"Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Karena kalau kau sampai berpikir seperti itu, maka itu berarti kepercayaanmu pada sang Pencipta, sudah mulai goyah." Ujar anak bermata emas itu acuh tak acuh.
Jujur, Aldi sungguh merasa terpukul ketika ia mendengar apa yang dikatakan oleh Nio. Tapi, anak berambut hitam gondrong itu tampaknya sungguh serius dengan kata-katanya.
Aldi tersenyum lemah sambil menundukkan kepala memandang kedua kaki bodohnya yang begitu lemah. Anak bermata biru yang sejak kecil cuma bisa duduk di atas kursi roda itu mengepalkan tinju keras-keras dan berusaha memendam amarahnya.
"Kau sama sekali nggak tahu, betapa menakjubkannya dirimu waktu di panggung kemarin." Hati Aldi menjadi panas, namun toh dia juga tak bisa menyalahkan Nio. Lagi pula mreka baru mulai berteman ini hari.
Di sore hari yang sendu itu, kedua anak itu sedang duduk di bangku taman depan gedung asrama, sementara murid-murid lain tengah berada di gedung utama untuk bersenang-senang bersama, mengingat hari ini adalah akhir pekan.
Sudah tiga hari sejak anak itu datang ke sekolah ini, tepatnya itu adalah hari kamis, dan sejak pertama kali melihat mata emas Nio, Aldi tahu kalau anak ini sangatlah spesial. Bahkan, bisa dibilang jauh melebihi apa yang diharapkan Aldi.
Pedang merah ajaib yang digunakannya waktu itu bisa membuat pilar api yang naik sampai ke langit, dan ada berita lain yang mengatakan kalau dia juga berhasil mengalahkan Mikel, murid kelas satu terkuat saat ini, sekaligus anggota unit pertama, dengan kekuatan petir biru.
Sungguh spesial, dan ajaib.
Aldi akhirnya mengangkat kepalanya dan melirik Nio yang masih duduk di bangku taman di depannya. Tapi, Aldi cukup terkejut ketika menyadari kalau Nio ternyata sedang melamun memandangi angkasa jingga di atas sana.
Dia benar-benar tenggelam dalam lamunannya, dan itu membuat Aldi merasa sangat ganjil.
Apa yang sedang dilihat anak itu sampai matanya tampak kosong begitu?
Sesungguhnya, hal yang sangat istimewa dari anak itu hanyalah mata dan kekuatannya, selebihnya tidak ada yang luar biasa. Rambutnya hitam legam, kulitnya kecokelatan, rupa wajahnya pun sama sekali tidak menarik.
Bahkan, Mikel memanggilnya dengan sebutan "jelek" atau "bodoh", dan anehnya, Nio tampak sama sekali tidak keberatan dengan itu, seolah-olah dia memang sudah sering diperlakukan begitu.
"Jujur, aku tidak mengerti dengan pelajaran hari ini loh..." Nio bergumam tapi matanya masih terpaku pada angkasa. "Apa yang membuat manusia begitu spesial, sampai kita harus melindungi mereka?"
Angin kencang berhembus setelah Nio melontarkan pertanyaan itu dari mulutnya. Itu benar-benar terdengar kejam sekali sebenarnya.
"Eh... Menurutku–" Namun, Nio tiba-tiba angkat bicara sebelum Aldi menyelesaikan kalimatnya.
"Oh iya, matamu itu warna biru. Mata Biru, kekuatan seperti apa yang dimilikinya?" Nio akhirnya mengalihkan pandangannya dari langit dan menatap mata Aldi.
"Yah, secara garis besar, orang yang bermata biru itu memiliki kekuatan manipulasi elemen yang unsur utamanya adalah air, peningkatan kecerdasan, ada juga tubuh fleksibel seperti karet, dan kemampuan penyembuhan." Jelas Aldi.
"Dan, kamu punyanya apa?"
"Ah... Kalau aku sih cuma peningkatan kecerdasan dan manipulasi air." Aldi yang tersenyum kecil mengangkat tangannya ke depan wajahnya, dan beberapa saat kemudian gelembung air pun muncul di atas telapaknya. "Cuma yah, tingkat kekuatan airku sangatlah rendah... Makanya aku masuk di kelompok Kurawa."
