangka. Untuk apa aku melakukannya?"
"Pembohong!"
"Aww.."
Argat makin menekan tanganku. Melihatku yang makin kesakitan, Argat akhirnya melepaskan tanganku. Benar saja tanganku langsung memerah.
"Aku tidak ingin berbuat kasar padamu. Tapi kau terus memaksaku untuk melakukan ini!"
"Lepaskan aku. Sakit," mohonku.
Air mataku jatuh begitu saja. Tangan dan hatiku sangat sakit. Kupikir Argat tidak akan pernah bertindak sejauh ini, tetapi ternyata aku sudah salah. Sekarang aku benar-benar tidak akan pernah mampu mengendalikan kemarahannya. Maya, di mana kau? Aku ingin menyerah.
"Pak Hasan sudah mengantar surat gugatan cerainya ke kamarmu. Tanda tangani dan buat semuanya berakhir dengan cepat," ucap Argat lalu berjalan melewatiku.
"Argat aku- " ucapanku terpotong oleh Argat.
"Kehadiranmu hanya menyiksaku saja," ucap Argat lalu menutup pintunya dengan keras.
Aku terduduk di lantai dengan air mata yang kian deras. Baru tadi aku mendengarnya tidak mengakuiku dan sekarang dia kembali membuat pertahananku runtuh. Aku memang ingin menyerah, tetapi bagaimana dengan ibu? mama? Maya? Bagaimana dengan mereka? Apa yang akan kukatan pada Maya nantinya? Sebelum Maya sembuh, aku tidak bisa menghancurkan pernikahan ini. Semua ini kulakukan karena aku ingin mengawasi Argat. Aku tidak ingin Argat kehilangan kendali. Karena aku ingin mengembalikan Argat pada Maya dalam keadaan baik.
"Delisa. Kenapa kau duduk di sini?" Elsa memelukku.
Aku memeluk Elsa sambil menangis. Aku tidak bisa mengatakan apa pun karena aku hanya bisa menangis.
"Delisa katakan padaku ada apa? Siapa yang membuatmu seperti ini? Apa ini ulah Linda? Linda membuat keributan lagi denganmu?"
"Bukan Linda."
Elsa melepaskan pelukannya. Elsa mengambil tisu di atas meja dan digunakan untuk mengelap pipiku yang basah karena air mata.
"Katakan padaku ada apa?" tanya Elsa.
Elsa memintaku untuk menatapnya. Namun, aku hanya bisa menangis tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Rumit. Ini sangat rumit," jawabku.
Hingga akhirnya hanya itu saja yang mampu kuucapkan. Maafkan aku, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Selain karena Elsa memiliki masalah sendiri, saat ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahunya.