Chapter 1 : Torch City
Musim dingin tahun 741 dalam penanggalan kalender Krieg Heilig.
Di sebuah dunia bernama Anderwelt, dunia yang sudah memasuki periode modern awal tetapi kebanyakan negara-negaranya masih menganut sistem pemerintahan kerajaan.
Lokasi tepatnya berada di salah satu kota dari daerah kekuasaan Kerajaan Rotteria, area yang berada di wilayah utara dalam peta dunia−
Seorang anak laki-laki duduk di sudut ruangan. Tangannya melingkar di antara kedua lutut yang dia tekuk tampak seperti dia mencoba membuat tubuhnya tetap rapat.
Ruangan itu tertutup, di pintu ruangan terdapat meja besar yang tampak menahan pintu untuk dibuka dari luar. Keadaan ruangan terlihat suram dan sumber cahaya hanya berasal dari jendela yang rusak.
Sinar matahari yang masuk lewat jendela sudah cukup sebagai penerang ruangan, terlebih lagi, mata anak itu sudah terbiasa dengan gelap.
Angin di pagi musim dingin masuk lewat jendela, membawa aroma ruangan yang tidak sedap langsung ke hidungnya.
Pakaian anak itu sudah basah oleh keringat sejak dia masuk ke ruangan itu tadi malam, dan sekarang dia sedang kedinginan. Tubuhnya bergetar karena terlalu lama memakai pakaian basah.
Dia tidak tahu sudah berapa lama sejak dia masuk ke ruangan itu. Perutnya mulai terasa sakit karena lapar. Sejak tadi malam sampai pagi ini dia terus terjaga dalam posisi itu.
"Ugh, kenapa ini bisa terjadi ...." Dia meringis dengan suara yang terdengar serak. Jika dia tidak segera bergerak dia pasti akan terkena demam.
Meskipun dia ingin segera pergi tetapi dia tidak bisa melakukannya, dan alasannya karena−
"Apakah orang itu masih mencariku?"
Tadi malam dia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Itu terjadi saat dia keluar untuk membeli bahan-bahan makan malam.
Matahari sudah lama terbenam dan angin pertanda musim dingin bertiup cukup kencang. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika dia keluar dari penginapan sederhana di kota yang berjarak beberapa kilometer dari ibu kota kerajaan.
Mengenakan set pakaian musim dingin, dia berjalan menuju minimarket yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia terpaksa melakukannya karena dia belum makan malam, dan dia lupa membeli bahan-bahan makan malam saat berbelanja kemarin.
Butuh waktu dua puluh menit jalan kaki untuk sampai ke minimarket. Dia sampai tepat ketika seorang lelaki paruh baya keluar dari pintu otomatis minimarket.
Anak itu berpikir aneh tentang lelaki tua itu karena dia mengenakan pakaian yang tipis saat suhu di luar terasa dingin.
Wajah laki-laki itu terlihat familier untuknya dan dia merasa pernah bertemu dengannya di suatu tempat. Tapi dalam sekejap dia langsung menepiskan pikiran itu.
Kesampingkan tentang rambut putihnya yang langka, wajah lelaki tua itu adalah tipe wajah pasaran yang mudah ditemukan di setiap kota.
Anak itu masuk ke dalam minimarket. Suhu di dalam terasa nyaman dan hangat. Mempertimbangkan kondisi di luar, dia merasa tidak perlu terburu-buru dan memilih untuk menikmati waktunya berbelanja.
Toko itu menampilkan deretan barang-barang, dan ada bilik penjaga toko di bagian depan yang terlihat sesaat setelah masuk.
Dia bisa melihat beberapa orang mengantre untuk membayar belanjaan mereka, di antara mereka ada seorang ibu dan anak perempuannya di bagian belakang antrean. Ibu itu membelikan anaknya minuman.
Saat dia berjalan melewati mereka, dia bisa melihat uap putih di sekitar minuman menandakan kalau minuman itu baru saja diambil dari lemari pendingin. Sementara itu, anak perempuannya yang sedang menangis terus bergumam pada ibunya bahwa dia ingin cepat pulang.
Anak laki-laki itu tidak berniat memedulikan mereka lebih jauh dan berjalan lurus ke deretan barang mencari bahan-bahan yang dia perlukan untuk makan malam.
Dia merasa tidak perlu membeli bahan untuk sarapan besok karena di pagi hari dia akan pergi dari kota ini. Dia hanya menetap sementara dan sudah lima hari tepatnya sejak dia datang ke kota ini.
