"Orang-orang saat ini sudah terlalu rakus. Dan kalau mereka dibiarkan merangkak naik, itu hanya akan mengundang kerugian. Jadi, untuk mencegah itu, ya mereka harus... Diinjak." Bisikan pelan itu keluar dari mulut Nio yang matanya masih terpaku pada huruf-huruf di dalam buku itu.
Akademi Nusantara, adalah sekolah untuk orang-orang yang memiliki kekuatan luar. jasa dan diluar nalar akal sehat. Mudahnya, tempat itu dikenal sebagai sekolah untuk para Pahlawan Super.
Akademi itu diperkenalkan secara resmi pada delapan belas agustus tahun 1945, dengan tujuan untuk melindungi seluruh umat manusia dari ancaman supranatural, tapi lebih terkhusus untuk rakyat Indonesia dan seluruh Asia Tenggara.
Sekolah itu berada di kota Jogjakarta dan tersembunyi jauh di dalam hutan. Bagi manusia, tempat ini dianggap tidak pernah ada dan cuma sekedar cerita rakyat belaka, tapi bagi mereka yang mengetahuinya, sekolah ini adalah tempat yang sangat bergengsi untuk menimba ilmu dan meningkatkan kemampuan.
Padahal baru saja Nio menerima surat undangan itu kemarin, tapi disinilah dia sekarang. Bocah berambut hitam legam, berwajah lugu yang terkesan bodoh, dan berseragam putih-merah itu sedang duduk sendirian di dalam perpustakaan.
Perpustakaan di akademi itu pun sangatlah megah. Lantainya dilapisi oleh karpet kuning keemasan, dan dindingnya dicat dengan warna kayu yang memiliki aroma wangi. Rak-rak buku menjulang hingga ke langit-langit ruangan, dan hampir tak ada celah kosong di tiap rak, semuanya terisi oleh buku.
Pemilihan kelompok untuk Nio baru akan dilaksanakan nanti malam, dan begitu pula dengan jadwal belajar dan kamarnya. Sejak kemarin malam Nio menetap di kamar pengunjung, tapi di sana tak ada siapa-siapa selain staf pengurus, itu terlalu membosankan, jadi setelah ujian masuk tadi, Ayu mengantarkan bocah itu ke sini lalu gadis itu meninggalkannya dan pergi ke kelas untuk belajar.
Di sore itu Nio sedang membaca buku tentang Akademi Nusantara, tapi entah kenapa isi bukunya sangatlah membosankan. Kebanyakan sejarahnya.
Akan tetapi, setelah membaca bagian pertama di buku itu, Nio tahu kalau di sekolah ini murid dipisahkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama disebut sebagai Pandawa, yang isinya adalah murid-murid dengan kemampuan unggul yang lebih berfokus untuk bertempur di barisan depan.
Sedangkan kelompok kedua adalah Kurawa, yang diisi oleh murid-murid dengan kemampuan yang lebih tertuju untuk membantu kelompok Pandawa dari barisan belakang.
Namun gampangnya, bisa dibilang kalau kelompok Pandawa itu diisi oleh orang-orang yang kuat, sementara Kurawa berisi murid-murid yang lemah.
"Itu terdengar bodoh." Nio bergumam pelan sambil memandang berkeliling. Masih tak ada siapapun di perpustakaan mengingat sekarang adalah jam belajar. Tapi mata Nio menangkap keberadaan seorang pria tak jauh dari sana. "Memisahkan orang-orang seperti itu."
Pria itu jelas saja merupakan staf pengurus perpustakaan ini, ditinjau dari seragamnya dan juga tiga lencana yang tergantung di dada kirinya; lencana pertama berlambangkan buku, dan lencana kedua berlambangkan pengajar, dan lencana ketiga itu adalah perak.
Tapi, pria yang di sana itu tampaknya sadar kalau Nio sedang memandangnya, jadi dia balas menoleh menatap Nio, lalu setelah selesai mengatur beberapa buku di rak, dia pun berjalan menghampiri Nio.
"Sore, Nak." Sapa pria tinggi jangkung dan berkacamata itu dengan sopan. Pria itu berkulit putih bersih seperti orang Cina, dan matanya pun sipit. "Boleh aku duduk di sini?"
