"Y-ya. Biar saya pikirkan dulu."
Aila terkejut mendengar namanya dipanggil.
Sementara dia berusaha tidak mendengar kata-kata negatif dari teman sekelasnya, wajahnya tampak bermasalah.
Dia mengepalkan tangannya, kemudian menundukkan wajahnya. Dia berpikir dengan keras bagaimana harus menjawab.
Jika boleh jujur, dia ingin sekali menolaknya.
Orang lain terus memandang Aila sebagai Putri dari Keluarga Witchell, oleh karena itu dia harus terus tampil mengesankan di depan orang lain.
Dia sudah cukup terbebani dengan hal itu. Padahal dia tidak ingin terus-menerus menjalani hidupnya untuk selalu berusaha memuaskan ekspektasi orang lain.
Dia memang terlahir dalam Keluarga Witchell, yang dalam pandangan orang lain dia tampak bisa melakukan apa saja. Memang wajar jika orang lain menganggapnya seperti itu, karena Keluarga Witchell adalah salah satu dari empat Great Noble House.
Semua keturunan Great Noble diketahui memiliki bakat yang luas biasa. Tapi pada kenyataannya, Aila menganggap dirinya sama saja seperti gadis biasa. Seorang gadis yang hanya ingin hidup sesuai keinginannya tanpa peduli pada pendapat orang lain.
Tapi dia menyadari kalau itu tidak mungkin. Selama dia adalah Putri dari Keluarga Witchell, hidupnya akan selamanya dia gunakan untuk berusaha tampil baik di hadapan orang lain.
Bahkan hari ini tidak terkecuali. Meski dia tidak mau mempercayainya, tapi dia benar-benar meyakini kalau dia tidak akan dipilih.
Bukannya dia menyesal menjadi bagian dari House of Witchell. Jika ada yang bertanya bagaimana perasaannya menjadi bagian dari keluarganya, maka dia akan dengan keras mengungkapkan kalau dia bahagia terlahir sebagai bagian dari keluarganya.
Tapi, aura kehadirannya yang kuat dan dirinya yang selalu menarik perhatian orang lain, itulah yang membuatnya kerepotan.
Saat ini Aila mencoba menemukan keberaniannya untuk menolak. Dia tidak ingin menjalani peran sebagai perwakilan kelas dengan setengah hati seperti ini.
Jadi, dia sedang menyiapkan mentalnya agar berani mengatakannya, tapi−
"Kenapa dia masih harus berpikir!"
"Aku hanya ingin pulang, cepat terima saja."
"Bukankah kau sudah terbiasa dengan itu."
Gumaman pelan teman sekelasnya bisa dia dengar. Mereka sudah tidak bisa berpikir jernih, bahkan sebagian dari mereka sudah menyerah untuk peduli. Jadi hampir semua orang melihat ke arah Aila.
Aila merasakan teman sekelasnya menatap ke arahnya, menunggu dia menjawab.
Dua teman baik Aila tampak bingung harus bereaksi seperti apa, mereka memasang wajah yang seolah mengatakan bahwa mereka akan menerima apa pun keputusan Aila.
(Aku seharusnya mengerti, tidak mungkin bagiku untuk bisa menjalani kehidupan akademi seperti gadis lain...)
Aila menghela napas, kemudian mengangkat kepalanya. Wajah cantiknya tampak kusut, tapi dia berhasil memaksa bibir kakunya untuk tersenyum.
"Saya mengerti, Bu. Saya menerimanya."
Ada perasaan lega sekaligus kecewa yang dia rasakan setelah mengungkapkan keputusannya.
Tepat pada saat itu−
"Karena kelihatan menarik, bolehkah saya ikut mengajukan diri?"
Aila melihat ke belakang kelas, ke tempat suara itu berasal. Dalam penglihatannya seorang siswa sedang mengangkat tangannya.
Berbeda dengan kata-katanya, tangannya terangkat dengan lesu dan wajahnya memperlihatkan ketidakpedulian. Semua orang yang melihatnya akan beranggapan kalau dia tidak serius melakukannya.
Aila mengamati wajahnya.
(Ah, orang itu...)
