Chereads / What is My Position / Chapter 20 - Kamar Lain

Chapter 20 - Kamar Lain

Saat ini aku sudah berada di depan rumah Argat. Sebelum berjalan lebih dekat, kulihat lagi kotak bekal yang kupegang. Kotak ini berisi makanan yang dimasak sendiri oleh ibu. Kemarin ibu tidak bisa menyiapkan sesuatu untuk Argat, maka dari itu ibu ingin memasak sesuatu untuknya. Jujur saja aku tidak yakin Argat mau menerimanya. Namun ibu sudah mengamanahkan padaku, jadi aku harus memberikannya. Argat baru saja keluar dengan mengenakan setelan jas.

"Argat," panggilku.

"Ini dari Ibu. Ibu yang memasaknya sendiri," ucapku sambil menyodorkan kotak bekalnya.

Tanpa menerimanya Argat berjalan melaluiku. Aku menelan saliva dengan berat melihat penolakannya itu.

"Jika kau marah padaku, tolong jangan marah pada Ibuku juga," ucapku melihat ke arahnya.

Argat hanya berhenti sebentar lalu masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa menatap kepergian mobilnya dengan pasrah. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk kembali ke rumah ini. Ponselku tiba-tiba berdering.

"Hallo, Pak."

"Delisa kau di mana? Apa kita bisa minum kopi bersama?"

"Tentu, Pak. Aku akan menemui anda."

Sesampainya di kedai kopi, aku melihat ke sekeliling untuk mencari keberadaan Pak Mario. Sebuah pesan baru saja masuk. Pak Mario ternyata ada di lantai dua. Kumatikan ponselku dan menaiki tangga ke lantai dua. Sama seperti saat itu, di sini terasa dingin.

"Apa kabar?" sapa Pak Mario.

"Lumayan baik, Pak."

"Hanya lumayan?" tanya Pak Mario.

"Mungkin," jawabku.

Pak Mario sudah memesankan kopi yang waktu itu kupesan. Pak Mario pasti sudah menungguku cukup lama. Beliau sampai memesan kopi untuk kami berdua lebih dahulu. Pak Mario terlihat sedikit aneh, seperti sedang mencium sesuatu. Aku sedikit menunduk untuk mencium aroma tubuhku. Kurasa tidak ada yang aneh denganku.

"Apa ada restoran di sekitar sini?" tanya Pak Mario.

"Jaraknya masih cukup jauh," jawabku.

Beberapa detik kemudian aku langsung tanggap dengan yang dimaksud Pak Mario. Aroma ini pasti berasal dari kotak bekalku. Kuambil kotak bekalnya dan memperlihatkannya pada Pak Mario. Raut wajah Pak Mario langsung berubah saat melihat isi kotak bekalku, dia seperti menemukan sesuatu yang sedang dicarinya.

"Sejak tadi aku mencium aroma ini. Kelihatannya sangat enak," ucap Pak Mario.

"Silakan ambil, Pak. Ibuku yang membuatnya," ucapku.

Pak Mario kemudian menyendok capcaynya. Aku tersenyum saat melihat Pak Mario menikmati makanannya. Bahkan Pak Mario tidak ragu untuk memakannya lagi. Meskipun bekal ini dimasak oleh ibu untuk Argat, tetapi jika Pak Mario menyukainya, aku akan tetap merasa senang.

"Untuk soal tadi, kenapa kau hanya menjawab lumayan? Kurasa setelah memakan ini suasana hatimu akan membaik. Jujur saja aku tidak menyukai kata lumayan karena itu meragukan," ucap Pak Mario.

"Ini masih pagi, jadi aku belum bisa menyimpulkan seberapa besar kebahagiaanku hari ini," ucapku.

"Apa semalam kau menangis?" tanya Pak Mario yang membuatku tertawa kecil.

"Tidak, Pak. Hanya merasa sedikit sulit. Aku mencoba memilih dan memperbaikinya, tetapi tidak berjalan dengan mulus," jawabku yang malah curhat.

Tiba-tiba ponsel Pak Mario berdering. Pak Mario menjauh sebentar untuk mengangkat teleponnya. Sambil menunggu Pak Mario kembali, aku memilih sibuk merutuki kebodohanku yang tidak mengontrol ucapanku. Seharusnya tidak perlu aku curhat tentang masalah masalah pribadi. Tak lama kemudian Pak Mario sudah kembali.

