Kelelahan, Dilan merebahkan tubuhnya di sofa kamar VIP, dimana lady bos dirawat. Matanya, sekejap pun tidak meninggalkan sosok wanita cantik yang telah berbaring nyaman di ranjang. Saat ini panas tubuhnya sudah turun. Dilan menghembuskan nafas panjang dan lega, karena kondisi lady bos sudah lebih baik daripada saat pertama kali diketemukannya.
Perlahan mata Dilan yang berat semakin menutup. Dilan yang kelelahan tertidur lelap di sofa. Kemudian di satu waktu, Dilan merasakan lutut bergoyang, sepertinya seseorang sedang menyenggol lututnya dengan keras. Samar-samar, telinga Dilan menangkap seseorang menyuruhnya bangun.
"Heh, bangun," geram seseorang dengan suara berbisik, sambil menarik selimut dari Dilan.
Tubuh Dilan menggeliat, lalu membuka mata. Matanya sedikit membelak ketika menyadari siapa yang ada di hadapannya. Dilan bergegas berdiri. "Maaf, aku ketiduran," kata Dilan sambil mengusap tengkuknya. Matanya refleks melirik ke arah lady bos yang terlelap.
"Kamu sebaiknya pulang saja," perintah Bernard, tunangan lady bos, dengan tegas sambil menggoyangkan ibu jarinya ke arah pintu kamar VIP di belakangnya. "Biar aku yang menjaganya disini."
Dilan memiringkan kepala, memandang skeptis ke arah Bernard yang berkata bak gentleman. Kemudian kata Dilan... "Apa anda bisa menjaganya dengan baik?"
"Kurang ajar! Tidak tahu diri!" umpat marah tunangan lady bos itu sambil mencengkram lengan Dilan dan menariknya cepat ke arah pintu kamar. Laki-laki itu membuka pintu kamar dan mendorongnya keluar. "Keluar! Tempatmu hanya di bengkel! Kamu tidak berhak berada disini!"
Sekali lagi Dilan melirik ke arah lady bos, kemudian matanya memandang laki-laki yang menjadi tunangan atasannya. Well, memang wajar jika laki-laki di depannya ini mengusirnya dari kamar VIP ini. Dilan menghela nafas panjang. "Baiklah. Aku pergi."
"Bagus. Cepat menyingkir dari sini."
Brak. Pintu kamar tertutup cepat dan keras di depan hidungnya. Sialan!
Percuma Dilan ngotot untuk berada di tempat ini lagi. Dirinya tidak diterima disini. Kemudian kakinya berjalan melangkah menuju lobi rumah sakit sambil berpikir, "Bagaimana caranya aku pulang? Tidak mungkin aku meminta Dyra untuk menjemputku. Tengah malam begini, ojek pun juga belum tentu ada."
Dilan menggaruk rambutnya dengan sebal, karena belum mendapatkan jawaban dari persoalan untuk bisa pulang ke rumah. Kemudian dirinya dikejutkan dengan ponselnya tiba-tiba bergetar di sakunya. "Halo?"
"Halo bro," sapa sahabatnya di ponsel. "Masih membutuhkan bantuanku? Aku sudah selesai bertugas dan hendak pulang."
"Kebetulan sekali kamu menelpon. Aku memang membutuhkan bantuanmu," ucap Dilan dengan senyum lebar. "Kamu memang sahabat terbaik."
"Oya?" seru Rama sinis. "Dimana aku harus menjemputmu sekarang?" tebak Rama yang yakin karena Dilan, sahabatnya ini membutuhkan dirinya untuk sebuah tumpangan.
"Good boy," puji Dilan riang karena Rama mengerti apa yang dibutuhkannya saat ini, tanpa dirinya bersusah payah menjelaskan.
"Sialan kamu!" sembur Rama jengkel mendengar sindiran Dilan. 'Good boy' adalah ucapan yang sering diucapkan Rama pada anjing peliharaannya di rumah, jika hewan kesayangannya itu melakukan tepat seperti yang diperintahkan.
*****
Di pelataran mini market, pukul dua belas malam.
Keduanya masing-masing memesan mie instan kuah untuk dinikmati bersama sebotol kopi instan, di mini market yang buka dua puluh lima jam. Well, tengah malam begini, tidak banyak pilihan jika perut bergemuruh keroncongan.
"Siapa yang sakit?"
Dilan melirik sahabatnya dari pinggir cup mie yang diseruput nya. "My bos."
Rama mengangkat alis. "Pantes. Lalu?"
"Aku menemukannya tidak sadarkan diri dengan suhu tubuh yang tinggi," cerita Dilan dengan sedikit melamun. "Lalu aku membawanya ke rumah sakit. Kemudian kakaknya datang dan menitipkannya padaku. Jadi aku berniat menjaganya semalaman, hingga ada keluarga yang datang menjaga."
"Ck, kamu selalu berlebihan jika berhubungan dengan atasanmu itu," cibir Rama seraya berdecak. "Lalu jika kamu berniat menjaganya semalaman, kenapa sekarang kamu ada disini?"
"Karena tunangannya datang dan aku ditendang keluar," jawab Dilan muram.
"Aku boleh ketawa jahat?" tanya Rama polos dengan mata bersinar jahil.
"Brengsek!"
