Seperti biasa aku bangun duluan sebelum semua orang bangun. Setelah selesai bersiap-siap, aku turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan untuk semua orang. Bu Rima datang dengan membawakan segelas susu untuk Argat. Kuoleskan roti tawar dengan selai kacang untuk tiga porsi.
"Selamat pagi," sapa Argat dengan ramah.
"Selamat pagi." Aku tersenyum.
Kuserahkan sepiring roti tawarnya pada Argat. Argat yang sedang meminum susunya tampak terkejut karena merasa sudah merepotkanku.
"Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Aku tidak ingin kau terbebani dengan ini," ucap Argat lalu memakan rotinya.
Aku hanya berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan tugasku sebagai istri dan juga temannya. Sebelum hubungan ini berakhir aku akan terus mengurus Argat layaknya seorang suami. Maya ingin supaya aku mengurus Argat dengan baik. Bahkan semalam Maya meneleponku untuk memberitahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh Argat.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa tahu kalau aku suka selai kacang?" tanya Argat.
"Maya yang memberitahuku," jawabku.
Argat hanya tersenyum mendengarku. Meskipun Maya sedang di rumah sakit, dia tetap memastikan supaya Argat tidak kekurangan apa pun. Bukannya merasa tersinggung, Argat justru merasa sangat diperhatikan oleh Maya. Argat menaiki tangga ke lantai dua dan kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna cokelat.
"Aku sudah mengajukan perceraian kita ke pengadilan. Lebih baik kita segera berpisah dan hidup seperti biasanya. Aku sudah mempertimbangkan segalanya dan kurasa ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita," ucap Argat setelah menyerahkan amplopnya padaku.
Kubuka amplopnya dan kutarik selembar kertas yang ada di dalamnya. Saat kubaca aku jadi teringat dengan ibu. Ibu ingin supaya aku mempertahankan rumah tanggaku. Namun, aku tidak bisa mengingkari janjiku pada Maya. Aku sudah berjanji akan mengembalikan Argat pada Maya. Meski Maya menolak, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untukku berpisah dari Argat. Ibu maafkan aku, aku harus melakukannya.
"Delisa, kenapa melamun?" tanya Argat yang membuatku kembali sadar.
"Iya. Aku akan menandatanganinya," ucapku.
"Kau bisa berikan padaku nanti malam. Aku harus segera berangkat ke kantor. Sampai jumpa," ucap Argat.
Tak berselang lama, Mama menuruni tangga dengan membawa koper ditangannya. Apa Mama akan pergi? Sebelumnya Mama tidak mengatakan apa pun padaku. Mama kemudian duduk di sampingku dan memakan sarapannya.
"Mama mau ke mana?" tanyaku.
"Mama akan kembali ke Jerman. Papamu pasti sudah sangat merindukanku," ucap Mama dengan sedikit melucu.
"Kenapa terburu-buru? Kita baru bertemu sebentar dan Mama sudah akan kembali."
"Mama harus seceptanya kembali, Sayang." Mama menyentuh pipiku.
Kukira mama akan menginap lebih lama lagi. Jika ada mama di sini aku tidak akan merasa kesepian. Kasih sayang mama membuatku merasa dekat dengannya.
"Di mana Argat? Apa dia belum bangun?" tanya Mama.
"Argat sudah berangkat," jawabku.
"Dasar anak itu. Dia terus menghindari mamanya sendiri. Setidaknya dia mengantarku ke bandara. Anak tidak berguna." Mama memakan rotinya dengan mengomel.
Mengapa Argat snagat marah dengan mama? Aku merasa sedih karena hubungan ini mereka jadi menjauh. Seharusnya aku berusaha untuk mendamaikan dan mendekatkan mereka. Namun mama sudah ingin pergi saja. Selesai sarapan, aku membantu mama membawa kopernya sampai di depan pintu. Aku memeluknya seakan tidak ingin kehilangan ibunya.
"Jangan bersedih, Sayang. Jika kau ingin bertemu Mama, kau bisa meminta Argat mengantarmu ke Jerman," ucap Mama.
Sayangnya itu tidak akan terjadi. Tidak lama lagi aku akan meninggalkan rumah ini. Begitu kami resmi bercerai, maka tidak ada alasan untuk tetap tinggal di rumah ini. Aku kembali memeluk mama karena ini adalah pertemuan terakhirku dengan mama.
"Kau memelukku seakan tidak akan pernah melihatku lagi."
"Anggap saja begitu, Ma," ucapku keceplosan.
"Jangan berkata begitu. Jika Argat sampai menyakitimu, Papanya tidak akan mengampuninya. Tapi sejujurnya Mama memang mengkhawatirkan hubungan kalian," ucap Mama mendadak sedih.
Keputusan Argat untuk tidak memberitahu mama sudah benar. Lebih baik mama hanya tahu kalau hubungan kami baik-baik saja. Aku tidak ingin mama pergi dengan kekhawatiran.