Setelah membeli kebutuhannya dia pergi untuk membayar. Penjaga toko melayaninya dengan ramah, menampilkan senyuman seolah sedang memuji seorang anak yang pertama kali melaksanakan tugas dari ibunya untuk berbelanja.
Setelah beberapa saat, anak itu membawa belanjaannya dan keluar dari minimarket. Dia langsung disambut udara dingin, sehingga dia mempercepat langkahnya karena tidak ingin terlalu lama berada di luar.
Anak itu sudah berjalan beberapa menit, dan akhirnya sampai di persimpangan jalan, dia bisa terus lurus atau berbelok ke kanan. Dia mengambil arah kanan, jika dia berjalan lurus itu akan mengarah ke ibukota jika dia terus berjalan beberapa kilometer lagi.
Jalan itu tampak sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintasi jalan tanpa ada satu pun pejalan kaki yang lewat. Pada kondisi dingin seperti malam itu orang-orang lebih memilih menetap di dalam rumah mereka.
Anak itu menghela napas, masih perlu beberapa menit sebelum dia sampai ke penginapannya. Dan dia masih perlu mengambil jalan memutar untuk sampai ke penginapannya.
Di ujung jalan yang sedang dia lewati akan ada persimpangan lain, dan dia perlu kembali mengambil arah kanan. Dia bisa saja mengambil jalan pintas dengan melewati lorong-lorong gelap yang memisahkan antar bangunan. Tapi dia mengurungkan ide itu karena lorong itu gelap dan sempit, juga kondisinya yang kotor, jadi dia memutuskan lebih baik mengambil jalan memutar.
Pada saat itu−
Di mencium bau samar yang sudah sangat dikenalnya, bau yang akhir-akhir ini sering dia rasakan. Dia memiliki ingatan buruk menyangkut hal ini, bau yang sudah pasti membawa pertanda bahaya − bau darah.
Semakin dia berjalan ke depan, dia semakin mencium aromanya. Itu berasal dari lorong gelap beberapa meter di depannya.
Langkah kakinya menjadi berat. Pemikiran konyol tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dia memiliki firasat buruk tentang hal itu. Jantungnya mulai berdetak kencang dan napasnya menjadi terengah-engah. Dia tidak mengerti kenapa dalam situasi itu dirinya tidak mencoba lari.
Anak itu seperti dirasuki rasa penasaran. Setelah sampai di depan lorong itu dia berhenti. Dia tidak bisa melihat apa pun karena sangat gelap. Dan bukannya menjauh, dia malah melangkah masuk ke dalam lorong.
Dengan enggan sambil berharap kalau perkiraannya salah, anak itu berjalan perlahan. Suasana sunyi membuat perasaannya tidak nyaman dan bau darah masih belum hilang. Bau itu malah semakin menguat dan terbawa ke arahnya oleh angin yang tertiup dari ujung lorong.
Meski begitu, dia tetap berjalan maju. Di setiap langkahnya dia berharap apa yang dia pikirkan tidak menjadi kenyataan.
Setelah beberapa langkah maju, dia berhenti... tidak, lebih tepatnya dia terpaksa menghentikan langkahnya.
Diterangi cahaya samar dari jalan di ujung lorong, dia dapat melihat seseorang berdiri dalam posisi menyamping.
Sekilas dia mengenali orang itu. Dia bertemu orang itu belum lama ini, orang yang beberapa saat lalu dia temui di minimarket.
Dalam penglihatannya, seorang wanita berumur tiga puluhan sedang tersenyum seolah-olah beban baru saja diangkat dari pundaknya.
Ada sesuatu menetes dari tangan wanita itu. Mata anak itu mengikuti arah tetesan itu. Dan apa yang dilihatnya di tanah adalah tubuh seseorang tergeletak tanpa bergerak. Genangan darah mengalir dari tubuhnya.
Pikiran konyolnya menjadi kenyataan, anak itu menyaksikan adegan seorang ibu membunuh anaknya. Dia terkejut dan menjatuhkan kantong belanjaan yang sedang dipegangnya.
Suara yang dibuat cukup keras untuk mencapai telinga wanita itu. Wanita itu menoleh ke asal suara, wajahnya terkejut tapi itu hanya terjadi sebentar.
Setelah mengetahui bahwa hanya seorang anak yang menyaksikannya, ekspresinya menjadi lebih tenang. Dan beberapa detik kemudian, dia menampilkan senyuman yang menyeramkan.
Anak itu mundur secara refleks. Dia bisa merasakan bahaya merambat di punggungnya. Rasa takut membuatnya tidak bisa bergerak.
