Chereads / EDEN - Prajurit Nusantara / Chapter 3 - Warna Mata

Chapter 3 - Warna Mata

"Ungkapkan dengan kata-kata kalau kau ingin sesuatu. Aku ini bukan cenayang yang bisa membaca pikiran loh." Ayu mengingatkan, sementara matanya yang merah mengkilap bagaikan darah terpaku mengawasi remaja dua belas tahun yang sedang duduk bangku taman di depannya sambil menikmati burger sapi berukuran besar.

Taman itu terletak di depan gedung asrama, dan diterangi oleh lampu-lampu kristal yang melayang setiap beberapa meter di sepanjang jalan.

"Eh?" Nio mengangkat kepalanya dan mendongak menatap Ayu. "Barusan kamu bilang apa, Yu?"

"Ah... Lupakan." Ayu menghela nafas dan tersenyum kecut. Bisa-bisanya bocah itu tidak mendengarkan kata-katanya barusan, padahal ia berbicara tepat di depannya. "Kamu ini masih plin-plan banget ya, Nio? Aku masih heran sampai sekarang loh."

"Ah–Yah, aku kan dari dulu udah begini, Yu. Mau bagaimana lagi kan." Anak itu balas nyengir sampai-sampai membuat wajahnya tampak lugu, persis seperti yang biasa dilakukannya.

"Yah, nggak salah sih..." Wajah Ayu berubah masam, dan ia merasa bodoh untuk sesaat.

Ayu melirik arlojinya, waktu sudah menandakan pukul tujuh malam, dan penempatan asrama Nio akan diberitahukan sejam lagi, jadi saat ini mereka masih memiliki waktu untuk bersantai sebentar.

"Ngomong-ngomong, Yu, sebenarnya apa saja sih yang dipelajari di sekolah ini? Ada pelajarannya kayak matematika, IPA, IPS juga nggak?" Tanya Nio.

"Yang gituan nggak ada, cuma yang mirip-mirip aja kok. Karena yang kau pelajari disini itu lebih condong ke arah pengendalian kekuatan, dan juga tentang sejarah dunia yang sebenarnya." Ayu menjelaskan.

"Sejarah dunia yang sebenarnya? Maksudnya gimana?" Nio bertanya sambil kembali menggigit burgernya.

"Kalau untuk sejarah dunia yang sebenarnya itu kita akan diajarkan tentang kenyataan. Contohnya, kenapa kita berada di dunia ini? Dan kenapa kita memiliki kekuatan, atau juga tentang makhluk apa kita sebenarnya, dan banyak lagi."

"Makhluk apa kita sebenarnya, ya?" Nio mengulangi kalimat itu. Memang, di telinga Ayu sendiri pun kata-kata itu terdengar sangat aneh. "Oh, iya, bagaimana soal mata kita? Itu juga bakal dikasih tahu nggak?"

"Ah, iya tentu saja." Ayu melirik mata Nio yang benar-benar berbeda dibanding mata manapun yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Mata yang sewarna emas cair dengan titik biru di tengahnya. "Secara garis besarnya sih, orang-orang seperti kita memiliki tujuh mata yang berbeda warna; merah, biru, hijau, kuning, ungu, hitam dan cokelat."

"Loh..." Nio mengerutkan keningnya, tanda kalau ia bingung, dan Ayu tahu betul apa sebabnya.

"Sebagai contoh, orang yang punya mata merah kayak punyaku ini rata-rata memiliki kekuatan untuk terbang, atau kekuatan fisik yang luar biasa kuat, juga kekuatan untuk melepaskan cahaya sepanas lahar dari mata." Jelas Ayu yang kakinya mulai terangkat dari tanah, dan gadis itu mengambil posisi duduk di udara. Dia benar-benar bisa terbang.

"Ah... Persis kayak kekuatanmu ya, Yu." Ucap Nio yang kelihatannya sudah mengerti sedikit.

Toh, bocah itu selama ini besar di lingkungan yang normal, dan baru kemarin dia mengetahui tentang kenyataan lain dari dunia, jadi wajar saja kalau ia tidak tahu banyak, bahkan sesuatu yang sederhana seperti warna mata.

"Ya, tapi nggak semua orang yang punya mata merah memiliki tiga kemampuan itu. Malah kadang ada yang cuma punya salah satunya aja." Gadis itu mengangkat kaki kanannya dan meletakkannya di atas kaki kirinya. "Dan syukurlah aku memiliki ketiganya."

