Chereads / Gentar Almaliki / Chapter 5 - Pertarungan Gentar dengan Manusia Harimau

Chapter 5 - Pertarungan Gentar dengan Manusia Harimau

Ki Ageng Raksanagara tersenyum dan berkata lagi, meyakinkan jiwa gundah yang dialami Gentar, dan berusaha untuk membangkitkan rasa kepercayaan diri murid barunya itu, "Ya, tiga bulan aku rasa cukup untukmu mendapatkan ilmu Kanuragan, dan kalau untuk kepandaian ilmu agama, jelas tidak ada ujungnya!" tegas Ki Ageng Raksanagara.

"Apakah kau sudah meminum sari buah kurma dan sudah memakan ramuan tradisional kembang Wijaya Kusuma yang direbus setelah kering?" sambung Ki Ageng bertanya.

"Belum, Guru. Namanya pun aku baru tahu, seperti apakah kembang Wijaya Kusuma itu?"

"Nanti malam, kau segera persiapkan diri mandi suci di air terjun yang ada di bawah kaki gunung Kalingking, setelah itu akan aku beri minuman sari buah kurma dan kembang Wijaya Kusuma!"

Gentar belum dapat memahami ucapan gurunya itu, namun ia tetap mengangguk dan akan segera melaksanakan titah sang guru. Apa pun kemungkinan yang terjadi, dikarenakan ia sungguh-sungguh dan mempunyai tekad yang bulat untuk mempelajari dasar ilmu yang hendak diajarkan oleh Ki Ageng Raksanagara.

"Apakah kau siap?" tanya Ki Ageng Raksanagara memandang tajam wajah murid barunya itu.

"Ya, aku siap, Guru," tandas Gentar.

"Baiklah, jika dalam ritual pensucian diri, kau mendapatkan serangan dari makhluk tak kasat mata, aku harap kau jangan kaget. Hadapi mereka dan lawan mereka sesuai kemampuan dirimu!" kata Ki Ageng tersenyum-senyum.

Apa yang dikatakan Ki Ageng sungguh membuat Gentar penasaran, "Apakah aku akan mati jika tidak dapat mengalahkan mereka?" Sepasang bola matanya menatap tajam pria tua yang duduk santai di hadapannya, terlukis berjuta rasa penasaran yang membelenggu jiwa dan pikiran pemuda lugu itu.

"Untuk mendapatkan ilmu dan kekuatan dalam diri, itulah tantangan yang harus kau hadapi. Tentu, kau akan binasa jika tidak mampu mempertahankan diri," jawab pria tua itu.

Gentar sedikit merasa khawatir akan hal itu. Namun, dikarenakan dorongan kuat dalam dirinya. Kemudian, jiwanya pun ditumbuhi rasa keberanian yang tiba-tiba bangkit, maka Gentar pun berkata, "Insya Allah, aku sanggup melaksanakan ritual itu dan aku akan melawan jika ada jin yang menggangguku."

"Baiklah, kalau seperti itu. Tahapan pertama sudah kau setujui tinggalah melangkah ke tahap berikutnya," pungkas Ki Ageng Raksanagara.

Kemudian, ia bangkit dan melangkah mendekati Gentar yang diam termangu, "Kau akan lebih hebat daripada aku," bisik Ki Ageng Raksanagara.

"Selepas menjalankan Salat Isya nanti, kita berangkat ke air terjun!" kata Ki Ageng Raksanagara.

Gentar mengerutkan keningnya. Lalu, bertanya kepada gurunya itu, "Air terjun, Guru?"

"Ya!" jawab Ki Ageng singkat.

Di manakah letak air terjun itu, Guru?" Gentar tampak penasaran karena ia belum tahu bahwa di tempat tersebut terdapat sebuah air terjun.

"Di hutan yang ada di sebelah timur dari pondok ini!" jawab Ki Ageng tersenyum-senyum.

"Sekarang, kau bergabunglah dengan teman-temanmu!" kata Ki Ageng.

Ucapannya sangat membingungkan Gentar. Tak ada satu pun orang yang ia lihat di pondok tersebut, terkecuali hanya dirinya dan Ki Ageng sendiri yang berada di pondok itu.

"Aku harus berkenalan dan bergabung dengan siapa, Guru? Sementara di tempat ini hanya kita berdua saja?" Gentar mengangkat alis tinggi dan bola matanya bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.

"Mendekatlah!" kata Ki Ageng melambaikan tangan ke arah Gentar.