Tiba-tiba saja, gelembung air itu pecah menjadi beberapa kupu-kupu air yang kemudian menari-nari di udara.
"Wah... indah juga." Ujar Nio yang tampaknya sangat kagum dengan kupu-kupu air buatan Aldi. "Setidaknya kekuatanmu bisa menghasilkan karya seperti ini... Nggak kayak kekuatanku... Kalau salah gerak aja, gunung pun bisa hancur loh." Nio tersenyum kecut.
Namun, lain halnya dengan Aldi yang wajahnya berubah pucat dan tegang setelah mendengar apa yang baru saja diungkapkan Nio.
Apa-apaan itu? Hanya karena salah gerak, gunung pun bisa hancur dibuatnya? Bahkan, di Akademi ini yang bisa melakukannya hanyalah kepala sekolah, itupun dia jelas harus bersusah payah. Tapi kalau Nio, dia bisa melakukannya hanya dengan kesalahan kecil?
"Bu-Bukannya itu luar biasa ya?" Aldi bertanya dengan suara gemetar. Keringat dinginnya mengalir dan tangannya menggenggam erat pegangan kursi rodanya.
"Kau boleh bicara begitu karena kau bukan aku." Jelas Nio sambil menggapai salah satu kupu-kupu ciptaan Aldi. "Dan aku juga bisa bicara begini, karena aku bukan kamu."
Aldi sekali lagi dibuat tercengang setengah mati karena perkataan menusuk Nio.
Ya, anak itu, ada benarnya.
Dia bukan Nio, dan Nio bukan dia. Sederhananya memang seperti itu bukan?
Hanya saja, Aldi tak bisa berbohong kalau kekuatan Nio sangatlah mengagumkan. Tapi, Aldi juga tahu soal rumor tentang asal muasal kekuatan anak itu.
Orang-orang berkata kalau Nio sudah pernah mati, dan satu kekuatan lahir dari setiap perjalanannya ke alam maut.
Kekuatan yang mengagumkan, dengan harga yang teramat sangat luar biasa mahal.
Seperti apa rasanya berada dalam situasi seperti itu? Bahkan, apakah Nio benar-benar menginginkannya? Maksudnya, dia punya dua cincin emas itu, yang artinya dia sudah mati dua kali. Bukankah itu gila?
Aldi seketika merasa malu dengan dirinya sendiri. Hanya karena ia iri dengan kekuatan orang lain, dia malah jadi terpuruk sampai seperti ini.
Aldi menundukkan kepalanya lagi, menatap kedua kakinya menyedihkan.
Dia tidak bisa menyangkal, kalau kedatangan Nio di sekolah ini memang menjadi sumber iri hatinya itu. Tapi, dia bukanlah Nio.
"Kenapa kau mau berbicara denganku?" Aldi bertanya.
"Loh, karena kau mengajakku ngobrol tadi kan?" Jawab Nio sedikit heran.
"Lalu, kenapa kau mau berteman denganku?" Entah kenapa dunia serasa menjadi hening di telinga Aldi setelah ia menanyakan itu pada Nio.
"Yah, karena kita ini teman sekelas, dan itu artinya kita memang ditakdirkan berteman loh." Nio tersenyum kecil, mata emasnya tampak berkilau bersamaan dengan munculnya kedua cincin emasnya di atas kepalanya.
Cincin itu tercipta begitu saja dari letupan cahaya menyilaukan yang kemudian mulai melayang-layang memutari tubuh anak itu bagaikan hewan peliharaan.
Aldi menghela nafas dalam. "Kamu ini sepertinya simpel banget ya, Nio?"
"Ah, nggak kok. Aku kan cuma mengikuti arahannya aja." Ujar Nio yang masih asyik bermain dengan kupu-kupu air itu. "Aku cuma mengikuti jalan yang udah diberikan padaku. Soalnya orang tuaku dari dulu selalu mengajariku untuk mengikuti jalan yang tepat, tanpa harus mempedulikan mana yang benar dan baik, seperti halnya aliran sungai."
