Di ruangan ini tidak ada siapa pun. Argat mencoba menghubungi Maya, tetapi nomornya tidak aktif. Meskipun begitu, Argat tidak putus asa untuk tetap menelepon Maya.
"Argat!" panggilku yang melihat Argat berjalan menjauh.
Perawat yang baru saja datang mulai merapikan tempat tidur pasien. Mungkin saja perawat itu tahu di mana keberadaan Maya.
"Permisi, pasien yang dirawat di sini ke mana ya?" tanyaku.
"Semalam dia baru saja meninggalkan rumah sakit," jawab perawat.
"Ke mana?" tanyaku menjadi panik.
"Aku tidak tahu. Pasien ingin berobat ke rumah sakit lain," jawab perawat kemudian memintaku meninggalkan ruangan.
Belum jauh perawat itu melangkah, dia berbalik menghampiriku. Aku yang awalnya menunduk seketika menyadari kehadiran seseorang lewat sepasang sepatunya.
"Permisi. Ada surat dari pasien yang dirawat di ruangan ini untuk anda," ucap perawat tadi.
"Terima kasih."
Kubuka suratnya dan kubaca tulisannya. Di sana tertulis kalau Maya sudah memutuskan untuk pergi berobat ke Singapura. Untuk beberapa waktu aku berhenti membacanya karena syok. Aku tidak menyangka kalau Maya akan pergi sangat jauh meninggalkanku. Bahkan, Maya memintaku berjanji untuk tidak memberitahu Argat tentang keberadaannya sekarang. Aku tak kuasa menahan tangis melihat pengorbanan Maya demi laki-laki yang dicintainya. Pengorbanan macam apa ini? Aku tidak menyukainya. Maya mungkin bisa menyakitiku, tetapi tidak dengan Argat. Argat menerima Maya dengan segenap hatinya. Kenapa Maya tdiak mau mengerti? Maya mengambil keputusan dengan cepat tanpa memberitahuku. Kalimat selanjutnya yang kubaca adalah permintaan supaya aku bersedia menggantikan posisinya di hidup Argat. Maya ingin supaya aku bisa hidup bahagia dengan Argat. Aku hanya bisa terduduk lemas di lantai dan menangis.
"Apa yang kau lakukan, Maya?" gumamku.
Kuhapus air mataku dan kuberanikan diri untuk membaca suratnya sampai selesai. Maya juga memintaku untuk hidup seakan tidak pernah ada yang terjadi dia antara dia dan Argat. Maya ingin supaya aku memenuhi tugasku sebagai seorang istri. Maya ingin supaya aku menerima Argat dengan sepenuh hatiku.
"Aku tidak bisa mencintainya karena dia bukan milikku," ucapku pelan.
Kalimat terakhir yang kubaca mengatakan bahwa sebenarnya Maya memang cemburu, tetapi lebih baik melepaskan Argat bersama kebahagiaannya daripada memintanya bertahan dengan kesedihan. Air mataku kini makin deras setelah membaca nama Maya di bagian pojok kanan bawah. Saat kulipat suratnya dan akan kumasukkan ke dalam amplop, ternyata masih ada satu surat lagi. Dengan cepat kubaca suratnya. Di sana tertulis jika Maya percaya bahwa kesabaran dan ketulusanku akan mampu meluluhkan hati Argat. Entah bagaimana jalan pikir Maya sampai mempercayai bahwa suatu saat nanti aku mampu memberikan hatiku untuk Argat, bahwa aku mampu mencintainya sama seperti yang dilakukan Maya. Di bagian bawah tertulis sebuah nomor. Apa ini nomornya Maya?
Aku sudah memosisikan diriku seakan tidak terjadi apa-apa saat Argat kembali. Matanya memancarkan kesedihan dan keputusasaan. Rambutnya yang basah dan kemeja yang sedikit berantakan. Aku bisa memahami penderitaannya. Argat menatap ke arah pintu ruangan itu selama beberapa detik. Aku hanya diam karena tidak ingin mengganggunya.
"Argat," panggilku yang tidak digubris olehnya.
Argat justru berjalan pergi seakan risi dengan suaraku. Aku membiarkannya pergi tanpa berniat menahannya.
Sekitar pukul delapan malam aku baru pulang karena harus lembur. Hari ini aku lelah sekali secara fisik dan emosional. Untung saja Pak Mario tidak memberiku pekerjaan yang terlalu berat. Baru tiga anak tangga yang kunaiki, aku mendengar suara langkah kaki yang cukup keras. Aku menoleh ke belakang dan melihat Argat di sana. Tidak biasanya Argat pulang di malam hari. Kalau tidak menginap di kantor, dia akan menginap di rumah sakit. Namun sekarang tidak ada alasan lagi baginya untuk menginap di rumah sakit. Tanpa melihat ke arahku, Argat menaiki tangga dengan cepat. Aku berusaha mengimbangi langkahnya untuk mengetahui apa yang akan dia lakukan.