Tubuhnya kaku dan kakinya gemetar. Dia merasakan detak jantungnya terasa melambat, dan dia tampak kehabisan napas.
Anak itu ingin berteriak tapi suaranya tidak mau keluar. Akalnya telah mati, dia mirip seperti mangsa yang telah disudutkan.
Pada saat itu−
Wanita itu mengarahkan telapak tangannya menghadap anak itu. Dari bagian tengah telapak tangannya, keluar benda yang mirip duri seukuran jari orang dewasa, dan dia menembakkan duri itu ke arah anak itu.
Duri itu terbang sangat cepat ke arahnya. Bidikannya meleset, hanya menyerempet pipinya dan meninggalkan luka selebar beberapa sentimeter.
"Eh ...?!" Sedikit perih bisa dirasakan anak itu. Dia menyentuh pipinya dengan tangannya, dan dia bisa merasakan darah segar mengalir keluar dari luka di pipinya.
Melihat anak itu sedang kebingungan karena tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi, tanpa mengatakan sepatah kata pun, wanita itu kembali menunjukkan senyuman jahatnya.
Lalu, setelah beberapa saat, dia mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan. Seperti dengan sengaja memberi tahu kalau dirinya sendiri yang mengacaukan akurasinya.
"Ugh ... hiiii ...! Pe-pergi, jangan mendekat!" Anak itu panik, tapi dia segera mendapatkan kembali pikirannya.
Wanita itu berjalan maju ke arahnya. Merasakan bahaya menghampirinya, anak itu tanpa berpikir dua kali langsung memutar tubuhnya dan berlari menjauh, ke arah tempat yang pernah dia lewati beberapa saat lalu.
Wanita itu mengejar dan mempercepat gerakannya, dia mulai berlari sambil membidik anak itu dengan tangannya dan menembakkan duri yang sama persis seperti sebelumnya.
Merasakan dingin di punggungnya, anak itu mempercayai instingnya, tanpa melihat ke belakang dia menghindar dengan melompat ke sisi kiri.
Duri dengan warna hitam seperti terbuat dari logam melesat ke tempat dia berlari sebelumnya. Dia tidak punya waktu untuk berhenti dan terkejut, dan dia memutuskan untuk terus berlari.
"Ini gawat ...!" Merasa jaraknya akan terkejar jika terus seperti ini, dia berpikir dengan cepat untuk mendapatkan solusi terbaik agar keluar dari situasi itu. Hasilnya−
Anak itu mengalirkan energi dari tubuhnya, dan dalam sekejap posisinya berpindah ke ujung lorong di depannya tampak seperti dia melakukan teleportasi ke sana.
Dia berhasil memperlebar sedikit jarak dengan wanita itu. Meski begitu, setelah dia menggunakan kekuatan itu dia terlihat seperti kehabisan napas. Tetapi, akhirnya anak itu kembali menemukan ketenangannya.
Di dunia ini terdapat kekuatan yang mirip dengan kekuatan supernatural yang disebut hells, seperti kekuatan yang digunakan oleh wanita dan anak itu. Dan pengguna kekuatan ini disebut sebagai hellser.
Untuk menggunakan hells, seseorang harus mampu mengendalikan energi dalam tubuhnya sebagai bahan bakar untuk mengaktifkan kekuatan itu. Energi itu dinamakan essence, dan energi itu bisa ditemukan mengalir di seluruh tubuh.
Wanita itu terkejut melihat apa yang terjadi, wajahnya menjadi terlihat bermasalah. Dia tidak menyangka anak itu cukup ahli menggunakan kekuatannya.
Hellser tidak memiliki tingkatan yang jelas, karena setiap orang memiliki kemampuan uniknya masing-masing. Tetapi, jika seseorang sudah bisa menggunakan kekuatannya tanpa ada jeda dari saat pengaktifan sampai kekuatan itu aktif maka orang itu sudah bisa dianggap sebagai hellser yang ahli.
Wanita itu menembakkan duri tanpa membutuhkan jeda waktu dari saat dia mengaktifkan kekuatannya sampai kekuatan itu terwujud, jadi dia termasuk salah satu hellser yang ahli, dan dia sepertinya sudah berpengalaman menggunakan kekuatannya.
Dari caranya yang tidak ragu menyerang anak itu, tampaknya ini bukan pertama kalinya dia menggunakan kekuatannya pada manusia.
Dia sempat terkejut dengan kemampuan anak itu, tapi melihat anak itu terengah-engah membuatnya kembali tenang.
