Gentar sudah tak kuat lagi dalam melakukan perjalanan, ia merasa lelah dan sekujur tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan.
Kemudian, ia pun terjatuh dan tidak sadarkan diri terpuruk di bawah pohon besar yang ada di hutan tersebut.
Keesokan harinya, Gentar terbangun karena kepanasan tersorot sinar matahari yang menerobos ke celah-celah dedaunan pohon-pohon yang ada di hutan itu.
Gentar saat itu sudah merasa tidak sanggup lagi menahan rasa haus dan laparnya yang semakin terasa. Lalu, ia pun bangkit dan mengamati seputaran hutan itu, berjalan tertatih-tatih mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Perlahan, ia melangkah ke arah bibir tebing, dilihatnya sebuah pohon yang tumbuh subur dengan batang dan tangkainya mengarah ke jurang tersebut.
"Alhamdulillah, aku rasa itu merupakan buah yang dapat aku makan untuk mengurangi rasa lapar ini," bisik Gentar tersenyum-senyum.
Akan tetapi, ia pun terheran-heran. Karena melihat sekelompok kera yang hinggap di pohon itu. Namun, tak satu pun di antara mereka yang berani memakan buah tersebut. Lantas, Gentar pun mulai menduga, "Aku rasa, itu merupakan buah yang beracun, sehingga kera-kera itu tidak mau memakannya?" desis Gentar.
Gentar menghela napas dalam-dalam, kemudian ia duduk di bawah pohon yang tidak jauh dari jurang tersebut. Bola matanya terus mengamati buah-buahan segar yang menggiurkan itu. Maka dalam hatinya pun berkata, "Daripada aku harus mati kehausan dan kelaparan, lebih baik aku makan saja buah yang beracun itu, supaya aku segera mati."
Ia bangkit dan segera melangkah mendekati pohon tersebut, Gentar merangkak dan meraih buah-buahan segar itu. Ia tak peduli meski di bawahnya merupakan jurang yang terjal.
Setelah berhasil memetik buah segar tersebut, ia kembali merangkak turun dari pohon itu.
"Kalau pun buah ini beracun aku pasti akan segera mati. Jika aku masih hidup itu adalah keajaiban Allah," kata Gentar segera memakan buah-buahan segar itu.
Bibirnya tidak merasa ada keanehan dari rasa buah yang ia makan itu, Gentar berkeyakinan buah itu bukanlah merupakan buah yang beracun seperti yang ia duga sebelumnya. Saking laparnya, dalam waktu sekejap Gentar sudah menghabiskan enam butir buah tersebut.
"Alhamdulillah, aku sudah kenyang," ucap Gentar melempar sisa buah tersebut yang hanya tinggal satu kepada sekelompok kera yang ada di hadapannya.
Akan tetapi kera-kera itu enggan untuk memakan buah tersebut, dan mereka tampak tidak menghiraukan, meskipun sudah dilempari buah itu oleh Gentar.
Melihat pemandangan seperti itu, Gentar merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, "Buah ini sangatlah enak, manis dan segar. Tapi, kenapa kera-kera itu tidak mau menyantapnya?" desis Gentar mengerutkan kening.
Ia merasa ada kejanggalan menyaksikan pemandangan seperti itu. Pikirannya pun kembali menyeruak akan adanya kandungan racun dari buah yang baru ia makan.
Beberapa saat kemudian, perutnya terasa panas dan kepalanya pun mulai terasa pusing tujuh keliling. Keringat dingin pun mulai bercucuran.
"Ya Allah, ternyata racunnya mulai bereaksi," kata Gentar panik dan mulai merasakan lemas di sekujur tubuhnya.
Dalam kondisi seperti itu, ia hanya bisa pasrah menantikan keajaiban dan pertolongan Allah.
Gentar merasa menyesal dan sedih.
"Harusnya aku berpuasa dan tidak memakan buah beracun itu," ucap Gentar penuh penyesalan.
Yang hadir dalam benak pemuda itu, bukanlah menyesali akan kematian dirinya. Akan tetapi, ia justru akan lebih menyesal jika di kemudian hari tidak dapat mewujudkan cita-cita dan keinginannya yang selama ini ia harapkan.
Beberapa menit kemudian, di saat Gentar merangkak dan berusaha untuk bangkit. Tiba-tiba terdengar suara pria paruh baya, "Anak muda, apakah kau ingin mati?"
