Chereads / Gentar Almaliki / Chapter 8 - Tujuh Keris Pusaka Menyatu dalam Tubuh Gentar

Chapter 8 - Tujuh Keris Pusaka Menyatu dalam Tubuh Gentar

Singkat cerita...

Tidak terasa satu tahun telah dilewatkan, Gentar di bawah ajaran dan gemblengan

Ki Ageng Raksanagara sudah berhasil mewarisi seluruh kepandaiannya orang tua yang sangat tekun dalam ibadah itu. Ditambah dengan ilmu yang ia dapatkan dari Syaikh Maliki.

"Gentar!" panggil Ki Ageng Raksanagara.

"Iya, Guru." Gentar bangkit dan segera masuk ke dalam padepokan tersebut untuk menghampiri Ki Ageng Raksanagara yang sudah duduk bersila di atas tikar pandan.

"Ada apa, Guru?" bertanya pemuda itu dengan penuh rasa penasaran.

"Duduklah!" pinta Ki Ageng lirih.

Gentar pun segera duduk di hadapan gurunya itu, dalam benaknya berpikir, "Apa yang hendak guru sampaikan kepadaku, hingga tampak seperti penting sekali?"

Ki Ageng Raksanagara tersenyum memandang wajah Gentar yang selama hampir satu tahun ikut bersamanya di padepokan tersebut.

Kemudian, Ki Ageng Raksanagara mengeluarkan sebilah pedang pusaka, dan pedang tersebut langsung ia berikan kepada Gentar, seraya berkata, "Gentar, aku sudah menjadikan kau sebagai seorang pendekar yang mempunyai ilmu bela diri tinggi. Sekarang kau harus melakukan sesuatu untuk aku. Ingat, di antara kita berdua hanya saling tukar menukar kepentingan masing-masing saja, tidak ada bicara soal guru dengan murid. Kau boleh menjadi penggantiku, tapi bukan muridku!"

Gentar terus memandangi wajah gurunya, sejatinya ia tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Ki Ageng Raksanagara.

Entah apa maksud yang diucapkan oleh Ki Ageng Raksanagara? Orang tua itu tersenyum dan menepuk pundak Gentar perlahan. Lalu ia berkata sambil tertawa terbahak-bahak.

"Berangkatlah! Kau adalah seorang pendekar terkuat di muka bumi ini. Kau adalah pendekar muda yang akan menjadi seorang petinggi istana, seluruh pendekar akan tunduk dan menghormatimu!" Ki Ageng kemudian menyerahkan secarik kertas putih kepada Gentar

Ki Ageng Raksanagara merasa bangga dengan usahanya yang sudah berhasil mencetak seorang pemuda biasa yang menjelma menjadi seorang pendekar kuat dan mempunyai keilmuan tinggi. Itu merupakan satu pencapaian tinggi dalam dunia persilatan.

Ki Ageng Raksanagara tertawa kecil sambil mengelus-elus jenggotnya yang berwarna perak itu. Kemudian ia berkata lagi,

"Kau harus berangkat ke suatu tempat, serahkan surat itu kepada seorang wanita yang bernama Sri Wulandari, untuk membereskan persengketaan yang terjadi beberapa tahun lalu!" tutur Ki Ageng berhenti sejenak sambil mengunyah daun sirih yang dicampur, kapur, potongan buah Jambe dan bahan lainnya.

Lantas, ia melanjutkan kembali pembicaraannya, "Sri Wulandari bukan sekadar wanita biasa. Ia adalah seorang pendekar wanita yang sakti dan sudah banyak melakukan kejahatan di muka bumi."

"Di manakah Sri Wulandari berada, Guru?" tanya Gentar.

"Desa Caringin yang berada di wilayah kerajaan Alengkara," jawab Ki Ageng lirih.

Kemudian, Ki Ageng kembali berkata.

"Ingat! Ini adalah tugas pertama yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau harus sabar jika sudah bertemu dengan wanita itu, jika dia berusaha hendak membinasakanmu. Maka, darahnya akan halal untuk kau bunuh, kita punya tanggung jawab dan akan berdosa besar jika membiarkan wanita itu melakukan tidak kejahatan yang semena-mena!"

Gentar mengamati lipatan kertas kasar yang merupakan sebuah surat yang hendak diserahkan kepada Sri Wulandari.

"Aku akan menyampaikan surat ini, Guru jangan khawatir!" Lalu Gentar memasukan kertas itu ke dalam saku bajunya, tanpa ragu-ragu ia berkata lagi, "Muridmu ini pasti akan mematuhi pesan yang sudah guru sampaikan!"

