"Kalian tahu? Sama seperti manusia yang menganggap nyamuk sebagai serangga pengganggu, itu juga berlaku untuk bumi ini, yang cuma menganggap manusia sebagai bakteri tak berotak dengan ego yang setinggi langit." Ujar sesosok gadis berjubah hitam yang entah muncul dari mana.
Gadis bertampang mencurigakan itu berambut pirang panjang sampai ke pinggang, wajahnya tampak anggun dengan kacamata hitam yang bertengger di atas hidungnya.
"Eh... Siapa gadis itu?" Nio bertanya pada Aldi. Mata emas bocah itu berkilat terang. Ia mengambil pedang merahnya yang tertancap di tanah, dan menggenggamnya kuat-kuat di tangan kanan.
"A-Aku tidak tahu... Tapi, dia jelas bukan murid atau staf pengurus... Cuma, bagaimana ia bisa masuk ke sini? Kenapa Golem penjaga di luar area sekolah tidak bertindak?" Aldi mengayuh kursi rodanya dekat-dekat di samping Nio.
Namun, entah kenapa gadis itu terlihat marah sekarang. Ia menguatkan rahangnya dan merapatkan giginya.
"Heh, bocah, aku tidak tahu bagaimana kau bisa mendapatkan kekuatan semacam itu, tapi setidaknya, tingkatanmu masih dibawahku..." Nyala api biru mulai muncul menyelimuti seluruh tubuh pria itu. "Dan pedang itu... Aku membutuhkan pedang itu... Aku membutuhkan api lebih banyak lagi... Untuk membakar manusia."
Diiringi suara dentuman yang keras, gadis itu tiba-tiba lenyap dari tempatnya hingga meninggalkan sebuah kawah kecil di tanah di tempatnya berpijak tadi.
Lalu, sedetik kemudian, gadis itu muncul seketika tepat di depan mata Nio dengan sebilah pisau yang terhunus dan siap untuk membunuh anak bermata emas itu.
Namun, itu percuma saja, karena sejak awal Nio bisa melihatnya dengan jelas
Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Nio segera mengangkat pedang merah besarnya, dan langsung menahan belati berapi biru gadis itu dengan sigap, hingga membuat udara di sekitar mereka terguncang hebat sampai-sampai Aldi saja terdorong mundur.
"Sialan! Bagaimana mungkin!?" Gadis itu buru-buru melompat jauh ke belakang untuk menjaga jarak. Dia tampaknya sangat syok sekarang. "Kenapa bocah ini sangat kuat? Siapa kau sebenarnya?" Ia mendecakkan lidah dengan kesal.
"Lah, kamu siapa?" Nio balas bertanya dengan jengkel. "Datang-datang langsung ngajak berantem... Orang gila ya?" Nio memindahkan pedang merah ke genggaman tangan kirinya. Ia lalu mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang kini terasa agak sakit setelah menahan serangan tadi.
"Apa kau bilang barusan bocah sialan?" Urat tebal timbul di pelipis gadis itu. Ia menggigit bibir dan berusaha meredam emosinya.
Meski begitu, entah kapan kali terakhir Nio merasakan rasa nyeri dan berdenyut semacam ini. Rasa yang amat menjengkelkan sebenarnya.
Nio lebih tahu dibanding siapapun kalau berbicara soal rasa yang menyakitkan, mengingat ia sudah pernah sekarat sebelumnya, dua kali malah.
Namun, jelas saja rasa berada di ambang kematian sangatlah berbeda dengan rasa nyeri seperti ini.
"Nio... Gadis itu... Dia adalah sang Kaisar Api dari Kendari. Seorang kriminal kelas Bencana..." Ungkap Aldi dengan mata biru yang sedikit bersinar. Tapi, entah kenapa dia terlihat sangat ketakutan sekarang ini. "Dia berbahaya. Kita harus melapor sekarang! Kekuatan gadis itu setara dengan pak kepala sekolah!"
"Berbahaya ya?" Nio bergumam pelan, dan bersamaan dengan itu nyala api membara muncul menyelimuti pedang merahnya. "Baiklah, tapi sebelum itu, aku ingin melihat kekuatan kriminal Kelas Bencana yang kau katakan tadi." Nio mengangkat pedangnya dan mengarahkannya ke arah si gadis di kejauhan.
"Tunggu sebentar, Nio–"
Lalu, di saat itu pula, api tiba-tiba menyembur keluar dari bawah kaki gadis itu, dan naik hingga tinggi ke langit, persis seperti kemarin.
Akan tetapi anehnya, gadis itu tidak sama sekali tidak berubah menjadi abu, malahan gadis itu tampak bahagia terkurung di dalam pilar api yang diciptakan Nio.
"Eh?"
Memang sedikit terlambat, tapi Nio sadar kalau api yang menyembur dari bawah kaki gadis itu sepertinya berhenti sedikit demi sedikit, dan pilar api yang menjulang ke langit itu pun perlahan mulai lenyap.
Awalnya Nio tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tapi setelah diperhatikan lagi, rupanya, gadis itulah alasan kenapa api Nio mulai padam.
Gadis itu menelan api itu menggunakan mulutnya, persis seperti seseorang yang sedang makan dengan lahap.
"Wah!" Setelah seluruh api Nio benar-benar habis, gadis itu akhirnya mengusap mulutnya dengan lengan bajunya, dan ia terlihat sangat puas. "Sungguh api yang nikmat! Porsinya juga nggak ngotak! Hebat! Benar-benar hebat!"