Tawa Rama langsung menyembur keluar hingga terbatuk-batuk. Telunjuk Rama menunjuk ke arah Dilan, tanpa bisa bicara karena masih ada sisa tawa yang belum berhenti. "Menyerah saja, bro."
"Mungkin perasaanku masih dibilang dangkal," tutur Dilan seraya memandang langit malam yang tanpa bintang. "Tapi.. seperti kata pepatah, sebelum janur kuning melengkung, tikung kanan dan tikung kiri itu legal dan diizinkan."
"Ck, aku tidak percaya bahwa kamu akan melakukan hal tidak bermoral itu," komentar Rama setelah meneguk habis kopi instan nya. "Hidupmu terlalu lurus untuk menjadi seorang bajingan."
"Entahlah," sahut Dilan muram. "Kata Dyra, aku bisa saja menjadi laki-laki yang jahat, jika berhadapan dengan wanita cantik. Apa menurutmu, aku bisa berubah menjadi monster perusak hubungan orang lain?"
"Ck," decak Rama sebal sambil mengibaskan tangan. "Ganti topik saja, terlalu melo. Seharian ini aku sudah menghadapi tangisan anggota keluarga korban pembunuhan. Aku sudah tidak sanggup lagi mendengar obrolan yang menyayat hati."
"Sudah ada petunjuk?" tanya Dilan tentang kasus pembunuhan di hotel Holiday, sore tadi.
Rama menggeleng pelan. "Petunjuk yang ada hanyalah setangkai mawar hitam jelek dan modus yang sama dalam setiap kasus."
"Sama persis?"
"Kurang lebih. Namun, si korban tetap meninggal karena kehabisan darah," jelas Rama sambil bergidik. "Pelakunya benar-benar kejam, menyiksa tubuh korban berjam-jam hingga tewas. Pelaku sengaja tidak melukai alat-alat vital korbannya. Dia seorang psikopat."
"Bagaimana dengan korban? Apakah ada kemiripan satu dengan yang lain?"
"Persamaannya hanyalah rentang usia antara dua puluh hingga tiga puluh, serta semua korban berjenis kelamin laki-laki. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda. Kami belum menemukan benang merahnya untuk kasus ini. Karena itulah pembunuhan berantai ini belum terpecahkan."
"Apa mungkin keluarga korban sengaja menutupi sesuatu untuk melindungi aib korban?"
Tubuh Rama mendadak tegang. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Dilan mengangkat bahu. "Mungkin saja para korban itu memiliki hobi atau kesukaan yang sengaja dirahasiakan dari keluarganya atau orang terdekat mereka. Dan rahasia itu mungkin saja benang merahnya."
Klik. Jemari Rama membuat suara petikan ke arah Dilan. "Sudah. Kami sudah mengorek informasi itu semua. Dan hasilnya... zonk. Mereka tidak memiliki hobi dan kesukaan yang sama."
"Yah, selamat bekerja keras kalau begitu. Kalian para polisi wajib melindungi kami masyarakat yang rentan terhadap cobaan dan penganiayaan."
"Lebay."
Kemudian...
"Hei, kalian berdua berdiri," perintah seseorang dengan suara tegas.
Rama dan Dilan saling berpandangan linglung, ketika terciduk oleh beberapa petugas patroli malam yang sedang melakukan razia. Keduanya pun perlahan berdiri dan mendekati polisi yang berperawakan kekar dan garang itu.
"Keluarkan kartu identitas kalian!"
Dilan dan Rama pun mengeluarkan dompet dan mengambilnya. "Ini pak."
"Sedang apa kalian malam-malam berkeliaran?" tanya polisi itu galak dengan mata melotot.
"Habis pulang dari menjenguk teman di rumah sakit," jawab Dilan yang meringis takut, seakan hendak dilumat habis.
Polisi itu melirik jam tangannya. Hampir mendekati pukul satu dini hari. "Jangan bohong!' bentaknya jengkel. "Mana ada menjenguk orang sakit tengah malam begini?! Itu pasien orang atau hantu?"
"Wah, bapak bisa ngelawak juga," komentar Rama cengengesan.
"Diam kamu!" bentak polisi garang itu pada Rama. "Kamu darimana?"
"Pulang kerja pak."
"Apa pekerjaanmu?"
"Ngurusin orang mati, pak," jawab Rama polos.
"Jangan ngomong sembarangan," bentak polisi garang itu. "Jawab yang jujur. Apa pekerjaanmu?"
"Saya jawab jujur pak. Tanyakan saja pada atasan saya."
"Kalau begitu, berikan nomer telponnya. Kita akan lihat apakah kamu bohong atau tidak. Jangan-jangan... kamu sudah berbuat kejahatan disini."
"Tapi please pak, jangan menelponnya sekarang."
"Kenapa?"
"Karena atasan saya mungkin sedang bercinta dengan istrinya untuk meredakan ketegangan karena seharian sibuk ngurusin orang mati," jawab Rama ngawur.
"Bang," teriak tiba-tiba polisi garang itu pada temannya. "Borgol kedua orang ini dan masukkan ke penjara semalaman."
"Lo pak, kenapa saya ditangkap?" tanya Rama tidak terima karena diamankan petugas. "Saya kan sudah menjawab sejujur-jujurnya."
"Karena jawaban jujurmu bikin aku emosi," geram polisi itu. "Bawa mereka pergi!"
"Siap pak."
Bersambung...