"Eh... Tapi, Ayu, bagaimana dengan mataku? Mataku warna emas loh–"

"Permisi Kak Ayu." Seseorang tiba-tiba muncul entah dari mana tepat di sebelah Ayu dan berhasil membuat Nio sedikit tersentak hingga burgernya yang tinggal sedikit jatuh ke lantai batu di bawah.

"Yah... Jatuh." Nio bergumam sambil memandangi burgernya.

Sosok yang baru muncul barusan adalah seorang murid yang sebaya dengan Nio. Anak berambut gondrong cerah itu memiliki mata yang berwarna ungu, dan juga ada lencana berlambangkan angka satu di di dadanya kirinya.

"Oh, ada apa Mikel?" Tanya Ayu yang masih duduk dengan anggun di udara. "Apa ini soal Nio?"

"Hmm?" Anak itu menoleh memandang Nio, dan entah kenapa dia sepertinya tidak menyukai anak itu. Ia menatap Nio dengan tatapan remeh. "Ini nggak ada hubungannya dengan dia. Aku cuma mau menyampaikan ke Kak Ayu, kalau besok tim kita ada misi ke Kalimatan Barat buat menangkap seorang berkekuatan super yang akhir-akhir ini selalu membobol brankas di bank."

"Ah, yang itu ya." Ayu berusaha mengingat-ingat sosok penjahat yang dimaksud oleh Mikel. Sepertinya orang itu juga memiliki kekuatan Merah seperti Ayu, jadi ya itu cukup berbahaya sampai-sampai timnya harus turun tangan. "Baiklah kalau begitu, terima kasih buat kabarnya ya, Mikel."

"Ah iya, Kak. Sama-sama." Balas bocah itu sambil tersenyum senang, tapi anehnya raut mukanya seketika berubah lagi ketika ia kembali melirik Nio.

Tampaknya Mikel benar-benar tidak menyukai anak itu.

"Kalau begitu, Nio, besok kamu ikut dengan kami juga ya?" Ayu menawarkan.

"Loh! Kenapa Kak Ayu malah mengajak anak jelek ini juga?" Mikel memprotes tanpa pandang bulu.

Nio yang mendengarnya cuma tersenyum kecut dan tak berkata apapun.

"Buset... Jelek?" Ayu terperangah melihat sifat lain bocah berambut pirang itu. Padahal selama ini dia selalu ramah pada orang lain. Tapi apa-apaan ini?

"Lagian dia ini dikabarkan akan jadi anak kelompok Kurawa! Dia tidak selevel dengan kita, Kak."

"Lah? Bukannya tadi siang kamu juga sudah melihat kekuatannya? Nio ini kuat banget loh." Ayu yang makin tercengang mencoba untuk mengingatkan.

"Kekuatannya biasa aja kok! Lagian kekuatannya tidak jelas begitu. Kalau kami berduel, dia pasti langsung kalah dalam sekejap." Mikel mendengus sombong sambil melipat kedua tangan di dada.

"Astaga, kamu kerasukan apaan sih, Mikel." Ayu kehabisan kata-kata. Gadis itu cuma bisa memasang wajah masam melihat perubahan drastis sifat anak yang terkenal bersahabat itu.

"Intinya, aku akan memberitahu Kak Arif tentang ini, biar dia nanti melarang Kak Ayu untuk mengajak anak bodoh itu. Aku nggak setuju pokoknya." Celoteh anak itu. "Kita ini Unit Satu–unit terkuat di Akademi Nusantara. Mau ditaruh dimana mukaku, Kak, kalau kita mengajak anak kelas satu sepertinya ke dalam misi?"

"Eh... Mikel? Kau juga masih kelas satu, loh." Senyum kecut terbentuk lagi di bibir Ayu.

"Oh, benar juga... Ma-Maksudku, dia ini masih pemula! Dia nggak tahu cara kerja kita." Mikel bersikeras. "Dia masih tidak tahu apa-apa soal Prajurit Nusantara."

Ayu yang mendengarnya cuma berusaha agar tidak tertawa mendengar ocehan anak itu. Memang dia terlihat menyebalkan saat ini, tapi tingkahnya sungguh lucu kalau diperhatikan.

Ya, bocah tetaplah bocah, bukan?

"Kekuatan Mata Ungu itu emangnya apa, Yu?" Tanya Nio seraya bangkit dari bangku.

