"Jadi?" desak Rama tidak sabar. "Siapa dewi cantik yang mempesona ini, hingga membuat temanku yang selalu bete jika berbicara perihal seorang gadis, tiba-tiba menjadi kasmaran bak remaja tanggung yang galau?"
Dilan merebahkan tubuhnya diatas kasur lipat dan memandang langit-langit kamar Rama. Kedua tangannya dilipat dibelakang kepalanya. "Ck, seharusnya kamu jangan masuk ke akademi kepolisian, ke-lebay-an mu itu lebih cocok menjadi penyair daripada menjadi asisten penyidik," komentar menyebalkan Dilan, yang langsung kena timpuk bantal empuk.
"Jangan meremehkan aku, bro," sergah Rama tidak terima. "Tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan, semua perjuanganku di akademi kepolisian dan meniti karir untuk menjadi detektif. Kamu kan tahu kalau idolaku adalah detektif conan. Bahwa kebenaran hanya ada satu,"lanjut Rama sambil memperagakan pose detektif Conan alias Shinichi Kudo, yaitu menudingkan jari telunjuknya ke arah dada Dilan.
Dilan hanya memutar bola matanya. Perihal Rama, sahabatnya yang sangat menyukai anime dan fantasi, Dilan tidak tahu harus merasa muak atau pasrah. Pasalnya, sahabatnya ini semakin lama semakin error, tidak terkendali. Entah sejak kapan, Rama menjadi tergila-gila akan anime. Pasti ada sosok yang tidak diketahui Dilan, yang telah mempengaruhi Rama.
Namun, Rama tidak pernah mau terbuka padanya. Bibir Rama selalu terkunci rapat, ketika Dilan bertanya siapa yang mengenalkannya pada dunia anime dan fantasi. Rama bahkan mengalihkan pembicaraan, jika Dilan mulai mengungkit perkara itu. Well, sangat mencurigakan. Sudahlah, itu dibahas kelak saja.
"Dilan," panggil Rama pelan, ketika sahabatnya terus melamun. "Waktu terus berjalan, bro. Jika kamu tidak segera bercerita, jenggot ku akan terus tumbuh dan memanjang serta memutih bak santa claus."
Hening. Tetap... hening.
Rama menghela nafas keras-keras, saat menunggu sahabatnya yang pendiam dan tertutup ini, membuka suaranya. Butuh ekstra kesabaran untuk memancing sebuah pengakuan dari bibir Dilan. Sedangkan Dilan kebingungan, karena bibirnya terasa berat untuk berbicara.
"Sepertinya.. aku menyukai bosku."
"Bos wanita yang di bengkelmu itu?" tanya Rama penasaran sambil memposisikan tubuhnya tengkurap untuk memandang Dilan yang berada di lantai.
"Hm-hm."
"Wow! Itu.. diluar dugaan ku," komentar Rama yang sedikit takjub dengan selera Dilan akan wanita. Jelas-jelas si bos ini lebih tua beberapa tahun dari Dilan. Rama menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Sepertinya selera Dilan adalah wanita yang matang, benar-benar matang secara emosi dan keuangan.
"Sejak kapan?" desak Rama pelan.
Dilan melirik ke arah wajah Rama yang memandangnya dengan penasaran. Dilan mencebikkan bibirnya dan mengangkat bahu. "Entahlah."
"Kamu kena pelet kah?"
Pluk. Wajah polos Rama tertimpuk bantal miliknya yang tadi dilemparkannya pada Dilan.
"Ngomong sembarangan."
"Habis aku sama sekali tidak paham. Kamu jarang bahkan tidak pernah ngomongin cewek. Dan sekalinya kamu jatuh cintrong, langsung suka sama emak-emak," protes Rama yang kali ini terkena tendangan kaki Dilan.
"Emak-emak kepalamu," sembur Dilan emosi. Enak saja, mengatai lady bos yang cantik dan pintar itu sebagai emak-emak. Dilan tidak terima. "Lagian siapa bilang aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya?" sewotnya.
'Wow keren," sindir Rama sambil mengacungkan dua jempol padanya. "Emak siapa lagi yang pernah membuatmu kesengsem?" tanyanya yang kemudian tergelak keras melihat Dilan dengan tatapan membunuhnya.
Kemudian Rama mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Oke serius. Tapi tunggu dulu, aku mau ketawa dulu.. ha-ha-ha.. ha-ha-ha.. uhuk-uhuk.."
"Menyebalkan," gerutu Dilan sambil memutar posisi berbaringnya, membelakangi Rama yang menertawai nya. "Aku tidur saja."
"Yaelah pakde-pakde.. kok jadi ngambek gitu sih," gerutu Rama sambil menyodok punggung Dilan dengan ibu jari kakinya.
