Chereads / What is My Position / Chapter 21 - Perempuan Itu

Chapter 21 - Perempuan Itu

Saat aku sedang menyiapkan makan malam, suara pintu terbuka membuatku menoleh. Argat datang dengan kemeja yang keluar dari celana dan dasi yang berantakan. Argat memegangi kepalanya dengan sebelah tangan dan tangan lainnya digunakan untuk membawa jasnya. Mama melirik ke arahku untuk membantu Argat. Kuambil jas dari tangannya dan menyuruhnya untuk duduk dahulu.

"Aku kubuatkan teh hangat untukmu," ucapku.

"Kau urus Argat saja. Biar Mama yang membuat tehnya," ucap Mama lalu pergi ke dapur.

"Kenapa kau ada di sini? Kita sudah bercerai," ucap Argat dengan menyenderkan punggungnya ke sofa.

"Kita belum bercerai," ucapku.

Argat berbicara seperti orang melantur. Namun aku tidak mencium bau alkohol di mulutnya. Ada apa dengannya? Apa Argat melukai dirinya lagi? Kucari luka itu dari ujung kaki sampai kepala, tetapi tidak ada.

"Aku sudah membuat surat yang baru. Aku akan mengambilnya," ucap Argat lalu berdiri dari duduknya.

Aku menahan tangannya supaya tidak pergi ke mana-mana. Jika surat yang dimaksud Argat adalah surat gugatan cerai, maka aku tidak akan membiarkannya memaksaku lagi. Pak Hasan menghampiriku dan berbicara pelan padaku. Melihat sikapnya yang sedikit takut pada Argat, membuatku memintanya untuk berbicara di luar. Di luar ada seorang laki-laki yang memegang dagunya. Saat kuperhatikan dagu itu memiliki bekas memar.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanyaku pada Pak Hasan.

"Orang ini adalah karyawan Pak Argat. Di kantor Pak Argat sangat marah hingga memukulinya," jawab Pak Hasan yang membuatku terkejut.

Aku mendekat ke arah laki-laki itu untuk mengetahui seberapa dalam lukanya. Bukan hanya memar, tetapi ada darah yang mulai mengering di sudut bibirnya. Mengapa Argat tidak bisa mengendalikan emosinya? Jika Argat marah padaku, lampiaskan saja padaku, bukan ke orang lain.

"Orang ini terus meminta uang untuk berobat. Tapi Pak Argat tidak memberinya sepeser pun," ucap Pak Hasan.

"Tunggu di sini," ucapku kemudian masuk ke dalam.

Dengan langkah cepat kunaiki tangga menuju kamarku. Kuambil dompet yang ada di dalam tasku dan mengambil lima lembar uang berwarna merah. Saat menuruni tangga aku melihat ke arah Mama sebentar yang sedang mengurus Argat.

"Ini untukmu. Gunakanlah untuk berobat. Jika ini tidak cukup, telepon saja aku," ucapku kemudian memberikan nomorku pada laki-laki itu.

"Terima kasih," ucap laki-laki itu kemudian berbalik akan pergi.

"Tunggu sebentar. Kenapa Pak Argat bisa sampai memukulimu?" tanyaku.

"Aku membuat kesalahan kecil. Pak Argat sangat marah padaku. Aku mencoba meminta maaf padanya, tapi dia justru memukuliku," jawab laki-laki itu.

Aku jadi teringat pada ucapan Pak Mario yang mengatakan kalau Argat menjadi pemarah akhir-akhir ini. Apa Argat meluapkan kemarahannya pada semua karyawannya? Ini tidak benar. Aku harus berusaha mengendalikannya. Setelah laki-laki itu pergi, aku kembali masuk ke dalam. Argat sedang memijat pelipisnya seakan menggambarkan betapa frustrasinya dia. Aku mengangguk pelan ke arah mama sebagai isyarat bahwa aku akan menangani Argat. Mama memegang pundakku dan mempercayakan semuanya kepadaku.

"Minumlah. Kau akan merasa lebih baik," ucapku dengan menyodorkan segelas teh hangat.

Argat hanya diam saja tanpa membuka mata. Kutaruh gelasnya di atas meja. Kupandangi raut wajah lelahnya itu. Saat kulihat ke matanya, bulu matanya sedikit basah. Sepertinya Argat baru saja menangis. Dengan pelan-pelan kulepaskan sepatunya supaya dia bisa lebih nyaman beristirahat. Kemudian kulepaskan dasinya dengan pelan juga. Aku senang Argat tidak menolak bantuanku kali ini.

"Berbaringlah. Kau perlu istirahat," ucapku.

