"Maaf, Nona kami tidak bisa memberitahu anda," jawabnya untuk menyembunyikan identitas Trian. "Mungkin Nona salah masuk kamar saat mabuk. Salah satu staff yang mengantarkan Nona mengatakan bahwa Nona sama sekali tidak ingin dibantu untuk membukakan pintu kamar," lanjutnya lagi.
Cheery terlihat bimbang setelah mendengar jawaban resepsionis. Mungkin benar bahwa ia sudah salah masuk kamar karena kebodohannya sendiri yang tak mau dibantu oleh staff hotel untuk membantu membuka pintu kamarnya.
Di depan meja resepsionis, Cheery berdiri mematung tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tak bisa menyalahkan siapa pun karena peristiwa itu tidak akan terjadi kalau saja ia mau memberikan kunci kamarnya pada staff hotel.
"Sudahlah, lupakan saja! Aku akan pergi!" ucap Cheery dengan nada kecewa.
Cheery melangkahkan kakinya yang tak lagi kuat untuk berdiri, dan pergi meninggalkan tempat sial tersebut dengan perasaan hancur.
'Bagaimana hidupku setelah ini? Apa yang harus kulakukan dan kukatakan pada Vano? Apa aku harus mengatakan padanya kesucianku terenggut orang lain yang bahkan aku tidak tahu siapa dia?' batinnya lirih menangisi hidupnya yang telah hancur sambil memperhatikan hotel megah tersebut dari jauh.
Seketika Cheery tersentak saat ponsel miliknya berdering. Ia segera mengambilnya dari dalam tas hitam yang menggantung di bahunya. Bulir air mata pun mulai menetes di pelupuk matanya saat melihat nama si penelpon.
Wanita itu mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab panggilan telepon dari sang kekasih.
"Halo…?"
"Halo … Cheery, kau ada di mana, Sayang? Aku sudah tiba di bandara!" ucap Vano yang terdengar sangat antusias.
Berbeda dengan Vano, Cheery malah semakin sedih ketika mendengarkan suara kekasih yang begitu dicintainya itu. Ia merasa bahwa dirinya telah kotor dan tak pantas untuk Vano lagi.
"Aku di perjalanan pulang ke rumah mama. Jangan menjemputku. Kau langsung saja ke hotel itu. Kita akan bertemu di sana," jawab Cheery lirih.
"Ada apa? Kenapa suaramu begitu sedih? Padahal kita akan segera bertemu dan bersama untuk seterusnya!" tanya Vano sedikit panik.
"Tidak, aku tidak sedih. Aku hanya terlalu senang hingga air mataku keluar," jawab Cheery yang isakannya sesekali terdengar.
"Dasar bodoh! Aku pulang dan tidak akan pergi lagi! Jangan menangis seperti itu. Dan awas saja kalau matamu seperti panda saat aku melihatmu nanti! Karena aku hanya ingin melihat wajah tunanganku yang amat cantik itu," ujar Vano dibarengi dengan candaan.
"Baiklah kekasihku yang tampan! Tuan putrimu akan berdandan cantik malam ini. Tunggulah aku di pintu masuk hotel nanti atau akan ada mata jahat yang mengintipku, dan menginginkan tuan putrimu ini!" Cheery membalas candaan kekasihnya itu sambil menghapus air matanya dan tersenyum paksa.
"Milikku akan tetap milikku. Aku tidak takut mata jahat apa pun karena aku tahu, kekasihku tidak akan berpaling dariku!" jawab Vano percaya diri, "Cheery, aku begitu merindukanmu, Sayang. Cepatlah datang karena aku sudah tidak sabar ingin memelukmu," pinta Vano sebelum memutuskan sambungan telepon mereka.
Tak lupa juga, Vano mengucapkan kalimat cinta pada Cheery yang berhasil membuat air mata Cheery kembali turun dengan derasnya.
"Maafkan aku, Vano. Aku telah menghianati hubungan ini. Aku begitu bodoh hingga satu hal berharga yang selama ini kujaga untukmu direnggut pria lain. Maaf, Vano. Maaf!" ucap Cheery lirih sambil meremas kuat ponsel di genggamannya.
