"Dasar pria bodoh! Aku sudah sampai ke titik ini, tapi kau malah menggagalkan keberanianku!" igau Cheery di pelukan Trian, "Apa kau tidak tahu, aku ingin menghadiahi keperawananku padamu malam ini!" lanjutnya sambil memukuli punggung Trian.
"Hei, Nona, bangunlah! Ayo kubantu kau ke kamarmu!" ucap Trian yang sudah mulai jengkel dengan sikap Cheery yang semberono.
Cheery melepaskan pelukannya dan melihat ke arah Trian.
"Tuan tampan! Karena aku sedang kesal malam ini, bisakah kau menemaniku?" ucap Cheery yang terdengar merayu Trian walaupun kemudian ia sadar kalau Cheery sebenarnya tengah mabuk dan tidak menyadari apa yang ia katakan.
Trian sudah tidak dapat menahan kekesalannya. Ia mengabaikan igauan serta sikap Cheery dan langsung merogoh saku jasnya untuk mengeluarkan kunci kamar miliknya.
Trian membawa masuk Cheery ke dalam kamarnya sendiri, lalu meletakkan tubuh Cheery yang lunglai di ranjang tempatnya biasa beristirahat.
"Hei, Nona semberono! Aku tidak tahu seberapa sakit hatimu sehingga kau mabuk berat seperti ini! Tapi kau sudah membuatku kesal. Aku akan meminta penjelasanmu besok pagi setelah kau sadar!" omel Trian pada Cheery dan langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
***
Setelah mandi, tubuh Trian memang lebih segar, tetapi rasa kantuk karena lelah membuatnya memilih diam dan mengabaikan wanita cantik yang berbaring di atas ranjangnya.
'Lalu aku tidur di mana? Tidak mungkin aku tidur di sofa sementara wanita itu begitu lelap di ranjangku. Lihat saja, akan aku berikan perhitungan padamu besok!'
Trian kembali menggerutu di dalam hati, tetapi tetap saja ia tidak ingin mengalah dari Cheery yang kini menguasai ranjang miliknya.
Baru beberapa saat ia berbaring di ranjang tempat Cheery tidur, Cheery tanpa sadar mengubah posisi tidurnya yang semula membelakangi pria asing tersebut menjadi berhadapan, bahkan memeluk pria tampan itu tanpa merasa berdosa.
'Wanita nakal! Ternyata begini caramu menggodaku, huh? Dengan berpura-pura patah hati lalu tertidur dan kemudian merayuku?' batin pria tersebut sambil tersenyum licik.
Cheery terus memeluknya tanpa sadar seolah tubuh pria tersebut adalah sebuah guling yang sangat nyaman untuk dipeluk.
"Jangan melewati batasanmu lebih dari ini!" gumam Trian lagi, tetapi ia tidak menunjukkan wajah marah sedikit pun.
Cheery yang tidurnya bagaikan kerbau kekenyangan begitu semberono hingga memprovokasi pria itu untuk melakukan hal yang sudah sedari tadi ia tahan.
"Jangan salahkan aku jika tubuhmu sakit besok pagi. Kau yang memintanya!" ucap pria tersebut sambil berseringai dan langsung menelusuri setiap inci tubuh Cheery.
Dan sayangnya, Cheery menikmati setiap sentuhan yang pria asing itu berikan. Bahkan, saat batas kesuciannya terenggut dan menimbulkan kesakitan yang teramat, Cheery sama sekali tidak bisa melawan akibat pengaruh alkohol yang memberatkan tubuhnya.
Entah berapa lama mereka mereguk kenikmatan, hingga akhirnya keduanya tertidur dalam kelelahan.
Keesokan harinya, Trian bangun dengan tubuh segar. Ia melirik sambil tersenyum saat melihat tubuh wanita yang tadi malam memuaskan hasratnya.
'Aku merasa bersalah padamu, Nona. Tapi aku berharap kamu tidak menyesal karena memberikan malam pertamamu padaku. Tidurlah, aku akan kembali setelah pekerjaanku selesai!' Trian berucap dalam hati sambil tersenyum sebelum pergi meninggalkan Cheery yang masih tertidur pulas.
***
Cheery mulau membuka kedua matanya perlahan saat sinar matahari telah menerangi kamarnya. Ia mengerutkan kening saat melihat gorden yang telah terbuka. Wanita itu kemudian berpikir, mungkin saat ia kembali ke kamar dalam kondisi mabuk, ia lupa menutup gorden.