***
Edwin masih terkapar di kursinya. Dia ingin segera pulang, tenaganya terasa tersedot habis meski yang dia lakukan sejak pagi hanya tidur.
Keinginannya terkabul karena Sisca menyerah setelah melihat semua siswa tidak menaruh minat untuk belajar hari ini, jadi dia mengakhiri kelasnya lebih awal. Setidaknya Edwin merasa senang dengan keadaan yang memihak pada dirinya.
Tapi sialnya, orang itu ternyata mengumumkan kalau dia akan menggunakan waktu yang tersisa untuk memilih perwakilan kelas.
Edwin menghela napas karena kecewa. Dia melihat Glen berbalik ke arahnya.
Glen tersenyum dan matanya berbinar seolah mengatakan padanya kalau sebentar lagi sesuatu yang menarik akan terjadi.
Edwin tidak tahu sesuatu yang dipikirkan Glen, tapi tampaknya itu berbeda dengan kenyataan yang terjadi.
Semua siswa terlihat tidak berminat mengajukan diri. Di antara mereka ada yang berusaha tetap diam agar tidak menarik perhatian. Glen sendiri berusaha menyembunyikan kekecewaannya setelah isi pikirannya tidak menjadi kenyataan.
Edwin memperhatikan Sisca menggelengkan kepalanya di depan kelas. Sudah jelas dia menaruh harapan untuk melihat siswanya antusias pada pemilihan ini.
Karena dia tidak memiliki cara lain, Sisca akhirnya membuat keputusan untuk memilih seseorang sebagai kandidat perwakilan kelas.
Setelah beberapa saat berpikir, dia akhirnya memanggil Aila.
Tentu saja Edwin bisa melihat Aila terkejut saat namanya dipanggil. Edwin merasa itu hal yang wajar jika dia dipanggil, karena dia sangat mencolok dan aura kehadirannya sangat kuat.
Terlebih lagi, memilihnya sebagai kandidat perwakilan kelas berdasarkan alasan kalau dia adalah keturunan dari Keluarga Witchell adalah pilihan terbaik saat ini.
Dan fakta lain yang tidak dia tahu bahwa sebenarnya Aila terkenal di kalangan guru sebagai siswa yang cerdas dan taat pada peraturan akademi.
Tapi pendapat teman kelasnya tidak begitu baik. Kelelahan setelah belajar membuat otak mereka sudah tidak bisa berpikir jernih. Sehingga mereka saat ini hanya bisa melampiaskan kekesalan mereka yang tidak beralasan pada Aila.
Hanya karena Aila selalu menjadi perwakilan kelas sejak dari sekolah dasar, mereka mengira itu hal yang wajar jika dia seharusnya mengambil kembali peran itu.
Sedangkan Aila yang tampaknya tidak suka dengan pandangan orang lain terhadapnya, hanya bisa menundukkan kepalanya sambil berpikir untuk memberikan jawaban penolakan terbaik.
Tapi pada akhirnya, karena tekanan dari teman kelasnya yang dia terima dari segala arah, membuatnya terpaksa harus menyerah dan terseret pada opini mayoritas.
Edwin tidak begitu peduli tentang masalah yang terjadi pada teman sekelasnya. Dia juga tidak merasa harus bersimpati pada gadis yang pendapatnya ditekan oleh seisi kelas. Dia tidak seperti Glen yang saat ini menatap kasihan pada gadis itu.
Tapi, Edwin sedikit tidak terima pada sikap teman sekelasnya karena memaksa seseorang harus menurut pada pendapat mereka.
Kebanyakan orang memang berpendapat kalau seseorang yang mengambil tanggung jawab untuk berperan dalam suatu pekerjaan, dan setelah pekerjaannya selesai, jika ada pekerjaan sejenis seperti itu maka dia wajib mengambil peran itu lagi.
Jika orang itu memang menginginkan untuk berperan dalam pekerjaan itu lagi maka tidak masalah, tapi jika dia tidak menginginkannya lalu mendapat tekanan dari pihak mayoritas yang memaksa agar orang itu menerima pekerjaannya, menurut Edwin, tindakan yang mereka lakukan itu tidak lebih dari diskriminasi.
Diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh orang yang berkuasa pada rakyat biasa, tapi itu bisa dilakukan oleh pihak mayoritas kepada kelompok minoritas.
