Elsa tidak mau berhenti menangis sejak tadi. Dengan sabar aku mencoba menenangkannya. Meski malam kian gelap, Elsa tidak ingin pulang cepat. Elsa ingin terus memeluk lenganku dan bersandar di pundakku.
"Kenapa kau tidak bilang kalau yang kau lihat itu Gavin sama Linda? Kalau kau bilang bisa saja aku langsung pergi dari sana. Kenapa kau membiarkan aku melihatnya?" Elsa terus menangis.
Tadinya aku ingin memberitahu Elsa. Namun karena Elsa tidak sabaran, dia memilih kembali ke tempat itu. Tempat di mana ada Gavin dan Linda. Saat itu raut wajah Elsa langsung berubah total. Karena tidak ingin mereka bertengkar, aku menuntun Elsa keluar dari toko. Jika Elsa ingin menyelesaikan masalah ini, lebih baik tidak di tempat keramaian seperti ini. Aku tidak ingin hubungan mereka jadi konsumsi publik.
"Sekarang mataku sembab karena terlalu banyak menangis," ucap Elsa saat melihat dirinya dari cermin.
Elsa memang selalu membawa cermin ke mana pun dia pergi. Bahkan saat patah hati pun Elsa masih sempat bercermin.
"Kenapa harus Linda? Dia itu sangat menyebalkan dan suka mengganggumu. Tapi yang jelas kenapa Gavin melakukan semua ini?"
"Lebih baik kau memutuskan Gavin. Gavin tidak baik untukmu," saranku.
"Lalu bagaimana dengan kenangan kita? Aku sudah banyak menyimpan fotonya. Akan kukemanakan mereka semua? Hiks.."
Di saat sedang sedih pun Elsa masih bisa membuatku tertawa. Sebenarnya Elsa ini benar-benar sedih atau hanya berpura-pura? Elsa mengeluarkan ponselnya dan mulai menghapus semua foto-fotonya dengan Gavin. Bahkan Elsa juga memblokor nomornya. Sejujurnya aku masih syok bahwa perempuan itu adalah Linda. Apa Linda tidak tahu kalau Gavin adalah pacarnya Elsa? Aku jadi berpikiran kalau Linda sengaja melakukan ini untuk balas dendam padaku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir prasangka yang belum tentu benar itu.
"Ayo kita pulang. Paman Hasan sudah menunggu lama," ajakku.
"Lihat saja apa yang akan kulakukan besok."
Keesokannya aku melihat Argat yang masih terlelap di sofa. Kuputuskan untuk membuatkannya sop buntut supaya perutnya hangat. Biasanya dalam keadaan pusing memakan makanan yang hangat bisa membantu mengurangi rasa pusingnya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Argat yang baru saja bangun.
Argat terlihat mencari sesuatu di sekitar sofa. Kurasa Argat tidak menemukan benda yang dia cari. Oh ya, Argat bangun dengan menanyakan jam, mungkin saja dia sedang mencari jam tangannya.
"Kemarin aku menyimpan jam tanganmu di kamar," ucapku.
Argat menatapku seakan aku sudah mencuri jam tangannya. Argat kemudian melihat ke arah kakinya dan meraba kemejanya. Sepertinya Argat sedang mencari sepatu dan dasinya.
"Aku juga sudah menyimpannya di kamar," ucapku.
"Berlebihan dan sangat tidak sopan," ucap Argat kemudian menaiki tangga.
Semoga saja nanti Argat akan memakan sopnya. Aku menoleh saat merasakan ada yang memegang pundakku. Mama tersenyum senang padaku.
"Mungkin Argat masih belum menyadarinya. Tapi Mama tahu kalau kau adalah istri yang baik. Jangan bersedih," ucap Mama yang menjadi motivasi untukku.
Di kantor aku mampir ke meja Elsa. Syukurlah kalau Elsa tetap masuk. Aku terkejut saat Elsa melihat ke arahku. Matanya sembab dan membuatnya jadi sipit. Berapa lama Elsa menangis semalam?
"Kau sudah mengambil keputusan?" tanyaku.
"Itu dia," ucap Elsa kemudian berdiri.
Elsa menghampiri Linda yang baru saja datang dan menjambak rambutnya. Astaga, Elsa sudah kehilangan kesabarannya. Aku berusaha menjauhkan mereka supaya tidak saling menjambak. Semuanya akan gawat kalau sampai ketahuan oleh Pak Mario.
"Elsa lepaskan. Ini kantor," ucapku.
"Tidak akan!" Elsa menghiraukanku.
Bukannya membantuku, orang-orang yang ada di sini justru asyik menontok layaknya sebuah pertarungan yang disiarkan di televisi. Aku tidak mungkin bisa memisahkan mereka kalau hanya sendirian.
"Tidak tahu malu!" Elsa masih bersemangat menjambak Linda.