Meskipun anak itu cukup mampu menggunakan kekuatannya, tapi secara fisik dia tetap hanya seorang anak. Ada batasan seberapa banyak seorang anak bisa mengeluarkan hells secara terus-menerus.
Karena hells bergantung pada essence yang ada di dalam tubuh, dan ada batasan seberapa banyak seseorang dapat menampung essence itu.
Seorang anak memiliki jumlah essence yang lebih sedikit dibandingkan orang dewasa, dan untuk seorang anak sepertinya mungkin paling banyak dua kali lagi dia bisa menggunakan hells-nya, itulah yang dipikirkan wanita itu.
Setelah anak itu kehabisan essence-nya, dia hanya perlu terus mengejarnya. Dan pada akhirnya, setelah anak itu kelelahan, dia akan bisa menangkapnya.
Jika sudah seperti itu, semuanya akan berakhir. Memikirkan hal itu membuatnya sekali lagi menunjukkan senyum yang menyeramkan.
Tapi wanita itu terlalu meremehkannya. Anak itu juga mengetahuinya, bahwa jika dia tertangkap maka tidak akan ada keselamatan baginya. Untuk itu dia mengerahkan semua upayanya untuk melarikan diri.
Dia bisa saja melawan balik wanita itu, tapi tindakannya akan sia-sia. Kekuatan setengah matang dari anak berusia delapan tahun tidak akan berpengaruh melawan seorang hellser berpengalaman.
Jadi dia sangat paham bahwa hal yang bisa dia lakukan saat ini hanya melarikan diri. Tapi sangat sulit melakukannya, apa lagi sambil terus menghindari duri yang ditembakkan wanita itu.
Sudah satu menit berlalu dan dia masih terus dikejar oleh wanita itu. Mereka berdua melapisi tubuh masing-masing dengan suatu aura yang melingkupi tubuh mereka untuk memperkuat kemampuan fisik mereka. Dengan cara itu, mereka bisa bergerak melebihi kecepatan normal saat berlari.
Selain hells, ada kekuatan lain yang disebut chi.
Chi adalah kekuatan yang aktif jika seseorang mampu mengendalikan aura kehidupannya dan mengubahnya menjadi kekuatan yang bisa meningkatkan kemampuan fisiknya.
Setiap orang dapat menggunakan chi dengan cara yang sama, misalnya untuk mempertajam penglihatan, memperkuat tubuh agar tidak mudah terluka, atau meringankan tubuh agar bisa bergerak dengan lebih cepat.
Anak itu sampai di persimpangan jalan, dia memilih berbelok kanan ke jalan yang menuju arah ibukota kerajaan. Dia membuat pilihan itu dengan berasumsi bahwa jalan itu akan lebih banyak dilalui orang, sehingga wanita itu menjadi ragu untuk mengejar.
Wanita itu ikut berbelok, tapi kecepatannya melambat karena tikungan sehingga memperlebar jaraknya dengan anak itu.
Sementara anak itu di sepanjang jalan terus-menerus menggunakan kekuatannya untuk memperlebar jarak mereka.
Wanita itu tampak marah karena perkiraannya salah, dan anak itu masih bisa menggunakan hells-nya. Dia tertinggal jauh di belakangnya, dan kecerobohannya membuat anak itu memiliki kesempatan untuk mengecohnya dengan memotong jalan melewati lorong-lorong gelap.
Dia terus keluar masuk lorong gelap dan bergerak dalam pola acak yang bertujuan agar wanita itu kehilangan jejaknya.
Setelah merasa wanita itu tertinggal cukup jauh dan tidak terlihat lagi, dia masuk ke sebuah bangunan yang tampaknya sudah tidak terpakai. Anak itu masuk ke dalam dan bersembunyi di salah satu ruangan.
Dan akibat dari tekanan yang berasal dari kejadian itu membuatnya tetap terjaga sampai pagi.
"Ah sial, aku lapar!" Anak itu merasakan perutnya mulai sakit.
Matahari memang sudah terbit tapi udara dari luar yang masuk lewat celah jendela ruangan yang rusak masih terasa dingin.
"Aku ingin kembali ke rumah .... Apa salahku, kenapa aku selalu bertemu dengan orang semacam itu?" Anak itu merenung sejenak, kemudian melemparkan pertanyaan kosong karena merasa putus asa.
Kali ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan seorang pembunuh seperti itu.
Anak itu sedang melakukan perjalanan ke berbagai negara dengan tujuan belajar berbagai hal. Keluarganya menamakan kegiatan itu sebagai 'belajar tentang masyarakat', dan merupakan tradisi yang harus dilakukan seorang anak dalam keluarganya saat sudah berusia tujuh tahun.