Dan diskriminasi adalah hal yang paling dilarang di Wilayah Torch. Oleh karena itu, akademi juga menerapkan aturan tidak terlepas dari larangan itu.
Jika ada siswa yang melanggarnya, dia mungkin tidak hanya akan dikeluarkan dari akademi, bahkan dia bisa berpotensi untuk dideportasi secara paksa dari Wilayah Torch.
Meskipun Wilayah Torch sangat kecil untuk dikatakan sebagai sebuah negara, karena hanya memiliki luas sekitar lima ribu kilometer persegi, tapi tidak akan ada negara yang berani memancing konflik dengan Wilayah Torch.
Bahkan jika seorang putri dari kerajaan besar dideportasi paksa dari Wilayah Torch karena kesalahannya sendiri, kerajaan besar itu akan berpikir berulang kali jika ingin memprotes keputusan itu.
Ini akan menjadi lebih merepotkan dari pada yang Edwin pikir. Terlebih lagi, masalah ini melibatkan Putri dari Keluarga Witchell.
Padahal dia hanya ingin segera pulang, tapi dia harus memaksa otaknya memikirkan masalah ini.
(Sepertinya aku juga tidak punya pilihan lain ....)
Edwin mendesah panjang, menggaruk kepalanya dengan sedikit kesal. Setelah itu dia mengangkat tangannya.
"Karena kelihatan menarik, bolehkah saya ikut mengajukan diri?"
Edwin berbicara cukup keras untuk bisa di dengar semua orang di kelas. Dia melakukannya dengan setengah hati, dan itu terlihat dari sikap dan ekspresi wajahnya yang tampak tidak antusias sama sekali.
Tapi, semua orang di kelas bahkan tidak memedulikan hal itu, yang lebih mereka pedulikan adalah−
"Siapa dia?"
"Ada orang seperti dia di kelas?"
"Sejak kapan dia ada di sana?"
Semua orang berpikir sama tentang orang yang baru saja mengangkat tangan, bahwa mereka lebih terkejut soal kehadirannya yang tiba-tiba.
Aila ikut terkejut. Tapi tidak hanya dia.
Bahkan Glen, dan lelaki tampan yang merupakan anggota keluarga dari salah satu Great Noble House juga terkejut.
Tapi seperti biasa, Edwin tidak memedulikan mereka.
"... Um, kalau tidak salah, Edwin, kan? Apa kamu yakin ingin mengajukan diri?" Sisca mengonfirmasi niat Edwin.
Semua siswa melihat ke arahnya.
"Apa tidak boleh?"
"Tidak masalah. Hanya saja ... bolehkah saya memberi tahu Ketua Komite Akademi terlebih dahulu?"
Sisca bingung harus bereaksi seperti apa, setelah berpikir akhirnya dia memutuskan solusi terbaik adalah menyerahkan masalah ini pada Ketua Komite Akademi.
Komite Akademi adalah sebutan untuk perwakilan yang dibentuk oleh siswa untuk mempermudah kegiatan akademi mereka, di akademi lain mereka dikenal sebagai OSIS.
Di akademi ini, Komite Akademi memiliki pengaruh untuk dapat ikut campur dalam masalah yang terjadi pada siswa. Jadi, Sisca melakukan hal yang tepat dengan menyerahkan masalah ini pada Komite Akademi.
"Ya, tidak masalah. Sampaikan pada Ketua untuk mengurus semuanya dengan benar."
Edwin mengatakan itu tidak sambil melihat ke arah Sisca, tapi pandangannya tertuju pada satu titik di luar ruang kelas. Bel akademi berbunyi tepat saat Edwin mengakhiri kata-katanya.
"Baiklah, dengan ini kita punya dua kandidat perwakilan kelas. Karena akan ada pemilihan, maka Ibu akan memberi tahu pihak Komite Akademi untuk mengawasi pemilihannya."
Sisca mengakhiri kelasnya.
Setelah kelas berakhir, tidak ada pembicaraan lebih lanjut mengenai masalah itu. Karena semua siswa di kelas entah bagaimana merasa lebih lelah dari biasanya, jadi mereka lebih memprioritaskan untuk kembali ke rumah.
***