Setelah mengurus ketiga jasad–istri dan kedua putranya, Ki Ageng Raksanagara kembali melanjutkan perjalanan hingga ke puncak gunung Kalingking. Namun, dalam perjalanan itu, ia dihadang oleh pria berjubah hitam dan berwajah tampan yang menamakan diri sebagai Syaikh Maliki.
Syaikh Maliki meminta Ki Ageng Raksanagara untuk tinggal di bawah saja, dan tidak boleh naik ke atas puncak, hal tersebut berkaitan dengan adanya larangan manusia untuk menginjakkan kaki di puncak gunung itu.
Ki Ageng pun mematuhi perkataan Syaikh Maliki dan ia pun dijanzikan akan mendapatkan ilmu laduni oleh pria tampan itu.
Hingga pada akhirnya, Ki Ageng menetap di bawah gunung Kalingking dan membangun tempat tinggal serta pemondokan untuk belajar ilmu agama dan kanuragan. Secara tidak disadari ia mendapatkan ilmu laduni yang didapatkan dari Syaikh Maliki.
Beberapa tahun setelah mendirikan pondok di tempat tersebut, Ki Ageng tidak mempunyai satu pun murid dari bangsa manusia. Semua murid yang berguru kepadanya merupakan berasal dari jin yang ada di seluruh pelosok kerajaan Alengkara.
Lima tahun kemudian, setelah Ki Ageng Raksanagara menetap di tempat itu, ada seorang pemuda dari bangsa manusia yang tersesat dan datang tanpa sengaja ke tempat tersebut.
Dia mempunyai cita-cita yang sangat tinggi hendak menjadi seorang kesatria pilih tanding yang bisa menguasai dunia persilatan.
Sejatinya, Ki Ageng Raksanagara sudah mengetahui niat pemuda itu, yang datang hanya ingin mendapatkan ilmu kesaktian saja. Akan tetapi tidak akan dipergunakan dalam kebajikan.
Namun, karena Ki Ageng Raksanagara tidak ingin melanggar sumpah yang pernah ia ucapkan, dengan berat hati ia pun mengajarkan ilmu bela diri terhadap pemuda tersebut.
Namun, Ki Ageng Raksanagara tidak sepenuhnya mengajari semua ilmu yang ia miliki kepada pemuda itu, karena Ki Ageng Raksanagara sudah tahu bahwa pemuda itu tidak berniat baik untuk memanfaatkan ilmunya kelak di kemudian hari.
Mendengar penuturan dari orang tua itu, Gentar sedikit merasa tidak mengerti. Lalu, ia pun berkata kepada Ki Ageng, "Guru tahu, pemuda itu adalah seorang pemuda tidak benar. Tapi, mengapa Guru mengajarinya ilmu kesaktian?" tanya Gentar di sela perbincangannya dengan Ki Ageng.
Gentar bingung dan tidak paham dengan keputusan Ki Ageng, yang dengan mudah memberikan ilmu kepada orang yang jelas sudah diketahui niat kejahatannya.
Tersenyumlah pria berusia senja itu, seraya menjawab pertanyaan dari Gentar, "Aku mengajarkan sebagian kecil ilmuku kepada pemuda itu. Semata-mata, karena aku tidak ingin melanggar sumpahku."
"Karena menurut Islam janzi merupakan sebagian hutang dan hutang tersebut sangat wajib untuk dibayar. Meskipun hanya sebuah ucapan dalam hati, namun Allah maha tahu," sambung Ki Ageng penuh kebijaksanaan.
Gentar pun mulai memahami apa yang jadi keputusan Ki Ageng, ia sangat kagum akan kebijaksanaan yang dimilik oleh guru barunya itu.
Dalam benaknya berpikir, "Aku tidak sia-sia datang ke tempat ini dan bertemu dengan seorang guru yang baik dan berbudi luhur ini."
Apa yang dimaksud oleh Ki Ageng itu adalah seorang pemuda yang bernama Bayu Gatra. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Bayu Gatra pamit kepada Ki Ageng Raksanagara dan langsung pulang dengan berbekal ilmu kanuragan yang ia miliki dan ia pelajari selama tinggal bersama Ki Ageng di pondok tersebut.
Akan tetapi, ilmu kesaktiannya itu tidak ia pergunakan dengan baik. Bayu Gatra berubah menjadi pendekar angkuh dan buas. Bahkan saat ini pun ia sudah membelot dari kerajaan Alengkara dan mendapat gelar senapati di kerajaan Ramakarta yang merupakan musuh kerajaan Alengkara tanah tumpah darahnya.