"Apa kau bilang?! Dasar murahan!" Linda balik mengejek Elsa.
Aku terkejut saat Elsa mendorong Linda sampai jatuh. Seketika aku menghampiri Linda dan membantunya berdiri. Namun Linda justru meninju dadaku dengan sikunya. Aku merasakan sesak dan nyeri di bagian dadaku.
"Keterlaluan!" Elsa kembali menjambak Linda.
Perkelahian mereka tidak bisa dihentikan. Elsa semakin mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk membuat Linda jera. Terkadang Elsa berada di atas Linda dan begitu juga sebaliknya. Lantai kantor sudah bagaikan ring tinju di sini.
"Dasar pelakor! Beraninya kau merebut pacarku! Berani sekali kau berselingkuh dengan Gavin!"
"Berani sekali kau menuduhku!"
Ucapan Elsa menjadi bahan gosip dadakan oleh semua orang. Mereka mulai berbisik-bisik tentang perselingkuhan Linda dengan pacar Elsa, Gavin. Aku ingin sekali mengehentikan perkelahian ini, tetapi nyeri yang kurasakan membuatku tidak bisa berbuat banyak.
"Go Elsa! Berantas pelakor!"
Semua orang jadi mendukung Elsa dengan menyerukan dukungannya. Mereka juga bertepuk tangan supaya Elsa makin bersemangat mengalahkan Linda. Mereka benar-benar keterlaluan. Elsa dan Linda sedang bertengkar, tetapi mereka justru mendukungnya. Tak lama kemudian kerumunan ini membuka jalan untuk Pak Mario. Melihat Pak Mario ada di sini, aku langsung meminta tolong padanya untuk mengehntikan perkelahian ini.
"Linda! Elsa!"
Suara teriakan Pak Mario membuat mereka langsung berhenti. Aku menghampiri Elsa untuk merapikan baju dan rambutnya yang acak-acakan. Elsa berubah jadi gugup melihat Pak Mario ada di depannya.
"Apa seperti itu cara kalian bersikap sebagai karyawan?! Kenapa tidak ada yang melerai mereka?! Apa kalian justru senang karena mendapatkan konten?!" Pak Mario sangat marah dan membuat semua orang jadi ciut.
"Sudah tahu bos kita galak, malah cari mati," bisik Ranti pada Linda yang masih bisa kudengar.
"Linda sudah selingkuh, Pak. Dia merebut pacarku," ucap Elsa sambil menunjuk Linda.
"Elsa di- " ucapku dengan pelan.
"Diam! Aku tidak mau tahu urusan pribadi kalian. Aku hanya ingin melihat hasil kerja kalian saja," ucap Pak Mario dengan tegas.
Apa pun alasannya, Pak Mario tidak mau tahu dengan masalah pribadi karyawannya. Pak Mario sangat menyayangkan kejadian ini. Beliau tidak menyangka bahwa karyawannya akan membuat keributan seperti ini, apalagi dalam hal sepele. Sekarang Elsa tidak hanya mendapat kemarahan Pak Mario, tetapi juga membuat dirinya sendiir menjadi bahan gunjingan orang-orang.
Setelah keadaan membaik, aku menghampiri Elsa di mejanya. Saat kulihat lebih dekat, aku melihat pelipisnya yang berwarna keunguan karena memar. Sepertinya Elsa tidak sengaja terbentur lantai.
"Ranti apa kau punya salep?" tanyaku.
Ranti mengambil salep di lacinya dan memberikannya padaku. Kemudian kuoleskan salep itu ke pelipis Elsa. Elsa sedikit merintih saat jariku menyentuh pelipisnya yang memar.
"Hatiku sangat sakit, itu sebabnya aku tidak tahan melihat Linda yang berjalan dengan menampilkan senyuman angkuhnya," ucap Elsa.
"Aku tahu. Tapi tidak benar juga kalau kau membuat keributan di sini," ucapku menasehatinya.
Semua orang mulai mematikan komputernya dan bersiap akan pulang. Setelah mengambil tas di ruanganku, aku berjalan berdampingan dengan Elsa. Aku meminta Elsa untuk menghindari tatapan orang-rang dan terus melihat ke depan.
"Gavin," ucap Elsa yang membuatku langsung melihat ke arah yang sedang dilihatnya.
Gavin berjalan ke arah kami.
"Elsa, aku minta maaf," ucap Gavin.
Aku melihat ke arah Elsa untuk melihat ekspresinya. Kemarahan yang diperlihatkannya tadi pagi, berubah menjadi tatapan yang melembut. Apa Elsa akan memaafkan gavin dengan cepat? Bagaimanapun aku tidak bisa memperngaruhinya. Aku hanya bisa menaruh kepercayaan padanya, bahwa apa pun keputusannya, maka aku akan mendukungnya.