Gentar terkejut dan sangat kaget mendengar suara tersebut. Entah dari mana suara itu berasal? Kemudian, suara itu terdengar kembali dan seperti berasal dari samping kirinya.
Gentar berpaling ke arah kiri, ternyata ada seorang pria paruh baya berdiri dengan tatapan tajam ke arahnya.
Kemudian, pria paruh baya itu bertanya, "Siapakah namamu wahai, Anak muda? Dan ada perlu apa kau datang ke hutan yang sunyi ini?"
Meskipun dalam kondisi merasakan sakit yang teramat hebat, Gentar tetap menjawab pertanyaan dari orang tersebut yang tidak jelas datangnya dari mana?
"Namaku Gentar, aku berasal dari Kaliwana, dan hendak berkunjung ke gunung yang ada di utara dari hutan ini," jawabnya sembari menahan rasa sakit yang mendera yang semakin lama semakin menjalar.
"Ha ... ha ... ha ... sungguh nekat kau Anak muda. Jarang sekali orang yang selamat jika tersesat di hutan ini, daerah ini merupakan neraka bagi orang-orang yang nekat sepertimu," ucapnya terdengar menggema di daun telinga pemuda itu.
Lalu, Gentar pun bertanya, "Apakah nama dari gunung tersebut?"
"Gunung itu bernama gunung Kalingking. Sudah hampir 50 tahun silam tidak ada yang berani datang ke gunung tersebut, hanya kau dan Ki Ageng Raksanagara yang berani datang ke sini," jawabnya.
"Katakanlah! Apa kau ingin mati dan apa masih menginginkan menghirup udara segar?" tanya pria paruh baya itu.
Dengan penuh keberanian, Gentar pun menjawab pertanyaan dari pria paruh baya itu, "Kau jelaskan dulu! Apa alasan dari pertanyaanmu itu. Dan apakah keuntunganku jika menjawab pertanyaan darimu?"
Kemudian, orang itu pun kembali berkata, "Kalau kau menginginkan kematian, itu adalah hal yang mudah. Aku akan menjadikan dirimu santapan untuk harimau yang ada di hutan ini. Akan terapi jika kau masih ingin hidup mengabdilah kepadaku. Niscaya kau akan selamat!"
"Aku tidak masalah akan hal itu, karena aku percaya kematian merupakan ketentuan Allah. Tapi, aku tidak mau jadi pengabdimu." Gentar menolak mentah-mentah syarat yang diberikan oleh pria paruh baya itu.
"Lantas apakah yang kau inginkan, apakah kau memilih kematian? Ingat! Kematian bukan sesuatu yang enak, ada banyak hal yang belum kau lakukan di dunia ini. Apakah kau tidak mau mewujudkan keinginanmu?" tanya pria paruh baya itu.
"Tidak, aku tidak akan semudah itu untuk tunduk kepadamu!" ucap Gentar dengan tegasnya.
"Kau memang keras kepala wahai, Anak muda!" pungkas orang itu. Kemudian, menghilang dari hadapan Gentar dan sudah tidak terdengar lagi ocehan-ocehannya, hingga suasana hutan itu pun menjadi sunyi kembali.
Beberapa saat kemudian, perut Gentar terasa semakin sakit dan kepalanya pun seperti mau pecah, ia meringis kesakitan dan berguling-guling menahan rasa sakit yang begitu hebat.
Tiba-tiba terdengar suara orang tua, tepat di samping Gentar. Berkatalah ia, "Sakit yang kau derita akan segera sembuh, aku akan memberi obat untukmu. Jika sakitmu sudah hilang kita akan membicarakan sesuatu!" ucap orang tua itu sembari melempar sebuah botol dan secarik kertas yang tertempel di botol berukuran kecil itu.
Gentar tampak terkagetkan oleh kemunculan orang tua tersebut. Dipandanginya wajah orang tua itu dengan teliti.
"Minumlah obat itu, kau akan sembuh!"
Sejatinya, Gentar enggan untuk meminum obat yang ada di dalam botol itu. Akan tetapi rasa sakit yang ia derita terasa bertambah parah dan semakin menyakitkan. Dengan penuh keterpaksaan Gentar pun meraih botol tersebut lalu membuka tutupnya.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gentar seraya meminum obat dalam botol tersebut.
*