Gentar menengadahkan wajah, mendengarkan cerita dari Ki Ageng Raksanagara, ia tidak membenarkan keputusan orang tua itu, maka lantas Gentar pun berkata, "Keputusan itu, menurutku sangat bahaya Guru. Apa Guru tidak takut jika ilmu yang Guru berikan kepada Bayu Gatra, lantas dipergunakan semena-mena?"
"Kalau aku tidak seperti itu, bagaimana bisa aku menunaikan janzi yang pernah aku ucapkan. Sedangkan pemuda itu adalah orang pertama yang datang ke sini," kata Ki Ageng menjawab pertanyaan Gentar dengan entengnya.
Kalimat yang ia ucap nyeleneh, namun sangat penuh kebijaksanaan. Meskipun, muridnya sudah mengingkari janzi dan tidak memanfaatkan ilmu yang ia ajarkan untuk kebajikan. Akan tetapi, Ki Ageng Raksanagara tetap menganggap pemuda itu seakan-akan utusan malaikat yan datang dan menemaninya dikala sepi dan hampa dalam suasana asing di bawah kaki gunung Kalingking.
Gentar sebaliknya merasa gusar, ia anggap bahwa Ki Ageng Raksanagara seperti kurang waras pikirannya. Berkatalah Gentar dalam hati, "Aku rasa tindakan Ki Ageng sangatlah nyeleneh seperti tidak punya kewarasan dalam bertindak."
Ki Ageng Raksanagara mengamati Gentar dan ia pun tertawa, "Ha ... ha ... ha ...."
Ki Ageng Raksanagara pun berkata, "Gentar, kau berpikir aku ini kurang waras, bukan?" Ki Ageng Raksanagara seperti mengetahui apa yang dipikirkan oleh Gentar.
Lalu, Ki Ageng Raksanagara berkata lagi, "Aku beritahu padamu, jika tidak ada orang jahat, bagaimana bisa ada orang baik? Jika tidak ada kejahatan bagaimana bisa ada kebenaran? Dengan munculnya kejahatan orang itu, justru dapat digunakan sebagai cambuk bagi para pendekar di dunia persilatan yang sudah tidak karuan keadaannya, supaya mereka insyaf dan mencari kemajuan. Lagi pula, aku seorang guru yang sudah dapat menjadikan Bayu Gatra sakti meskipun ia harus menjadi seorang pendekar jahat nomor satu di dalam dunia persilatan ini."
Gentar mengerutkan keningnya dan termangu memandangi wajah gurunya.
"Lantas, siapakah yang kelak akan mengalahkan Bayu Gatra?" tanya Gentar diselimuti rasa penasaran yang tinggi dalam benaknya.
Ternyata, jawaban dari Ki Ageng Raksanagara sangat mengejutkan bagi Gentar, "Kaulah orangnya, yang kelak akan menjadi seorang pendekar kuat yang dapat membasmi keangkaramurkaan!"
Gentar terkejut dan segera protes, jiwanya tak lantas terhanyut akan ucapan yang dilontarkan oleh Ki Ageng Raksanagara, "Guru! Aku ini baru mau belajar dan aku pun tidak tahu apakah aku bisa jadi murid terbaik bagimu atau sebaliknya?" Kedua alisnya terangkat tinggi dua bola matanya pun tak berkedip memandang wajah Ki Ageng Raksanagara yang terkekeh-kekeh sembari duduk bersila di hadapannya.
"Kau jangan khawatir, sudah tentu aku ini akan mendidikmu dengan baik dan bisa menjadikan dirimu sebagai pendekar pilih tanding!" kata Ki Ageng tak hentinya menggulirkan butir tasbih dalam genggamannya.
"Dalam waktu tiga bulan kau akan menjadi pendekar terkuat," sambung Ki Ageng Raksanagara menegaskan.
Gentar mengerutkan keningnya merasa heran dengan ucapan Ki Ageng Raksanagara, "Benarkah, Guru? Dalam waktu sesingkat itu aku mampu menjadi seorang pendekar?" tanya Gentar diselimuti kabut keraguan.
Gentar merasa ragu dikarenakan ia tidak mengerti sama sekali terhadap ilmu silat. Karena itu, Gentar merasa tidak yakin. Dalam waktu tiga bulan apakah ia mampu berlatih untuk jadi seorang pendekar tangguh?
*