Kata-kata Nio membuat Aldi termenung sejenak. Dia awalnya hampir tidak mengerti maksudnya, tapi setelah mengulangi kalimat Nio beberapa kali dalam benaknya, ia akhirnya paham apa maksudnya.
"Cukup ikuti hidupmu saja." Nio menambahkan.
Ya, itulah yang dibutuhkan Aldi. Kepingan terakhir jawaban yang membuatnya seketika mengerti dengan perkataan Nio.
"Kekuatanmu ini keren banget loh." Ungkap anak itu. "Soalnya, hal yang bisa kulakukan dengan kekuatanku itu cuma menghancurkan sesuatu... Dibandingkan dengan kekuatanku, kekuatanmu itu jauh lebih indah malah."
Entah kenapa Nio tiba-tiba terdiam sambil memandangi kupu-kupu itu. Dia mematung cukup lama, sampai-sampai matanya jadi kosong, bagaikan orang yang tak memiliki jiwa.
"Dulu... Aku pernah terbakar." Nio kembali angkat bicara.
"Hah?" Nafas Aldi tertahan. Apa-apaan kata-kata yang baru saja keluar dari anak itu?
Nio mulai bercerita. "Waktu itu rasanya panas banget, dan aku ingin melakukan apa saja agar rasa terbakar itu hilang... Dan ya, tak lama kemudian, rasa panas itu hilang. Poof–itu lenyap begitu saja seakan tak pernah terjadi, dan dunia pada pun menjadi gelap di mataku. Tapi, sedetik setelahnya... Cuma sedetik saja, dalam sekejap mata, rasa panas yang menyengat itu datang lagi dan rasanya sungguh sakit, sakit, sakit banget pokoknya, dan butuh waktu yang lama hingga rasa terbakarnya hilang..."
Aldi sadar betul kalau Nio saat ini sedang bercerita tentang kematian pertamanya, sekaligus hari kelahiran dari pedang merah itu, yang kebetulan kini berada di genggaman tangannya.
Pedang merah berukuran besar yang tampak sangat cantik dan mengerikan. Meski begitu, anehnya Nio mampu mengangkatnya cuma dengan satu tangan saja.
"Aku tahu apa yang kau rasakan, Aldi." Gumam Nio sambil mengamati bilah pedang merahnya. "Dunia ini... Memang tidak pernah adil. Aku mengakuinya. Yah, aku pun bisa berkata begini, karena aku juga sudah merasakan rasa sakit itu... Rasa terbakar itulah yang membuka mata dan pikiranku..."
"Tapi..." Aldi ingin mengatakan sesuatu, tapi itu tersangkut di lehernya, dan keraguan memenuhi dirinya.
"Tak perlu iri denganku. Aku tidak seistimewa itu kok." Nio tersenyum sambil menoleh memandang Aldi. "Kau adalah kau, dan aku adalah aku. Kita punya keistimewaan masing-masing, percayalah."
Tubuh Aldi serasa lemas setelah mendengar itu. "Tapi... Aku bosan, Nio. Aku benar-bensr sudah bosan... Merasa tidak berdaya seperti ini."
"Bersabarlah, oke? Aku juga sudah pernah melaluinya loh." Nio melepas pedang merahnya dari tangannya, dan bangkit berdiri untuk memandangi kupu-kupu air yang masih berhamburan di udara. Tapi anehnya, kupu-kupu itu jadi bertambah banyak dibanding sebelumnya. "Mulai hari ini, kita adalah teman, jadi tolong andalkan aku ya."
Namun Aldi masih tertunduk dan tenggelam dalam diam.
Ya, setidaknya sekarang dia memiliki teman yang hebat kan? Setidaknya, sekarang sudah ada sesuatu yang sedikit berubah dibanding kemarin.
Akan tetapi, kenapa Aldi masih merasa begitu berat. Apakah ini karena dia cuma kurang merasa bersyukur saja? Atau karena sesuatu yang lain? Aneh, dia juga tidak tahu kenapa ia merasa sangat-sangat berat saat ini.
Tapi, ditengah-tengah suasana yang suram itu, entah kenapa Aldi tiba-tiba jadi merinding, dan hatinya terasa ganjil seakan-akan ada sesuatu yang salah.
Lalu, siapa gadis berjubah itu?