Saat hendak bangkit dari ranjang, Cheery memegangi kepalanya yang masih sedikit pusing. Selain itu, tubuhnya terasa remuk redam seakan ia telah melakukan pekerjaan berat sepanjang malam.
Saat Cheery ingin beranjak dari ranjang, rasa perih di area pangkal paha dan sekitar area sensitif miliknya membuat ia membuka mata lebar.
"Ah, sakit sekali!" pekiknya kesakitan, "Tapi kenapa daerah sensitifku begitu sakit?" Ia mulai bertanya-tanya.
Wajah Cheery mulai panik saat pandangan matanya yang masih buram melirik ke sprai putih yang bebercak merah seperti darah.
"Tidak mungkin!" gumam Cheery yang berusaha menepis pikiran negatifnya.
'Apa semalam Vano datang? Ah, tidak mungkin karena Vano bilang kalau pesawatnya tertunda,' benaknya masih terus mengelak.
"Lalu apa yang kulakukan tadi malam? Kenapa area sensitifku sakit da nada darah di sprai ini? Siapa yang bersamaku tadi malam?" gumamnya pelan.
Cheery kembali bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia berpikir keras, berusaha mengingat kembali kejadian tadi malam.
Wajah Cheery seketika memucat saat samar-samar ia mengingat serentetan adegan dimulai ketika ia menerima telepon dari kekasihnya, hingga ia membeli minuman keras di sebuah bar dan kembali ke hotel dalam keadaan mabuk.
Dan ingatan yang terakhir adalah ketika dirinya mereguk kenikmatan bersama pria yang wajahnya tersamar pada pandangan matanya akibat pengaruh alkohol.
Cheery menggelengkan kepala sembari menutup mulutnya seakan tak percaya dengan ingatannya sendiri. Seketika rasa sedih, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu, dan mulai menguasai dirinya.
Dengan langkah tergopoh, Cheery masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang nista. Di bawah pancuran shower, ia terduduk sambil memeluk kedua kakinya. Saat itu hatinya bergemuruh. Ia pun tak dapat menahan bendungan air matanya lagi.
***
Walaupun tubuh wanita itu terasa lebih baik setelah mandi, tetapi hatinya tidak. Segala penyesalan dalam diri menjadi beban pada setiap langkahnya saat meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu awal dari kehancuran hidupnya.
Saat Cheery menutup pintu kamar, matanya seketika terbelalak saat melihat nomor kamar yang ia tempati, dan menyadari bahwa semalam ia tidaklah tidur di kamarnya sendiri.
"305? Ini bukan kamar yang aku pesan," gumamnya. Apa yang baru saja ia lihat membuatnya semakin yakin bahwa sesuatu telah terjadi padanya semalam.
"Ternyata aku salah masuk kamar," Cheery berbicara sembari menutupi mulutnya, "Aku harus bertanya pada staff hotel ini," lanjut Cheery seraya berjalan dengan hati-hati akibat nyeri di sekitar area pangkal pahanya.
Sesampainya Cheery di depan meja resepsionis hotel, ia langsung disambut ramah oleh salah satu resepsionis yang tengah bertugas.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang wanita berbaju merah dengan rambut yang disanggul rapi itu. Ia tersenyum ramah pada para tamu hotel tempatnya bekerja.
"Maaf, apa kau tahu siapa yang memesan kamar 305? Semalam tanpa sadar aku tidur di kamar itu," tanya Cheery dengan penuh rasa penasaran.
Wanita muda itu terdiam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya yang merah. Ia terlihat bingung menanggapi pertanyaan Cheery. Pasalnya, semua pegawai hotel tahu kalau kamar 305 adalah kamar putera pemilik hotel tersebut.
Wanita muda tersebut mulai memikirkan jawaban yang akan ia berikan kepada Cheery. Ia ingin membuat seolah-olah Cheery lah yang bersalah karena keteledorannya sendiri yang telah masuk ke kamar orang lain.
Ketika wanita itu tengah berpikir, ia kemudian teringat bahwa salah satu staff hotel yang mengantarkan Cheery sempat bercerita bahwa semalam ia tidak mau dibantu untuk dibukakan pintu. Setelah itu, ia meninggalkan Cheery bersama Trian.