"Kau mau ke mana?" tanyaku saat melihat Argat mengeluarkan kopernya.
"Tidak ada urusannya denganmu," jawab Argat dengan tajam.
"Aku akan menyiapkan makan malam untukmu," ucapku.
"Bisakah kau berhenti berpura-pura? Aku muak melihatmu," ucap Argat yang membuat dadaku terasa perih.
Dalam kemarahan Argat bisa menuduhku apa saja. Namun mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa memberitahu keberadaan Maya padanya. Lagi-lagi aku diminta berjanji di sini. Entah sampai kapan aku mampu menghadapi kemarahan Argat. Jika keadaannya terus seperti ini, aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Maya untuk mengurus Argat. Kini aku hanya bisa diam melihat Argat keluar dengan membawa koper di tangannya.
"Aku ingin bicara denganmu," ucapku dengan cukup keras.
Suaraku yang cukup keras membuat langkah Argat terhenti. Sekarang aku bingung mencari cara untuk menghentikan Argat. Aku kembali teringat dengan isi suratnya bahwa hanya keabaran dan ketulusanku yang mampu meredam kemarahan Argat.
"Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin," ajakku.
"Berhentilah bersikap seakan kita memiliki hubungan. Kau bukan istriku," tolak Argat dengan mentah-mentah.
"Argat dengarkan aku," mohonku dengan mengikutinya.
Argat memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Dengan terpaksa aku menahan tangannya supaya dia mau melihatku. Aku tidak akan membiarkan Argat pergi ke mana pun. Aku tidak ingin membuat dua orang bersedih karenaku. Dengan cukup kasar Argat menghempaskan tanganku.
"Kumohon jangan pergi," mohonku sekali lagi.
Argat kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal. Aku akan menggunakan kesempatan ini untuk mencegahnya pergi.
"Berhentilah menggangguku!"
"Bagaimana caranya supaya aku bisa mneghentikanmu? Tolong jangan pergi," mohonku dengan menyatukan kedua tangan.
Argat hanya menatapku tanpa mengeluarkan suara. Aku menatap matanya supaya dia mau mendengarku dan memberiku kesempatan.
"Aku akan tetap tinggal di sini jika kau keluar," ucap Argat yang membuatku membelalakkan mata.
"Aku muak dengan wajah lugumu. Aku muak setiap kali menyadari betapa jahatnya dirimu. Kau memperdaya sahabatmu sendiri demi keuntunganmu," imbuh Argat.
"Aku memperdayanya?" Aku menunjuk diriku sendiri.
Air mataku keluar begitu saja. Hatiku rasanya sakit sekali terusmenerus mendengar Argat menuduhku. Aku sudah menjelaskan padanya kalau aku terpaksa melakukannya karena permintaan Maya. Mengapa Argat tidak percaya padaku? Apa wajahku menyiratkan kebohongan?
"Pergi dari sini," ucap Argat menekankan kata-katanya.
Argat merentangkan sebelah tangannya untuk mempersilakanku pergi. Kini aku sudah lelah, aku sudah tidak memiliki tenaga untuk menenangkannya. Semuanya terasa sia-sia. Pengorbanan Maya dan bantuanku seakan tidak ada artinya sekarang. Dengan membawa koper aku berjalan ke arah pintu. Aku menatap Argat dengan mata yang berair saat dia membukakan pintu untukku. Namun tetap saja, Argat enggan melihatku. Saat aku sudah melangkah keluar, Argat langsung menutup pintunya. Aku hanya bisa menatap malang saat pintu itu sudah tertutup. Kuambil ponselku untuk menghubungi Maya.
"Hallo, Maya. Ini aku, Delisa."
"Delisa, bagaimana kabarmu?"
Dari nada bicaranya, Maya terdengar senang karena aku meneleponnya. Untuk beberapa detik aku mencoba mengumpulkan keberanianku untuk bicara jujur padanya.
"Maaf jika aku tidak membantu sama sekali."
Setelah meminta maaf aku langsung menutup teleponnya. Sebelum aku benar-benar pergi, aku menoleh ke belakang untuk melihat rumah yang beberapa hari ini kutinggali. Kemudian aku berjalan menjauhi rumah ini dan Argat.