"A-Ah, silahkan, Tuan." Ucap Nio kikuk. Dia benar-benar tidak nyaman kalau harus berbincang-bincang dengan orang baru seperti ini. Rasanya sangat sulit dan membingungkan.
"Oh, kamu ini murid baru itu kan? Nak Nio, benar?"
"I-Iya, Tuan. Saya Nio Narathel." Wajah Nio perlahan jadi merah, dan kepanikan tergambar jelas di mukanya. Senyum anak itu pun mulai gemetar karena terlalu dipaksakan.
"Nah, perkenalkan, nama saya Julian Ramayana, dan saya adalah pengurus perpustakaan di sekolah ini." Pria itu mengambil jeda sebentar untuk memandang sekitarnya. "Seperti yang kau lihat, buku di sini sangatlah lengkap. Dari buku pelajaran, sejarah, pengetahuan, hingga buku untuk hiburan. Dan karena kau sekarang adalah murid di sini, jadi silahkan bacalah apapun yang kau suka."
"Ah iya, Tuan." Kata Nio yang masih tersenyum masam sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan gelisah.
"Di dekat pintu masuk juga ada mesin minuman gratis, jadi nikmati aja, oke?"
"I-Iya, Tuan." Nio kembali membalas dengan jawaban singkat bak orang bodoh.
"Jadi, bagaimana menurutmu tentang Akademi Nusantara?" Tuan Julian mengeluarkan pertanyaaan lainnya.
"Ah... Aku kan baru datang kemarin malam, Tuan, jadi aku masih kurang yakin juga." Nio lalu tertawa pelan dengan canggung.
Akan tetapi, Tuan Julian tetap tidak kunjung pergi. Dia masih duduk di samping Nio dan mengamati bocah itu.
"Kau ini sangat kuat loh, Nak Nio." Ungkap Tuan Julian tiba-tiba. "Lebih kuat dariku, lebih kuat dibanding kepala sekolah, dan bahkan lebih kuat dibanding siapapun yang ada di sekolah ini."
"Eh?" Nio terkejut. "Ma-Maksud Tuan?" Sungguh, sulit sekali rasanya untuk tetap tersenyum seperti itu.
"Dengan kekuatan seperti itu, kau seharusnya peringkat Kristal... Kau bahkan bisa meratakan sebuah negara tanpa harus meneteskan keringat." Jelas Tuan Julian yang masih tersenyum manis.
Namun, entah kenapa Nio merasa aneh dengan alur percakapan ini. Kenapa pria itu membahas soal kekuatan sekarang? Dan kenapa caranya berbicara seperti itu.
"Tapi, Tuan... Kekuatanku ini nggak enak loh." Nio yang terus memaksa bibirnya untuk tersenyum membalas perkataan si pengurus perpustakaan.
"Ah, aku tahu. Untuk membuat kekuatanmu bekerja, kau harus dibuat mati dulu kan?" Ujar pria itu dengan entengnya, dan itu seketika membuat senyum Nio menghilang dari bibir kecilnya. "Tapi tenang saja. Aku tidak bermaksud menyinggung soal kekuatanmu kok. Aku cuma ingin memberitahu kalau kau akan ditempatkan di kelompok Kurawa."
"Kelompok Pembantu ya?" Nio menatap pria itu dengan tajam. Mata emasnya tampak mengkilap. "Aku nggak masalah kok."
"Ya, kau memang lebih cocok disitu, karena kekuatanmu itu terlalu istimewa, dan kami tidak ingin mengambil risiko." Tuan Julian menjelaskan.
"Tapi itu cuma berlaku untukku kan? Bukan untuk murid Kurawa yang lain." Nio bertanya dengan nada dingin.
Ya, dia memang orang yang pemalu, mudah panik, dan gampang bingung. Dan kalau marah dia pasti melakukan tindakan yang bodoh dan tanpa pikir panjang.
Namun, lain halnya kalau ia dilanda oleh kebencian. Setiap kali ia membenci sesuatu, Nio sadar betul kalau dia seakan berubah jadi orang yang amat berbeda. Dia menjadi lebih tajam, dan berbahaya. Hanya saja, ia tidak terlalu memikirkannya.