"Berpindah tempat secara instan, manipulasi elemen petir, dan manipulasi cahaya neon." Jawab Mikel dengan bangga. "Kalau masalah kecepatan dan ketajaman, Mata Ungu itu nomor satu, dasar jelek. Tadi kamu juga kaget kan? Pas aku muncul di sini, sampai burger kamu aja jatuh tuh."

"Eh... Aku kaget karena suaramu." Jawab Nio yang tersenyum kecil. "Aku bisa melihatmu dengan jelas kok."

"Loh? Apa maksudmu kau bisa melihatku? Kau ini bodoh ya? Tadi aku itu berpindah tempat dari ruang kepala sekolah ke tempat ini." Mikel kesal.

"Hmm... Aku juga nggak terlalu bisa menjelaskannya sih, tapi intinya aku tahu kalau kau berdiri di situ."

Ayu seketika terkejut setelah mendengar apa yang dikatakan Nio barusan. Kalau dia bisa melihat Mikel datang bahkan sebelum ia benar-benar datang, bukannya itu sama saja dengan melihat masa depan? Apa itu kemampuan matanya yang sebenarnya?

Kemampuan Nio sama sekali tidak terlihat seperti kekuatan super pada umumnya.

Itu lebih seperti, sihir.

"Mau kutunjukkin nggak?" Setelah Nio memberikan tawarannya, kedua cincin emasnya tiba-tiba muncul di belakangnya.

Mikel langsung merasa ngeri setelah melihat kedua cincin yang melayang itu.

"Kamu coba pindah kemanapun di taman ini, tapi jangan beritahukan aku." Ucap Nio.

"Hoh?" Senyum sombong Mikel semakin melebar. "Baiklah kalau itu maumu."

Salah satu cincin Nio melayang ke depannya, lalu cincin itu mengeluarkan suatu kalung emas dengan hiasan gang berupa permata biru menyala dan berbentuk seperti petir.

"Baiklah, pada hitungan ketiga." Nio menggapai kalung itu dan menggantungnya di lehernya. "Satu, dua, tiga."

Mata ungu Mikel menyala, dan di saat itu pula, seluruh tubuhnya lebur menjadi debu-debu cahaya ungu, lalu dalam sekejap ia berpindah ke bawah pohon tak jauh dari sana.

Namun, bocah itu sangat terkejut ketika mendapati Nio yang ternyata sudah berdiri di hadapannya. Terdapat nyala-nyala biru di sekujur tubuhnya, seperti sengatan listrik.

"Tunggu! Bagaimana bisa!?" Mikel benar-benar syok.

Karena jengkel, dia langsung mencoba untuk berpindah lagi ke dekat air pancuran, tapi, Nio masih berada di hadapannya. Anak bermata emas berkilau itu berdiri tepat di depan Mikel seakan ia tahu betul kalau Mikel akan berpindah ke sana, yang mana itu seharusnya mustahil.

Akan tetapi, Mikel terus berpindah tempat ke segala penjuru taman, dan sayangnya, Nio masih mengikutinya.

"Tidak mungkin..." Setelah puluhan kali berpindah-pindah tempat, Mikel akhirnya memutuskan untuk menyerah. Mereka kembali ke tempat dimana Ayu duduk. "Bagaimana kau melakukannya!" Raung Mikel.

"Yah, aku sudah bilang, aku bisa melihatmu dengan jelas." Nio mengingatkan. "Itu seperti garis ungu terang, dan itu muncul tepat di tempat dimana kau pindah."

Keringat dingin menetes dari dagu Ayu dan Mikel. Gadis itu sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi tentang kekuatan baru Nio.

Itu sangat mengagumkan, karena memang bukanlah hal yang mudah untuk melawan orang-orang bermata ungu, mengingat kekuatan mereka bersifat cepat dan instan.

Meski begitu, tetap saja Nio bisa mengungguli Mikel dengan mudah. Tidak, dia bahkan jauh lebih unggul sebenarnya. Bukan hanya cepat, tapi ia juga mampu melihat mereka dengan jelas.

Namun, mata Ayu menyipit sedih, karena ia sadar betul kalau kekuatan yang baru saja digunakan oleh Nio, kalung yang ada di lehernya itu, adalah wujud dari kematian kedua Nio.

Kekuatan yang ia dapatkan di hari kematian kedua orang tuanya.

"Tante Helen... Om Noa... Aku bersumpah aku akan melanjutkan tugas kalian untuk menjaga Nio mulai sekarang." Ayu menyatakan sumpahnya pada dunia.