"Kamu mau merebut suamiku, kan?" tuduh Chiraaz melempar tatapan tajam pada Aletha.
"Maksud anda apa bicara seperti itu?" Aletha mengangkat sebelah alisnya.
"Tidak usah berpura-pura lagi. Kamu, kan, yang menuntut saya ke pengadilan!"
"Tuntutan? Pengadilan? Apa maksud anda< saya sama sekali tidak mengerti." Aletha semakin kebingungan.
Chiraaz mengigit bibir bawahnya geram, matanya melirik ke arah dapur. Eljovan terdengar sibuk dengan peralatan perang iu-ibu di dapur. Chiraaz mendekatkan dirinya ke Aletha dan menekan suaranya.
"Aku tahu tujuanmu ke sini. Kamu ingin membalas dendam di masa lalu, kan? Sebab kamu belum puas menyiksaku sampai terusir dari Turki!" Chiraaz menekan suaranya takut terdengar oleh Elljovan.
Aletha tersenyum tipis, kepalanya menggeleng pelan. "Anda konyol sekali, apa karena belum sarapan ya? Bicaranya jadi melantur," ejeknya.
"Anda!" Chiraaz mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Aletha.
"Tidak sopan mengarahkan jari telunjuk pada seorang tamu," ujar Aletha. "Sepertinya anda sedang ada masalah. Bukankah suami anda seorang psikolog? Sebaiknya periksakan diri anda."
"Bisakah kau biarkan hidupku tenang, Aletha? Aku sudah menjauh, menerima hukuman dari masa lalu. Apalagi yang kau inginkan!"
Aletha tersenyum sinis, melihat sikap Chiraaz padanya, ia hanya bisa tertawa di dalam hati. "Nyonya Chiraaz, anda jangan bicara sembarangan. Saya baru datang ke kota ini dan tidak banyak kenal orang, apalagi anda Nyonya. Kalau anda mau tahu siapa saya, silahkan kunjungi Thanendra Boutique. Kalau mau sekalian belanja, saya akan berikan anda harga diskon dan pelayanan terbaik," ujarnya.
"Akan ku buktikan bahwa kau sedang berpura-pura Aletha!" ancam Chiraaz.
"Silahkan jika anda mau, Nyonya." Aletha menantang balik Chiraaz.
Chiraaz hanya diam melihat Aletha yang begitu tidak. Apa perempuan ini amnesia atau sedang pura-pura saja. Kenapa sikapnya sangat tenang dan tidak bisa ditebak. Hati Chiraaz terus bertanya-tanya.
Tidak mau berlama-lama berada di dekat Aletha, Chiraaz meninggalkannya sendirian dan menghampiri Eljovan di dapur. Ia sengaja ingin menunjukkan kemesraan dengan Eljovan di depan tamunya. Sepanjang membantu suaminya memasak, Chiraaz terus menggoda Eljovan dengan kata-kata mesra.
Meski sedikit aneh dengan sikap istrinya, Eljovan menikmati sikap Chiraaz yang jarang ditunjukkan. Pria itu juga merasa aneh, padahal semalam Chiraaz menolaknya mentah-mentah. Sampai ia tidak mau tidur bersama di ranjang.
"Masakan kamu semakin hari terasa enak, El," puji Chiraaz yang sengaja mengeraskan suaranya. Matanya melirik pada Aletha yang masih duduk samblil membaca majalah.
"Kamu bisa saja, Sayang," balas Eljovan.
"Kalau seperti ini terus, aku semakin cinta sama kamu." Chiraaz menarik tubuh Eljovan ke dalam pelukannya. Mereka berdiri di depan pintu.
"Chiraaz, kamu ngapain ini. Malu dilihat Aletha," bisik Eljovan.
"Kenapa? Bukannya semalam kamu ingin?" goda Chiraaz, matanya mengerling centil.
"Ya, tapi tidak sekarang. Lagipula ini--." Eljovan melirik ke arah ruang tamu.
Di sana Aletha masih santai dengan majalahnya seolah tidak mendengar apapun. Eljovan balik menarik tubuh Chiraaz dan membawanya ke pojokan dapur. Chiraaz sangat terkejut dengan tindakan Eljovan, suaminya itu menindih tubuhnya.
Chiraaz menahan napasnya, niat hati hanya mempermainkan Eljovan. Sekarang malah suaminya itu terpancing hasratnya. Chiraaz bisa merasakan benda di balik celana Eljovan mengeras. Tatapan pria itu liar penuh nafsu.
"El," ucap Chiraaz.
Eljovan membungkam mulut Chiraaz dengan mulutnya. Tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Chiraaz. Lidahnya sibuk menyapu mulut Chiraaz yang masih lekat bau orang bangun tidur.
"El, lepaskan!" Chiraaz mendorong kasar tubuh suaminya.