Akan tetapi ada satu hal lagi.
Nio benar-benar sangat tidak suka diancam.
"Hah..." Tuan Julian menghela nafas dalam. "Bukannya kami bermaksud seperti itu, kami memang hanya berkata jujur, kau itu terlalu penting, Nak Nio."
"Bagaimana dengan murid Kurawa yang lain? Dan bahkan murid Pandawa yang jelas-jelas berada di barisan terdepan saat sesuatu terjadi." Nio memuntahkan isi kepalanya tanpa keraguan. Ia sudah terlanjur jengkel. "Tadi, Tuan bertanya bagaimana tanggapanku tentang akademi ini. Ya, jawabanku simpel; tempat ini, sama sekali tidak istimewa."
"Hmm... Kau sudah terlalu kurang ajar, Nak Nio. Kau tahu, aku bisa saja loh mengeluarkanmu dari sini–"
"Dan aku bisa menghancurkan seluruh tempat ini hingga lenyap tanpa sisa kalau aku mau." Tukas bocah itu.
Tuan Julian yang selalu terlihat santai itu seketika terdiam seribu bahasa pada ancaman Nio. Sepertinya pembawaan pria itu memang selalu seperti itu. Namun, dia sudah melihat kekuatan Nio dengan matanya sendiri, jadi dia tahu.
"Maafkan saya, Tuan, tapi, andalah yang mengancam saya terlebih dahulu... Dan aku... Paling nggak suka diancam, soalnya itu mengingatkanku dengan hari kematian orang tuaku... Karena di hari itu juga, ada seseorang yang mengancamku."
Mata emas Nio tampak bercahaya–tidak, matanya memang benar-benar berpendar, dan di saat itu pula, kedua cincin emasnya tiba-tiba muncul di atas kepalanya lalu melayang-layang mengitari anak itu.
"Begini, Tuan. Saya akan dengan senang hati mengikuti semua sistem yang ada di sekolah ini, asalkan Tuan nggak mengganggu aku, dan juga Ayu." Nio memperingati sambil menggapai salah satu cincin miliknya dan memain-mainkannya di atas telapak tangannya. "Aku menerima undangan itu, karena aku sudah lelah dengan semua ketidakpastian hidup... Jadi, aku memohon dengan sangat pada Tuan untuk tidak menembus garis itu."
Nio bisa mendengar nafas berat Tuan Julian.
"Baiklah kalau memang itu yang kau mau." Tuan Julian menggeser cawan yang berisi permen di meja dan mendorongnya ke dekat Nio. "Ngomong-ngomong permen ini juga gratis. Nikmatilah." Pria itu mengambil salah satu permen, membuka bungkusannya dan memakannya, lalu ia bangkit berdiri dan meninggalkan Nio sendirian.
Jujur, perbincangan barusan membuat hati Nio berdebar hebat. Dia tidak pernah berbicara seperti itu pada siapapun.
"Cuma ya... Aku tidak menyangka kalau kekuatanku bisa digunakan dengan cara seperti ini." Nio memandang lekat-lekat cincin yang ada di tangannya, sementara cincin satunya masih mengambang di belakangnya. "Ini terasa salah... Tapi ya mau bagaimana lagi. Dunia ini... Dan orang-orang ini memang sudah terlalu rusak."
Suara bel sekolah terdengar, tanda berakhirnya jam pelajaran untuk hari ini.
Nio menoleh memandang jendela di sebelah kirinya dan ia bisa melihat langit yang memancarkan cahaya jingga senja yang sendu dan indah.
"Kalau dibiarkan merangkak, semuanya hanya akan tambah rusak. Jadi, mereka memang harus diinjak kan?" Anak itu bergumam sekali lagi.
"Hei, Nio." Sapa Ayu yang kini sudah berada di sampingnya tanpa Nio sadari. "Mumpung masih belum malam, ayo ikut aku berkeliling sekolah, biar nanti kamu nggak nyasar." Ujar gadis cantik bermata semerah darah itu sambil tersenyum kecil.
"A-Ah iya, baiklah kalau begitu." Nio mengembalikan buku yang dibacanya tadi ke tempatnya semula, lalu mereka berdua pun melangkah meninggalkan perpustakaan.