"Kok bisa begitu sih?" Nio yang tak mengerti cuma bisa memandang pedangnya sendiri dengan heran.
"Astaga, Nio! Kaisar Api itu bisa memakan api! Makanya seranganmu tidak berpengaruh padanya, malahan kau membuatnya jadi tambah kuat!" Aldi menjelaskan dengan gelisah.
"Memakan api? Aneh banget." Nio melepas pedangnya dari genggamannya, dan salah satu cincin emasnya buru-buru bergerak untuk menelan pedang itu kembali ke asalnya. "Hey! Kenapa kau memakan apiku?"
"Heh?" Aldi tercengang mendengar pertanyaan aneh itu.
"Ya, jawabannya sederhana... Aku membutuhkan kekuatan yang besar–tidak, tapi kekuatan yang sangat-sangat besar untuk memusnahkan manusia." Jelas gadis itu sungguh-sungguh.
"Memusnahkan manusia? Buat apa?" Tanya Nio heran.
"Kalau kau sampai bertanya seperti itu... Itu artinya kau belum melihat sendiri bagaimana kejamnya manusia..." Ungkap gadis itu. "Pada akhirnya, manusia itu adalah makhluk yang sangat tak layak dibanding apapun. Makhluk yang selalu main hakim sendiri, tanpa mengetahui kebenarannya, dan senang bertingkah selayaknya Tuhan..."
Nio bisa merasakan rasa duka yang tercampur dalam kata-katanya. Dan anehnya, Nio juga merasa kalau gadis itu dan dirinya memiliki suatu kemiripan.
"Nah, karena aku udah menjawab pertanyaanmu, maka sekarang adalah giliranku untuk bertanya; siapa kamu? Dari mana asalmu? Kenapa bocah sepertimu bisa punya kekuatan yang gila semacam itu? Aku tidak pernah mendengar kalau ada Prajurit Nusantara yang memiliki kekuatan kayak begini sebelumnya."
"Itu karena dia itu masih pemula!" Sahut Mikel yang muncul entah dari mana.
"Nekat juga kau masuk ke sini sendirian, Nona Manis." Ujar seorang pemuda tampan jangkung berambut pirang dan bermata cokelat yang kini berdiri tepat di samping Nio.
Namun, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja ada satu sosok yang jatuh dari langit, dan mendarat dengan keras di depan mereka di antara Nio dan gadis berjubah itu.
Sesosok gadis berambut panjang lebat dengan mata yang merah dan mengkilap terang.
Ketiga orang itu saat ini sedang mengenakan seragam yang cukup aneh, terbuat dari bahan yang relatif elastis dan juga ketat, dengan zirah baja yang menempel di beberapa tempat seperti di bahu, lutut, kaki, tangan, dan dada.
"Ayu?" Nio mengungkapkan identitas dari orang yang jatuh dari langit itu.
"Padahal kami sudah capek mencarimu dari jam dua subuh di Kalbar... Tapi, tahu-tahu ternyata kau ada di sini rupanya?" Urat di pelipis Ayu mencuat, dan tinjunya mengeras. "Gara-gara kamu, aku sampai nggak mandi seharian ini..."
Nio yakin betul kalau Ayu pasti kesal sekali sekarang. Mengingat gadis itu memang dari dulu sulit untuk mengendalikan amarahnya.
"Heh... Kukira kalian nggak bakal datang loh, tim junior dari Akademi Nusantara, Unit Arjuna. Unit yang katanya digadang-gadang sebagai tim terkuat sejak akademi ini diperkenalkan secara resmi." Gadis berjubah dan berkacamata hitam itu tersenyum mengejek. "Asal kalian tahu, kepala sekolah kalian saja masih kesusahan buat melawanku, tapi anehnya, dia malah terus saja mengirim kalian buat menangkapku. Bukannya itu konyol?"
"Konyol?" Mikel menyahut kesal. "Yang konyol itu kamu! Kamu kan selalu lari kalau kami datang!"
"Wah, sombong sekali gadis murahan satu ini." Ayu yang geram langsung terbang dengan kecepatan tinggi menuju ke arah gadis itu. Tangannya yang terkepal pun sudah siap untuk meluncurkan tinjuan. "Coba kau cicipi ini!"
Ayu melayangkan tinjuannya, akan tetapi serangannya sama sekali tidak membuahkan hasil apapun, karena ada ombak api biru yang muncul melindungi gadis itu dan membuat Ayu terpental mundur dengan mudahnya.
"Apa-apaan... Kenapa dia jadi lebih kuat dibanding sebelumnya." Meskipun Ayi dipukul mundur, tapi kedua kakinya masih berdiri dengan kokoh di atas tanah.
Akan tetapi, entah kenapa Nio merasa aneh setelah melihat ombak api biru yang melindungi gadis itu. Api biru yang benar-benar tampak seperti ombak di lautan itu membuat Nio teringat dengan malam dimana Nio kehilangan kedua orang tuanya.
Ya, ingatan itu masih segar dalam benaknya, ombak api biru itu muncul di jalan raya pada malam itu.
Nio ingat dengan jelas kalau api biru itulah yang membuat mobilnya meledak. Titik-titik air hujan membuat Nio terbangun setelah kejadian itu, dan ketika ia sadar, ia mendapat