"Linda meneleponku untuk menanyakan soal berkas yang kutanda tangani kemarin," ucap Pak Mario.

"Berkas apa, Pak?" tanyaku.

"Waktu itu Pak Argat meneleponku untuk mengizinkanmu libur. Karena itu aku menyuruh Linda untuk mendampingiku ke kantornya Pak Argat. Aku sampai lupa ingin menanyakan ini, kalian bertemu di dekat pom bensin?"

Apa yang harus kujawab? Aku sama sekali tidak tahu kalau Argat akan membual tentang pertemuan kami di pom bensin. Kira-kira apa lagi yang dikatakan Argat pada Pak Mario?

"Pak Argat tidak sengaja melihatmu terjatuh dan mencoba membantumu. Pak Argat bilang kalau kakimu berdarah," imbuh Pak Mario.

"I-iya , Pak. Aku sangat berterima kasih pada Pak Argat karena sudah membantuku. Kalau tidak, aku tidak akan bisa berdiri. Aku juga berterima kasih karena sudah mau mengabari anda," ucapku asal.

Sesampainya di rumah, aku melihat Argat yang sedang menaiki tangga. Sepertinya aku akan langsung beristirahat di kamar. Hawa dingin di kedai kopi tadi membuatku sedikit tidak enak badan. Langkahku mendadak terhenti saat melihat Argat memasuki kamar lain. Aku tidak akan terkejut jika kamar yang dia masuki adalah kamar tamu. Namun Argat justru masuk ke kamar lain, kamar yang belum pernah kulihat terbuka. Karena penasaran aku berjalan dengan pelan supaya tidak menimbulkan suara. Seketika kuubah cara jalanku menjadi biasa saja saat melihat Argat keluar dengan tiba-tiba. Syukurlah Argat tidak mencurigaiku. Dari lantai dua aku melihat Argat yang berjalan keluar rumah. Sepertinya Argat akan pergi lagi. Setelah memastikan mobilnya pergi, kutekan kenop pintu kamar itu. Karena terburu-buru Argat sampai lupa tidak mengunci pintunya. Saking terkejutnya aku sampai menutup mulutku dengan kedua tangan.

"Maya," ucapku spontan.

Kamar ini dipenuhi dengan foto-foto Maya. Bingkai-bingkai yang tak terhitung jumlahnya dipajang di tembok. Bahkan foto masa kecil Maya ada di sini. Namun foto mereka berdua yang paling mendominasi. Kupegang bingkai yang ada di atas meja dan menginat kenangannya. Aku ingat benar bahwa aku yang memotret mereka berdua. Waktu itu Maya sedang mengomel karena Argat tidak kunjung menjemputnya. Bahkan sampai Argat datang, Maya masih saja cemberut. Argat mencubit pipi Maya karena gemas. Dengan iseng aku memotret mereka berdua dengan kameraku. Setelah itu aku mengirimkannya pada Argat. Aku tidak tahu kalau Argat akan mencetak fotonya.

"Kumohon maafkan aku," ucapku memandangi foto itu.

Sekarang aku sadar mengapa Maya ingin supaya aku terus berjuang. Itu semua karena Maya sangat mencintai Argat dan dia tahu kalau Argat juga sangat mencintainya. Maya tidak ingin keegoisannya membuat Argat tidak bahagia. Oleh karena itu Maya ingin supaya aku memberikan cinta yang sama untuk Argat. Maya ingin Argat merasa dicintai meski tidak bersamanya.

"Kenapa harus aku?" tanyaku dengan memandangi foto Maya.

Di depanku ada sebuah gorden. Saat kubuka aku tidak menemukan jendela di sini, melainkan bingkai yang sangat besar. Foto Maya terpampang dengan sangat jelas di sana. Aku terduduk lemas dengan air mata yang mulai berjatuhan. Begitu dalamnya Argat mencintai Maya. Aku tidak bisa membayangkan betapa frustrasinya Argat kehilangan Maya. Sampai kapan pun aku tidak akan paham dengan apa yang dirasakannya. Aku hanya tahu kalau selama ini Argat sangat membenciku. Kebenciannya itu bukan tanpa alasan, dia hanya tidak memiliki tempat untuk pulang. Jika aku bisa menjadi tempat pulang untuknya, maka keinginan Maya akan terpenuhi. Seandainya saja aku bisa menjadi tempat yang paling diinginkan Argat saat ini. Kupeluk kedua lututku dan menangis dalam keadaan tertunduk.