"Loh? Kamu yang memancingku." Eljovan merutuk geram.
"Kita lanjutkan nanti di kamar. Mama sedang tidak ada, kita bisa melakukannya sepanjang hari," bujuk Chiraaz sambil mengusap benda keras di balik celana Eljovan.
"Benarkah?" Eljovan mengangkat sebelah alisnya.
"Of course, sayang."
"Oke." Eljovan mengulumkan senyum lebar, lalu mengecup lagi bibir istrinya.
Chiraaz bernapas lega saat Eljovan melepaskan tubuhnya dan kembali memasak. Ia tahu cara supaya bbenda keras milik Eljovan kembali normal. Suaminya itu tidak bisa mendapat tekanan darinya dan itu merupakan kelemahan Eljovan.
Ia terus melontarkan komentar tentang masakannya yang dirasa tidak enak. Sedangkan masakan itu akan dihidangkan pada seorang tamu. Eljovan selalu berusaha yang terbaik, apalagi pada tamu dan kliennya.
Rencana Chiraaz ternyata berhasil, pokus Eljovan teralihkan pada masakan. Mata Chiraaz melirik ke bawah celana dan ia pun terkekeh pelan.
"Kenapa tertawa?" tanya Eljovan.
"Tuh." Chiraaz menunjuk bawah celana Eljovan dengan dagunya.
"Kenapa?"
"Sudah normal, bukan? Bagaimana bisa, kamu sarapan dengan keadaan menegang?"
"Astaga sayang, kamu memang terbaik," balas Eljovan.
"Sudah, cepat selesaikan masakannya. Aku ganti baju dan bersiap dulu."
"Oke sayang, mandi ya." Eljovan mengedipkan sebelah matanya.
Chiraz pergi meninggalkan dapur, saat melewati ruang tengah, ia menyunggingkan senyum sinis pada Aletha. Aletha membalas senyumannya, Chiraaz buru-buru masuk ke dalam kamar.
"Beres," gumam Eljovan setelah mellihat masakannya selesai.
Pria itu membawa satu piring Yakizakana, yaitu ikan panggang khas Jepang. Tidak lupa ia juga membuat sup miso, omelet, juga rumput laut kesukaan Chiraaz. Sejak tinggal di sana, istrinya itu mulai terbiasa dengan makanan Jepang.
Sebagian masyarakat di Jepang percaya jika di pagi hari mereka mengkonsumsi ikan. Maka kinerja otak akan lebih optimal, di sana masyarakatnya pun terkenal pekerja keras. Tidak mengherankan jika Jepang menjadi salah satu negara maju.
"Wah, wangi sekali aroma masakannya," komentar Aletha saat Eljovan melewatinya.
"Ayo kita sarapan, Nyonya," ajak Eljovan.
Aletha meletakkan majalah di meja, lalu mengikuti Eljovan ke meja makan. Melihat hasil masakan yang menggugah selera. Hatinya berdecak kagum akan keterampilan Eljovan.
"Anda memang good husband. Selain pekerja keras, tapi juga seorang koki hebat," seloroh Aletha melontarkan pujian.
"Ah, anda terlalu berlebihan," balas Eljovan. "Ayo, silahkan duduk Nyonya."
"Terima kasih," sahut Aletha lalu duduk di kursi samping Eljovan.
"Bagaimana dengan suasana di sini? Apa anda betah?" tanya Eljovan.
"Betah, setidaknya lebih baik daripada bersama pria laknat itu," sungut Aletha.
"Oh, maaf," ucap Eljovan. "Silahkan ambil makanannya, kita makan dulu."
"Istri anda?"
"Dia sedang ganti pakaian."
"Owh." Aletha membulatkan mulutnya. Tanpa malu ia mengambil semua masakan yang dibuat Eljovan.
Pria itu terbelalak tak percaya melihat apa yang dilakukan Aletha. Karena dari penampilannya saja, Aletha nampak sangat anggun. Aletha melirik pada Eljovan yang sedang menatapnya keheranan.
"Maaf, masakan anda terlihat enak. Jadi saya ingin mencoba semuanya," kata Aletha seakan mengerti kebingungan Eljovan.
"Its oke, tidak apa-apa. Silahkan dilanjutkan saja makannya," jawab Eljovan.
Aletha langsung melahap ikan panggang buatan Eljovan, matanya menutup lalu terbuka merasakan nikmatnya masakan. Aletha sampai tidak sadar pipinya belepotan. Eljovan mengambil tisue dan menyeka kotoran di pipi Aletha. Sesaat mereka saling memandang.
Dari depan pintu kamar, Chiraaz melihat semuanya. Hatinya terbakar cemburu. Ia pun buru-buru berjalan ke arah meja makan.
"Eheeemm."2