Eljovan terkejut dan melepaskan tangan dari pipi Aletha. Pria itu gugup menatap tajam pada istrinya yang masih berdiri mematung.
"Hai sayang, ayo duduk." Eljovan menyambut kedatangan Chiraaz.
Chiraaz duduk di samping suaminya dan berhadapan dengan Aletha. Ia mengambil piring dan mengambil makanan. Eljovan membantunya dan menyiapkan air minum. Chiraaz semakin bangga, diperlakukan istimewa di depan tamunya.
"Bagimana rasa masakan suami saya, Nyonya Aletha?" tanya Chiraaz seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Enak, sangat enak sekali. Apalagi buatan suami orang," sindir Aletha.
"Hahaha." Eljovan tertawa renyah, ia menanggapi ucapan Aletha dengan santai.
"Oh begitu, memang enak ya merasakan suami orang. Lebih instan tinggal makan," balas Chiraaz sengit.
"Mungkin, anda lebih berpengalaman." Aletha tersenyum sinis dan melanjutkan makannya.
Chiraaz meremas sendok yang sedang dipegangnya. Ia melirik Eljovan yang santai menikmati sarapannya. Perkataan Aletha sangat menusuk relung hatinya. Chiraaz membayangkan ia ingin menusukkan garpu ke mulut Aletha.
Tidak ingin keadaan berubah menjadi tegang. Aletha mencairkan suasana dengan membahas bisnis. Eljovan tertarik dan ingin mengunjungi boutique miliknya. Pria itu berjanji akan berkunjung ke sana dengan mengajak Chiraaz berbelanja.
Mendengar perkataan suaminya, jelas Chiraaz merasa marah. Kenapa Eljovan berkata demikian, sementara ia meminta uang untuk mundur dari kantor. Tapi suaminya tidak bisa memberikan sepeser pun.
"Baiklah, pagi yang sangat menyenangkan. Pak Dokter-- eh maksduku, El, Nyonya Chiraaz." Aletha melirik keduanya bergantian." Terima kasih untuk sarapannya," lanjutnya.
Chiraaz hanya tersenyum simpul.
"Sama-sama Nyonya Aletha," sahut Eljovan.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Saya masih ada urusan," pamit Aletha.
"Baiklah, semoga harimu menyenangkan."
Eljovan mengantarkan Aletha ke depan pintu. Chiraaz enggan beranjak dari sana dan menambah sarapannya. Chiraaz sangat tidak suka dengan sikap Aletha pada suaminya. Wanita itu membuatnya tidak tenang dan sangat misterius.
Aletha memeluk Eljovan sebagai tanda perpisahan. Hati Chiraaz semakin meradang dibuatnya. Ia meremas sendok yang dipegangnya, karena terpokus melihat Aletha. Tangannya tidak sengaja menyenggol piring yang berisi sarapan miliknya.
Praaaanngg!
"Astaga." Chiraaz terkejut lalu bangkit dari kursinya dan membersihkan pecahan piring.
"Chiraaz, kenapa ini?" Eljovan membantu Chiraaz membereskan pecahan piring.
"Kelihatannya--, awwhh." Chiraaz mengaduh kesakitan, jari telunjuknya terluka.
"Ya ampun, seharusnya kamu hati-hati." Eljovan meraih jemari istrinya, lalu menghisap darah yang keluar. Pria itu berlari mengambil kotak p3k dan membalut luka istrinya.
"Lain kali hati-hati, kamu kenapa masih saja ceroboh, Chiraaz," kata Eljovan.
Chiraaz hanya diam saja, hatinya masih kesal pada Eljovan. Setelah Eljovan memberikan plaster, Chiraaz pergi begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Eljovan mengernyitkan dahinya, heran melihat sikap Chiraaz yang kembali dingin.
'Astaga, wanita memang gampang berubah,' gumam Eljovan di dalam hatinya.
Pria itu segera membersihkan dapur dan merapikan bekas sarapan. Teringat lagi pada janji Chiraaz tadi, ia bersemangat ingin bercocok tanam di atas kasur. Eljovan terus bersiul, semangatnya menggebu-gebu.
Di dalam kamar, Chiraaz berdiri di depan jendela. Melihat sikap Aletha pada Eljovan, hatinya semakin merasa takut. Persaannya mengatakan bahwa Aletha memiliki tujuan tertentu, setelah konflik di masa lalu.
Ceklek.
Chiraaz menoleh saat mendengar pintu kamar dibuka, Eljovan masuk ke kamar dan wajahnya menyunggingkan senyum lebar. Chiraaz kembali berpaling, menatap pemandangan kota yang begitu-begitu saja setiap harinya.
"Sayang." Eljovan memeluk Chiraaz dari belakang. Langsung saja bibirnya bermain di leher Chiraaz.