"Aku.. sudah menciumnya,"ucap Dilan lirih nyaris tak terdengar. Hanya kata 'cium' yang terdengar di telinga Rama.
"Cium?! Kamu mencium emak siapa, bro?" seru Rama heboh sambil membalikkan tubuh Dilan dengan kasar.
Plak. Dilan memukul bagian belakang kepala Rama dengan geram. Emosi Dilan sudah sampai ke ubun-ubun. Bicara dengan Rama, sungguh membuat emosi jiwa.
"Sialan! Jangan pukul kepalaku! Gimana kalau nanti aku jadi bodoh?!" sembur Rama kesal sambil memegangi belakang kepalanya yang kena gampar.
"Emang gue pikirin kalau lo bodoh?! Sekalian saja, biar dirimu yang jadi idiot dilumat atasanmu yang super galak itu," balas Dilan sewot. "Lagian mana mau gue cium emak-emak??! Ogah!"
"Hiyaaaa.. kamu jahat, Dilan. Jangan biarkan atasanku mendapatkan lebih banyak kelemahanku. Setiap hari aku sudah babak belur karena dia," rengek Rama histeris dengan pose berlutut seakan memohon pengampunan pada yang maha kuasa. Atasan Rama yang galak itu adalah ayahanda Dilan di panti asuhan. "Asal kamu tahu, dia itu lebih jahat dari Voldemort, musuh Harry Potter. Dia, sebelas dua belas tiga belas dengan Joker, musuh batman. Dia juga adalah seorang gladiator," jelas Rama dengan ngotot dan berapi-api perihal atasannya.
"Tidak sekalian bilang dia termasuk jajaran malaikat pencabut nyawa?" sindir Dilan yang berdecak, mendengarkan sahabatnya yang mengomel ria dengan mengeluarkan semua tokoh fantasi nya.
"Ha-ha-ha.. setuju," celetuk Rama sambil meminta high five dengan Dilan. "Kamu tahu, aku masih belum bisa mengerti bagaimana pria segalak itu bisa mendapatkan pasangan. Aku jadi merasa kasihan dengan istrinya, yang setiap hari harus berhadapan dengan sikapnya yang amazing itu."
Plak-plak..
Rama melotot marah pada Dilan yang sembarangan memukul punggungnya. "Jangan jadi brutal, Dilan!" amuk Rama.
"Huh! Aku tidak percaya bahwa aku akan mengatakan ini," keluh Dilan sambil mengusap wajahnya dengan frustasi. "Dengar ya.. bosmu yang adalah suami dari ibundaku, merupakan pria paling romantis dan sangat protektif pada istrinya. Dia adalah teladanku tentang bagaimana cara memperlakukan seorang wanita dengan gentleman."
"Benarkah? Aku kok tidak percaya," ucap Rama skeptis.
"Jika dia tidak bersikap sempurna pada ibunda, aku sudah merebut wanita cantik itu untuk menjadi milikku," sahut Dilan yang langsung menutup mulutnya karena keceplosan mengakui menyukai ibunda.
Rama mengulum senyum, paham. "Jadi begitu rupanya. Kasih tak sampai. Cinta bertepuk sebelah tangan. Saingan yang tak terkalahkan. Tapi diingat saja ya.. jangan sampai dirimu menjadi pria perebut bini orang alias pebinor."
"Ck, aku tidak serendah itu, brengsek," sergah Dilan jengkel.
"Aku ngerti kok," sahut Rama serius. Meski dirinya suka bercanda, tetapi ketika waktunya untuk serius, maka Rama pun juga bersikap serius. "Jadi, sekarang, cintamu beralih ke... your bos?"
Dilan memandang nanar ke arah Rama yang menatapnya penasaran. "Mungkin. Aku juga tidak tahu. Selama ini, aku selalu menghormati atasan ku. Aku mengaguminya sebagai wanita yang cantik dan tangguh. Aku tidak pernah memandangnya sebagai seseorang yang spesial, selain sebagai seorang atasan."
"Lalu?"
Dilan menjawab sambil menerawang, menatap nanar langit-langit kamar Rama. "Mungkin karena ocehan Dyra dan anak bengkel, membuatku jadi memandang lady bos dengan cara yang berbeda."
"Begitu. Lalu, yang kamu maksud dengan ciuman, memangnya kamu mencium siapa?" tanya Rama penasaran sambil kembali tengkurap di ranjang dan menopang dagu.
Sekali lagi, Dilan mengusap rambutnya dengan frustasi. "Aku berciuman dengan dua wanita berbeda dalam satu hari. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Whaaattt???" seru Rama syok, dengan jari tangan membentuk angka dua. "Dua?! Kamu berciuman dengan dua wanita sekaligus??! Apa anda seorang James Bond?"
"Dasar sinting," sembur Dilan jengkel mendengar respon sahabatnya yang menyebalkan.
Bersambung...