Orang tua itu memandangnya sejenak, kembali mengarah kepada pedang pusaka yang sudah ia serahkan kepada Gentar, seraya berkata dengan sikapnya yang sungguh-sungguh.

"Pedang pusaka ini, pernah menjadi suatu benda yang diperebutkan oleh banyak pendekar dari berbagai paguron di dunia persilatan. Pedang ini adalah barang peninggalannya Syaikh Maliki yang sudah banyak memberikan wejangan dan ilmu kepadamu dengan perantara jasadku!" terang Ki Ageng menuturkan.

Gentar meraih pedang tersebut dan mengamati bentuk dan ukiran pedang pusaka itu. Kemudian, Gentar Bertanya, "Pedang pusaka ini apa namanya, Guru?"

"Pedang sakti Almaliki. Untuk mendapatkan pedang pusaka ini, aku harus mengasah otak dan menggunakan banyak tenaga hingga mendapatkannya," jawab Ki Ageng tersenyum lebar memandang wajah Gentar.

Gentar berdecak kagum ketika mengetahui ada kekutan gaib yang tersimpan di dalam pedang pusaka itu. Pedang itu berdiri tegak dengan sendirinya, ketika Ki Ageng membaca sebuah ayat Alquran sambil meluruskan pandangannya ke arah pedang pusaka Almaliki.

"Peganglah dan keluarkan pedang itu dari selongsongnya!" perintah Ki Ageng lirih.

Dengan penuh kehati-hatian, Gentar langsung meraih pedang tersebut dan segera mengeluarkan pedang itu dari selongsongnya.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gentar.

Tampak sebuah sinar terang memancar dari badan pedang pusaka itu. Gentar sedikit kaget dan merasa takjub akan pemandangan yang ia lihat kala itu.

Gentar berdecak kagum melihat bukti nyata dari sangarnya pedang pusaka itu. Pedang pusaka Almaliki memiliki sederet keindahan dari bentuk fisiknya, dan juga mempunyai banyak kandungan energi gaib di dalamnya.

Pemilik pedang tersebut dapat mengendalikannya dari jarak jauh.

Tapi kemudian Gentar berpikir, sekalipun ia bisa mengendalikan pedang pusaka itu. Namun, ia harus tetap menjaga diri agar tidak menggunakan pedang pusaka tersebut dengan sewenang-wenang.

Ki Ageng Raksanagara terus memberikan wejangan kepada Gentar Almaliki, sebelum pemuda itu berangkat dalam melaksanakan tugas darinya. Selama mendengarkan penuturannya dari gurunya, Gentar tidak bergerak sedikit pun dari posisi duduknya.

Gentar sangat patuh dan senantiasa mengikuti apa yang dikehendaki oleh gurunya. Karena, ia yakin bahwa Ki Ageng Raksanagara tidak mungkin menajarkan atau memerintahkan sesuatu yang tidak baik terhadap dirinya.

Dengan demikian, Ki Ageng Raksanagara sangat menyayangi Gentar dan mempercayai pemuda itu sepenuh hati.

"Apakah aku boleh kembali ke sini, jika sudah selesai menjalankan tugasku ini, Guru?" bertanya Gentar sambil memandangi wajah gurunya.

"Boleh! Ini adalah rumahmu, dan aku adalah orang tuamu!" tandas Ki Ageng Raksanagara tersenyum-senyum memandangi wajah Gentar yang tampak mendung.

Seakan-akan, Gentar Almaliki sedang mengalami kesedihan yang mendalam. Semenjak ditinggal oleh orang-orang yang sangat ia cintai, Gentar sudah tidak dapat lagi merasakan kasih sayang sesama manusia. Hanya penderitaan dan siksaanlah yang ia rasakan kala itu. Hingga pada akhirnya, ia menemukan orang yang sangat menyayanginya.

Dalam kurun waktu satu tahun ini, Ki Ageng Raksanagara selalu mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya terhadap Gentar layaknya kepada anak sendiri. Hal tersebut, membuat Gentar lebih mengenal sifat manusia, ternyata tidak semua manusia berlaku kejam terhadap dirinya.

Hari itu, Gentar tak kuasa menahan rasa sedih yang sedari tadi membubung menyelimuti jiwa dan perasaannya. Sejatinya, ia benar-benar tidak rela jika harus pergi meninggalkan Ki Ageng yang sudah berbaik hati kepadanya. Tidak terasa bulir bening menetes membasahi wajah tanpa ia sadari, jiwanya larut dalam kesedihan. Ini adalah pertama kalinya Gentar meneteskan air mata, meskipun di masa lalu ia selalu dihadapkan dengan persoalan hidup yang penuh penderitaan. Akan tetapi baru hari itu ia menangis sedemikian sedihnya.

*