"El, stop it," tolak Chiraaz.
"Kamu kenapa sih." Eljovan melepaskan pelukannya.
"Kamu yang kenapa! Aku minta uang untuk resign dari kantor, tapi kamu bilang tidak ada. Tapi tadi apa?" cecar Chiraaz penuh emosi.
"Kamu ngomong apa sih, Chiraaz."
"Kamu bilang apa sama wanita tadi, hah? Kamu bilang sama dia, kalau kamu akan bawa aku belanja ke boutique nya? Tidak, El! Aku tidak butuh! Aku cuma mau resign dari kantor, itu saja cukup!" sungut Chiraaz tidak bisa menahan emosinya.
"Astaga, kamu ini ya seperti anak kecil. Aku bilang seperti itu ke Nyonya Aletha, untuk menghargai ajakannya saja. Tidak lebih dari itu, kamu saja yang terlalu serius menanggapinya," jawab Eljovan.
"Udahlah, El, aku muak sama kamu. Bilang saja El, kalau kamu mau berduaan sama tetangga baru itu. Makanya kamu nggak mau bantu aku resign dari kantor," tuduh Chiraaz.
Plaaakkk!
Eljovan melayangkan tamparan, tepat mengenai pipi kanan Chiraz. Wajah putih mulus itu menyisakan tanda merah bekas tangan Eljovan.
"Kamu, tampar aku?" Chiraaz menatap sengit suaminya.
"Kamu keterlaluan ya, aku coba sabar dari kemarin. Tapi kamu semakin melantur," bentak Eljovan.
Hormon kelelakiannya yang sedang memuncak tidak bisa Eljovan kembalikan. Masuk ke kamar berharap istrinya mau diajak bercinta sesuai janji. Nyatanya Chiraaz malah mengajaknya brtengkar, kepala Eljovan terasa sakit.
Sakit hati ditampar suaminya, Chiraaz beranjak mengambil tas dan ponselnya, lalu pergi dari apartemen. Eljovan tidak mau mencegah kepergian istrinya, sebab ia pun sangat marah.
Keduanya sama-sama kesal karena baru saja berbaikan, mereka kembali bertengkar. Hal ini memang sering terjadi dalam hubungan keduanya. Tapi Chiraaz tidak pernah meninggalkan rumah saat marah.
Dari jendela kamar, Eljovan melihat Chiraaz menaiki taksi. Seebelum masuk ke taksi, Chiraaz sempat menoleh ke atas. Tapi Eljovan segera menutup gorden dan membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Tuhan, sampai kapan hubungan kami seperti ini terus. Rasanya aku mulai lelah untuk bertahan dengannya," gumam Eljovan.
***
Chiraaz sampai di sebuah mall, untuk menghilangkan penatnya, seperti biasa ia akan berkeliling mall. Meski tidak berbelanja, dengan melihat-lihat isi mall saja ia suah sangat senang. Setidaknya penat di kepalanya sedikit hilang, berikut beban pikirannya.
Suasana di mall cukup ramai, banyak muda mudi yang bergaya lalu lalang berjalan bersamaan dengan sahabatnya. Chiraaz merindukan masa-masa itu dengan sahabatnya dulu saat tinggal di Turki. Ketika memutuskan pindah mengikuti Eljovan, ia pun kehilangan kontak.
"Sendirian saja Nona, suaminya ke mana?" Suara seorang pria yang tidak asing di telinganya menyapa. Chiraaz menoleh ke belakang, benar saja tebakannya Edward tengah berdiri tegak di belakangnya.
"Apa anda ini hantu, Pak Edward? Ke mana pun saya pergi, kenapa selalu bertemu anda," kata Chiraaz melipatkan tangan ke depan.
"Perasaan kamu saja," sahut Edward santai.
"Ini bukan hari kerja. Hubungan kita terikat di kantor, jadi anda tidak bisa mengganggu saya," ucap Chiraaz dengan percaya diri.
"Benarkah? Memangnya, kamu batal mengundurkan diri?" tanya Edward, wajahnya menyeringai mengejek Chiraaz.
Chiraaz terdiam mendengar ejekan tersebut. Ia tidak mau melawan lagi, daripada dipermalukan seperti tempo hari. Edward berjalan mendekatinya, jarak mereka hanya beberapa centimeter.
"Kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku, Chiraaz. Semakin kamu bermimpi untuk pergi. Rantaiku akan menjerat lehermu," bisik Edward.
"Anda benar-benar tidak war--." Chiraaz kehilangan kesadarannya, jika saja Edward tidak menangkap tubuhnya. Chiraaz akan terjatuh ke lantai.
"Dasar menyusahkan!" maki Edward.