Butuh dua tahun baginya untuk bertahan di dunia luar sebelum dia diperbolehkan kembali ke rumahnya.
Tapi, setiap kali dia mengunjungi suatu kota, dia selalu bertemu dengan penjahat keji yang melakukan kejahatan seolah hal yang wajar.
Dia bahkan pernah terlibat dengan pembunuh berantai dan tertusuk pisau di perutnya, tapi untungnya nyawanya saat itu masih bisa diselamatkan.
Dia tidak ingin lagi merasakan sakit seperti saat itu. Meski sekarang dia juga terluka di pipinya, tapi lukanya yang sekarang tidak seberapa dibandingkan lukanya saat itu.
Anak itu menggertakkan giginya, dia saat ini merasa sangat marah. Tapi dia masih bisa menahan dirinya dari berteriak.
Bertemu penjahat di setiap tempat yang dia kunjungi, terasa seolah-olah keluarganya menggiring dia ke arah mereka. Tapi itu hanya pendapatnya yang dia buat secara emosional tanpa dasar yang masuk akal.
Pada awalnya, ketika kakaknya, yaitu satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa mengatakan bahwa dia perlu melakukan perjalanan ke berbagai negara sebagai tradisi dalam keluarganya. Hal pertama yang terpikirkan olehnya adalah bahwa perjalanannya akan menyenangkan karena dia bisa belajar banyak hal baru dan bertemu dengan banyak orang baru.
Dia memang belajar banyak hal baru dan bertemu dengan banyak orang. Tetapi, lewat pengalamannya setelah dua tahun melakukan perjalanan, semua kesannya tentang dunia yang selama ini ada di kepalanya benar-benar dijungkir balikkan.
Kesan negatifnya tentang makhluk yang dikenal sebagai manusia menguat, bahkan lebih kuat dari pada semangatnya untuk belajar hal baru.
Dan puncaknya adalah hari ini saat seharusnya perjalanannya akan selesai, dia malah bertemu seorang wanita yang membunuh anak perempuannya.
Anak itu menggelengkan kepalanya, terasa sangat bodoh jika dia menyalahkan keluarganya, terlebih dia mengalami semua itu karena nasib sialnya sendiri.
Dia selalu berpikir bahwa dunia yang dia tinggali saat ini adalah dunia yang damai, yang dipenuhi kebahagiaan seperti taman dengan banyak bunga-bunga. Jadi, jika dia menyalahkan keluarganya, dia hanya seperti melarikan diri demi kenyamanannya dengan dalih sebagai korban, dan dia hanya ingin mempertahankan ekspektasinya yang semula tentang dunia.
Meski dia masih tidak ingin mempercayainya, tapi dia memaksa dirinya untuk menerima kenyataan, bahwa tempat yang dia tinggali saat ini bukan dunia yang damai, tapi dunia tanpa keselamatan. Dan agar bisa bertahan di dunia ini dia membutuhkan kekuatan. Dia harus melindungi keluarga dan tempat tinggalnya.
Pada momen ini anak itu membuat keputusannya, bahwa setelah dia kembali ke rumahnya dia akan berlatih untuk menjadi lebih kuat. Anak yang kehilangan minatnya untuk belajar akhirnya bisa mendapatkan semangat belajarnya kembali.
Tapi pertama-tama dia perlu keluar dari bangunan itu dan pergi ke penginapannya. Dia juga masih harus menghindari kejaran wanita itu.
Tapi jika dia berhasil sampai ke penginapannya maka dia akan aman karena di sana pasti sudah ada pelayan keluarganya yang menunggu. Dia bisa meminta mereka mengatasi perempuan itu, atau meminta pelayannya untuk melapor pada petugas keamanan.
Mata bocah itu kembali dipenuhi tekad. Dia berdiri dan mulai berjalan ke tengah ruangan.
Hanya saja−
Suara langkah kaki terdengar di luar ruangan. Itu adalah bangunan yang tidak terpakai, tidak mungkin seseorang tanpa sengaja masuk ke dalam.
Anak itu kembali kehilangan ketenangannya, dia sudah membayangkan siapa yang datang.
Bahkan sebelum anak itu bisa menyiapkan mentalnya, pintu ruangan dibuka dengan paksa, sehingga memaksa meja yang menahan pintu itu untuk ikut bergerak.
Kemudian, anak itu bisa melihat seseorang yang dikenalnya berdiri di ambang pintu.
***