Karena sudah lelah, Argat menuruti ucapanku dan berbaring di atas sofa. Aku akan mengambilkan selimut dan bantal di kamarnya. Kubawa sepatu dan dasinya ke kamar untuk di simpan. Kemudian kembali dengan membawa selimut dan bantal. Dengan gerakan pelan kuangkat sedikit kepala Argat untuk menaruh bantal di bawahnya. Kubenarkan posisi bantalnya supaya Argat tidur dengan nyaman. Kutarik selimutnya sampai ke lehernya. Aku akan kembali ke kamar dan membiarkan Argat tidur dengan nyaman.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam. Aku memeluk gulingku sembari mengingat ucapan laki-laki itu. Bahkan air mataku mulai menetes jika teringat dengan wajah lelah Argat. Daripada menyalahkan keputusan Maya, lebih baik aku berusaha membuktikan bahwa keputusannya tidak salah. Dengan kesabaran dan ketulusanku, aku akan mendampinginya sampai waktu yang ditentukan. Aku merasakan ponselku yang bergetar. Sebuah pesan baru saja masuk dari Elsa. Elsa memintaku untuk menemaninya membeli hadiah untuk temannya. Bukan tanpa alasan, Elsa takut keluar malam jika hanya sendirian. Itulah sebabnya Elsa memintaku menemaninya. Namun, apa harus malam-malam begini? Kutekan nomor Elsa untuk menghubunginya.

"Hallo, Elsa. Apa harus mal- "

"Aku lupa membelinya. Turuti saja aku."

Elsa kemudian mematikan teleponnya. Aku beranjak dari kasur untuk mengganti pakaianaku. Setelah mengenakan kerudung, kuambil tas dan dompetku. Aku berniat izin pada mama, tetapi ternyata sudah tidur. Aku menuruni tangga dengan pelan supaya tidak menimbulkan suara yang keras dan bisa membangunkan Argat. Setelah berhasil keluar, aku merasa lega.

"Bu Delisa mau ke mana?" tanya Pak Hasan yang tiba-tiba muncul.

"Aku mau pergi sebentar," jawabku.

Pak Hasan kembali dengan membawa mobilnya. Lagipula malam-malam begini pasti akan susah mendapat bus. Aku memilih untuk menjemput Elsa di rumahnya saja karena supaya lebih enak. Ternyata Elsa sudah berdiri di luar pagar menungguku. Kuturunkan kaca jendela mobilnya dan memanggilnya untuk segera masuk.

"Kau habis beli mobil?" tanya Elsa cukup terkejut.

"Tidak. Ini milik Pamanku," ucapku lalu melirik ke arah Pak Hasan.

Pak Hasan sedikit bingung dengan ucapanku. Namun mau bagaimana lagi? Aku belum siap mengatakannya pada Elsa.

Kami akhirnya sampai di sebuah toko kado. Toko ini cukup besar dan lengkap. Di dalamnya kami bisa memilih berbagai macam pernak-pernik yang bisa digunakan sebagai hadiah. Elsa berjalan cukup cepat ke bagian rak bola kaca yang didalamnya terdapat boneka salju. Selain itu juga terdapat butiran salju di dalamnya.

"Ini bagus, tapi aku takut pecah saat membawanya," keluh Elsa.

"Kurasa ini terbuat dari plastik, bukan kaca asli," ucapku mengetuk-ngetuk bolanya.

"Baiklah, aku akan pegang yang ini dulu," ucap Elsa.

Kuikuti Elsa ke mana pun dia pergi. Katakanlah aku sebagai penasehatnya saja. Sejauh mata memandang, Elsa hanya memiliki satu pilihan, yaitu bola salju yang ada di tangannya.

"Bola ini sudah bagus untuk dijadikan hadiah," saranku.

"Padahal hanya memilih hadiah tapi kepalaku sampai pusing," keluh Elsa memukul kepalanya dengan pelan.

Elsa akhirnya menyerah untuk berkeliling lagi. Sekarang Elsa tinggal memilih kertas kadonya dan membungkusnya. Aku tertarik pada corak berwarna merah muda yang ada di rak lain. Saat kuambil kertasnya, aku melihat Gavin dari celah raknya yang baru saja lewat. Tanpa memberitahu Elsa, aku mengikuti Gavin dari belakang.

"Linda," ucapku tanpa suara.

Gavin bersama dengan Linda? Jadi, selama ini bukan Ranti, melainkan Linda. Gavin tampak tersenyum ke arah Linda setiap Linda menunjukkan semua benda yang dipegangnya. Kakiku terasa lemas melihat kedekatan mereka berdua. Ini tidak bisa dipercaya. Sejak kapan mereka berkenalan? Kurasa Elsa tidak pernah mengenalkan Linda pada Gavin.

"Delisa kenapa kau di situ?" Elsa menarik-narik tanganku.

Aku merasa Gavin mendengar suara Elsa. Dengan gerakan cepat kudorong tubuh Elsa untuk menjauh dari sini. Aku meminta Elsa untuk diam sebentar supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

"Kenapa?" tanya Elsa penasaran.

Elsa terus meminta jawaban dariku, tetapi aku hanya bisa menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sekarang apa yang harus kukatakan pada Elsa? Apakah mulutku ini sanggup menyebut nama Linda di hadapan Elsa?