"Kita baik-baik saja, Ma. Kita sudah sama-sama dewasa," ucapku berusaha tersenyum.
"Baiklah, Mama percaya padamu. Mama pergi dulu, Sayang." Mama melambaikan tangan padaku.
Sekarang waktunya jam makan siang. Elsa mengajakku memesan siomay dan es kelapa muda. Aku membiarkan Elsa memesan apa pun yang dia inginkan dan aku hanya akan mengangguk sebagai tanda jawaban. Mengapa sekarang aku jadi bingung begini? Bukankah seharusnya berjalan mudah? Tujuan pernikahan ini memang untuk berpisah, kan? Lalu mengapa aku bingung? Mungkin karena ada harapan ibu dan mama yang menjadikan semuanya terasa lebih berat.
"Kenapa senyum-senyum?" Elsa menatapku aneh.
"Tidak. Makan yuk," ajakku.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara gebrakan meja. Elsa yang baru saja mengunyah siomaynya jadi keselek karena saking kagetnya. Ternyata pelaku yang sudah membuat kegaduhan ini adalah Linda.
"Eh, Delisa! Kau sengaja, kan?!" Linda merasa tidak terima.
"Linda, ini kantor! Bukan rumahmu! Jangan bikin kegaduhan di sini!" Elsa juga merasa tidak terima.
"Minggir, El! Kau pasti sengaja merayu Pak Mario supaya bisa jadi sekretarisnya, kan? Ngaku aja!" Linda menuduhku.
Aku bahkan tidak mengatahui apa pun. Pak Mario juga tidak memanggilku untuk menjadi skeretarisnya. Sebenarnya apa maksud Linda menuduhku?
"Aku sama sekali tidak tahu apa-apa," ucapku jujur.
"Basi! Kalau kau mau bersaing, secara sehat dong. Jangan lewat orang dalam," ucap Linda lalu sedikit mendorongku.
Elsa lalu menuntunku untuk menjauhi kantin. Aku benar-benar masih syok dengan tuduhan Linda. Selama aku bekerja di sini, aku tidak pernah merasa tersaingi oleh siapa pun. Bahkan, aku tidak pernah terlibat masalah dengan Linda. Aku tahu kalau Linda memang suka mencari perhatian pada Pak Mario, tetapi tidak ada niat dariku untuk berusaha menggagalkan usahanya. Aku duduk sambil menangis. Elsa menaruh kepalaku di pundaknya.
"Enggak usah didengerin omongan Linda. Dia itu cuma ngawur," ucap Elsa berusaha menenangkanku.
"Bagaimana kalau benar? Linda tidak mungkin asal menuduhku," ucapku.
"Ini dunia pekerjaan. Siapa yang pantas maka dia yang akan mendapatkannya," ucap Elsa seakan tidak terganggu dengan kemarahan Linda.
Aku pulang ke rumah dengan pikiran yang masih kacau karena teringat dengan perlakuan Linda padaku tadi siang. Bu Rima yang melihatku baru saja datang langsung membuatkan teh hangat untukku. Kubawa teh hangatnya ke kamarku. Ternyata segelas teh hangat bisa membuatku lebih rileks. Rumah ini terasa sunyi sekali. Apa Bu Rima tidak merasa kesepian di rumah sendiri?
TOK…TOK…
Pintu terbuka dan menampilkan Bu Rima yang membawa nampan berisi sepiring makanan. Sebenarnya aku bisa mengambilnya sendiri. Jadi tidak enak karena terus dilayani oleh Bu Rima. Bu Rima menaruh nampannya di atas meja.
"Bu Rima, lain kali aku akan mengambilnya sendiri. Bu Rima tidak perlu repot-repot seperti ini," ucapku sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa, Bu Delisa. Sudah tugasku untuk mengurus keperluan anggota rumah ini. Permisi." Bu Rima menutup pintunya.
Aku harus makan supaya bisa tidur. Tidur dalam kondisi lapar itu sangat tidak enak. Aku salah fokus pada amplop berwarna cokelat yang ada di samping nampan. Kubuka amplop yang berisi surat gugatan cerai itu. Aku sampai lupa belum menandatanganinya. Tanpa perlu berlama-lama, aku mengambil bolpoin dan kugunakan untuk menandatangani suratnya. Sebelum memasukkannya ke dalam amplop, aku memejamkan mataku dan meyakinkan diriku bahwa semuanya akan berjalan lancar. Ponselku tiba-tiba berdering. Ternyata ada panggilan masuk dari Argat.
"Hallo, Argat."
"Maaf aku tidak bisa pulang hari ini. Aku harus menginap di kantor karena ada beberapa pekerjaan yang harus kuurus."
"Iya, tidak apa-apa."
"Besok aku akan mengambil suratnya. Kau sudah menandatanganinya, kan?"
"Iya, sudah."
Argat menutup teleponnya Kusimpan amplopnya di dalam tasku supaya besok tidak lupa membawanya.