Gentar langsung menggeser posisi duduknya lebih mendekat kepada Ki Ageng Raksanagara. Ki Ageng segera meniup ibu jarinya dan ditempel ke bagian kelopak mata Gentar, "Pejamkan matamu baca syahadat tiga kali dan takbir tiga kali!" perintah Ki Ageng lirih.

"Iya, Guru." Gentar segera melaksanakan perintah Ki Ageng membaca syahadat tiga kali dan takbir sebanyak tiga kali. Kemudian, Gentar membuka matanya.

Gentar sungguh terkejut, ketika melihat wara-wiri para pemuda seusia dengannya. Ada banyak ratusan pemuda sedang berlatih silat dan juga ada sebagian di antara mereka sedang duduk-duduk santai sembari menghafal Al-Qur'an.

"Siapakah mereka, Guru?" tanya Gentar diselimuti rasa penasaran tinggi.

Ki Ageng Raksanagara tertawa kecil melihat sikap Gentar yang tampak terkesima itu. Ki Ageng pun menyeru, "Bergabunglah dengan mereka dan berkenalanlah. Mereka adalah muridku sama sepertimu, mereka bangsa jin Muslim yang menimba ilmu di pondok ini!"

Tampak kerutan di kening Gentar semakin dalam, "Guru yakin, mereka tidak akan melukai aku?" tanya Gentar penuh kekhawatiran.

Ki Ageng hanya tersenyum dan berpaling ke arah dua pemuda tampan yang sedang duduk santai di beranda pondok tersebut.

"Jaber! Ikhsan!" panggil Ki Ageng mengarah kepada kedua pemuda itu.

Kedua pemuda itu, segera bangkit dan menyahut panggilan Ki Ageng, "Iya, Guru."

"Kemarilah!" Ki Ageng melambaikan tangan ke arah dua pemuda tampan itu.

Jaber dan Ikhsan segera melangkah menghampiri Ki Ageng, mereka mencium tangan Ki Ageng penuh keramahan dan bersikap ajrih (sopan). Kemudian, Ki Ageng Raksanagara memperkenalkan Gentar kepada kedua muridnya itu.

Mereka pun langsung berkenalan dan mengajak Gentar untuk ikut, sekadar berkeliling pondok dan memperkenalkan Gentar kepada murid-murid lainnya yang hampir keseluruhan murid-murid yang ada di pondok tersebut merupakan bangsa jin yang menimba ilmu di padepokan Ki Ageng Raksanagara.

***

Selepas menjalankan Salat Isya berjamaah bersama para murid yang ada di pondok tersebut, Gentar bersama Ki Ageng Raksanagara segera berangkat ke sebuah air terjun yang ada di bawah kaki gunung Kalingking.

Malam itu ia hendak melakukan tirakat mandi suci dan melakukan ritual serta dzikir memulai persyaratan agar dapat menerima ilmu dari Ki Ageng Raksanagara dengan sempurna.

Sebuah air terjun yang berada di tempat yang begitu sunyi dan menyeramkan, di tengah hutan di bawah gunung yang sangat terkenal akan keangkerannya.

Orang biasa tidak mungkin akan sanggup berada di tempat yang jauh dari keramaian itu, bahkan berada di kedalaman rimba yang masih belum dijamah oleh manusia selain Ki Ageng Raksanagara.

Setibanya di tempat tersebut, Gentar langsung menggelar sebuah tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan sebagai tempat untuknya dalam melaksanakan ritual tersebut.

Berbekal keyakinan yang kuat dan besarnya keikhlasan dalam dirinya, menjadikan Gentar berani melakukan hal itu. Meskipun harus menyepi barang semalam di tempat sunyi itu, Ganjar tempuh semata-mata untuk mempermudah proses belajar ilmu kanuragan sesuai anjuran dari Ki Ageng Raksanagara.

"Kau nyalakan lenteranya!" kata Ki Ageng lirih.

"Baik, Guru." Gentar segera menyalakan lentera dengan menggunakan pemantik api tradisional yang ia bawa dari pondok. Karena lentera yang satu lagi akan dibawa pulang kembali oleh Ki Ageng Raksanagara.

"Bismilah dan yakin! Insya Allah, kau akan menemui petunjuk dari Allah SWT!" ucap Ki Ageng memberikan motivasi untuk muridnya itu.

"Insya Allah, Guru," jawab Gentar penuh rasa hormat kepada gurunya itu.

Setelah itu, Gentar diperintah untuk mandi di telaga kecil yang di atasnya terdapat air terjun yang sangat indah dan menakjubkan.

*