***
Di sebuah rumah sederhana yang terlihat asri dengan berbagai tanaman gantung dan juga pepohonan yang rindang, Cheery mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali dengan kepala yang tertunduk.
Tak lama kemudian, pintu rumah dibuka dan seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Ia adalah Nyonya Lisa–ibunda Cheery.
Tidak ada sapaan ceria ataupun senyuman manis yang menghiasi wajah Cheery saat memasuki rumah. Lisa mengerutkan dahi saat menyadari ada perubahan pada putrinya. Ia pun merasa khawatir, lalu berjalan menghampiri putri tunggalnya itu.
"Kenapa murung seperti ini? Bukannya semalam kau pamit untuk menyambut Vano? Lalu ke mana Vano? Apa dia tengah bersiap untuk nanti malam?" serentetan pertanyaan dilontarkan nyonya Lisa pada puterinya.
Namun, satu kata pun tidak keluar dari bibir mungil Cheery.
"Ada apa, Sayang? Kenapa seperti ini? Apa kau tidak ingin menceritakannya pada mama?" tanyanya lagi.
"Ma, apa aku harus menikah dengan Vano?"
Pertanyaan Cheery itu membuat nyonya Lisa tertegun penuh tanda tanya.
"Bukankah itu yang kalian rencanakan sejak lama? Kalian sudah berpacaran bertahun-tahun, bukan? Dan kau begitu tergila-gila dengan Vano. Lalu kenapa masih pertanyaan seperti itu saat kalian sudah berada di titik ini?" balas nyonya Lisa dengan pertanyaan juga.
"Aku hanya takut tidak bisa membahagiakan Vano setelah kami menikah, Ma. Aku takut Vano kecewa padaku nanti," ucap Cheery dengan wajah yang murung, "Dan lagi, aku tidak ingin meninggalkan Mama sendirian di sini," lanjutnya.
"Gadis bodoh! Tentu saja kau harus pergi mengikutinya setelah menikah. Dan apa yang tadi itu? Kecewa? Memangnya apa yang kau perbuat sampai Vano akan kecewa padamu, Nak?" tanya sang mama dengan penuh perhatian.
Wanita itu menatap lekat wajah sang ibu yang membuatnya semakin bersedih. Tidak mungkin jika ia harus menceritakan kejadian yang menimpanya tadi malam.
"Lupakan, Ma. Mungkin aku hanya canggung karena sekian lama tidak bertemu dengannya. Entah aku yang terlihat lebih jelek atau bagaimana di matanya saat ini. Itulah yang membuatku merasa tidak pantas bersanding dengannya," jawab Cheery miris dalam kebohongan.
"Sudahlah, itu hanya perasaanmu, saja! Setelah bertemu dengannya nanti malam, resahmu akan hilang saat melihatnya," ucap sang ibu yang berusaha meyakinkan Cheery bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Nyonya Lisa beranjak d
Meninggalkan Cheery untuk kembali melakukan aktifitas sebelumnya.
Sementara Cheery masih terdiam bahkan setelah sosok sang ibu tak lagi terlihat. Ia hanya merunduk sembari mengepalkan tangannya erat hingga terlihat memutih.
'Mama tidak tahu kalau aku sudah melakukan kesalahan bodoh yang tidak bisa diampuni. Mama tidak tahu, diriku sudah kotor karena kesalahan sendiri,' ucap Cheery dalam hati.
Tidak ada suara saat ia menangis karena mulutnya ia tutup sekuatnga menggunakan tangan agar tidak sedikitpun isakan tangis ya terdengar sang ibu.
Cheery berjalan cepat memasuki kamarnya. Dan setelah itu, ia menangis hebat dengan wajah yang tertutup bantal.
Rasa rendah diri dan bersalah merajai hati dan pikirannya. Ke mana ia akan membawa tubuh kotornya itu menjauh dari semua yang dipikirkannya?
Entahlah. Yang ia tahu dengan jelas bahwa saat ini ia hanya ingin menangis sekuatnya dengan harapan sesak di dadanya akan berkurang agar ia dapat sedikit mengangkat kepalanya saat bertemu dengan Vano nanti.