"Terima kasih, Pak, sudah mengantarkan saya," ucap Chiraaz sebelum keluar dari mobil, dia bersiap melepaskan sigbelt.
"Oke, saya tunggu besok di kantor," balas Edward seraya mengedipkan sebelah matanya.
Chiraaz menyunggingkan senyum lebar, lalu keluar dari mobil. Edward langsung memacu kendaraannya keluar dari basement. Saat berbalik Chiraaz terkejut melihat Aletha yang tengah berdiri tak jauh di belakangnya dengan tatapan aneh.
Tidak ingin bicara dengan wanita itu, Chiraaz diam seribu bahasa. Aletha mengikuti langkahnya dan mereka masuk ke dalam lift bersamaan. Chiraaz pura-pura sibuk melihat ponselnya, karena malas dengan keberadaan Aletha.
"Kamu memang hebat ya, di mana pun berada pasti selalu memikat pria," kata Aletha, seraya menyunggingkan senyum sinis.
"Tentu, karena aku sangat mempesona," balas Chiraaz mengibaskan rambutnya.
"Mempesona dan murahan itu beda tipis," sindir Aletha.
Wajah Chiraaz berubah seketika, dia menatap sengit Aletha. "Sebenarnya apa masalahmu denganku, Aletha? Bisakah lepaskan aku untuk hidup tenang?"
"Menurutmu, setelah hidupnya hancur. Apa seseorang akan diam saja?" Aletha balik menatap sengit Chiraaz.
"Kamu memang sakit jiwa, Aletha."
"Apa semuanya belum cukup? Aku sudah pergi jauh, tapi sekarang apa? Kamu yang mengejarku!" bentak Chiraaz kesal.
"Syuutt." Aletha menempelkan jari telunjuk di bibirnya, lalu mengorek telinganya. "Jangan bicara keras denganku, jika aku balas dengan hal yang sama. Aku yakin hatimu tidak akan sanggup menerima," sambungnya.
"Haruskah aku bersujud, supaya kamu memaafkanku dan melupakan masa lalu," ucap Chiraaz mengiba penuh harap.
Aletha emosi melihat mimik muka Chiraaz yang menjijikan baginya. Tanpa diduga Aletha menarik rahang wajah Chiraaz dan mencengkramnya erat-erat. "Jangan berlagak seolah kamu adalah korban, Chiraaz. Aku masih berbaik hati, dengan menjaga segalanya dari mertua dan suamimu!" tegasnya.
"Ma--mau kamu apa, Aletha." Chiraaz ketakutan melihat amarah di wajah Aletha dan wanita itu terlihat dingin.
"Aku mau kau merasakan--."
Ting!
Aletha menghentikan ucapannya ketika bel di lift tanda mereka sampai sudah berbunyi. Saat pintu lift terbuka, Eljovan sudah berdiri menunggu di depan lift. Aletha dan Chiraaz saling menatap bersamaan ke arah Eljovan.
"Nona Ale? Chiraaz? Kalian sedang apa?" tanya Eljovan.
"Hai, selamat tengah malam Pak Dokter," sahut Aletha seraya melepaskan cengkramannya dari pipi Chiraaz. Dia memilih keluar dari lift duluan.
"El, maaf, aku pulang telat," kata Chiraaz setelah dekat dengan suaminya.
"Its oke sayang, tidak apa-apa. Kalian, tadi ngapain di dalam lift? Seperti mau bertengkar?" Eljovan menyelidik setelah melihat Aletha mencengkram pipi istrinya.
"Itu tadi kami," jawab Chiraaz gugup, matanya melirik Aletha yang terlihat tenang.
"Aku hanya bertanya pada istri anda. Kenapa dia bisa secantik dan mempesona di usianya yang sekarang, Pak-- ehm El." Aletha menjawab dengan tenang, ekor matanya masih ia arahkan pada Chiraaz.
"Iyah, itu El," tambah Chiraaz meyakinkan suaminya.
"Baiklah, ini sudah malam. Kami pamit dulu Nona," kata Eljovan seraya menggandeng tangan Chiraaz.
"Iya, silahkan," sahut Aletha.
Eljovan dan Chiraaz melangkah ke unit apartemen mereka. Chiraaz merasa takut akan di cecar oleh suaminya. Dia buru-buru masuk ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Setelah ini dia harus menghadapi suaminya dengan berbagai pertanyaan.
"Chiraaz, kenapa lama sekali di kamar mandi?" tanya Eljovan, sambil mengetuk pintu.
"Ya El, sebentar ya," sahut Chiraaz, dia segera membasuh mukanya.
Sementara Chiraaz masih di kamar mandi, Eljovan duduk menunggu di pinggir ranjang. Eljovan memeriksa laptop dan membuka email dari asistennya untuk melihat jadwal pekerjaannya besok. Tapi baru beberapa menit dibuka, laptopnya low baterai.
"Di mana charger laptop ini? Kenapa tidak ada di atas nakas," gumam Eljovan.
Dia melepas kacamatanya dan menyimpan laptop. Lalu mencari charger di nakas kecil sebelah kanan ranjang, lalu membuka setiap laci dan tidak ada di sana. Eljovan berpindah ke nakas sebelah kiri dan melakukan hal yang sama. Ternyata charger ada di laci nakas paling bawah.
Bruukkh.
Tidak sengaja Eljovan menjatuhkan tas milik Chiraaz dan membuat isinya berhamburan. Chiraaz yang baru keluar dari kamar mandi panik melihat tasnya ada di tangan sang suami. Chiraaz melempar handuk ke sembarang arah, lalu bergegas menghampiri Eljovan.
"Sayang, biar aku yang bereskan," pinta Chiraaz, berusaha menyembunyikan rasa paniknya.
"Apa tas perempuan memang semua seperti ini, sayang? Banyak sekali penghuninya," celetuk Eljovan.
"Ah? Kamu seperti tidak tahu aku saja," sahut Chiraaz. Matanya berpendar waspada, karena surat dari pengadilan masih ada di tas tersebut.
"Ya sudah, kamu segera tidur dan istirahat saja. Walaupun nanti di rumah--."
"Aku tidak jadi resign, El. Aku tetap bekerja," potong Chiraaz.
"O yah, ya sudah terserah kamu." Eljovan menanggapi dengan datar, pria itu berdiri dan kembali ke laptopnya.
Chiraaz memeriksa isi tas, surat dari pengadilan tidak ada di sana. Dia memeriksa setiap sudut tas, tapi benda berharga itu tidak ada di sana. Chiraaz semakin panik, lalu membungkuk melihat ke bawah.
Surat dari pengadilan jatuh ke bawah ranjang, Chiraaz mencoba meraihnya, tapi tidak bisa dia raih. Eljovan mengernyitkan dahi melihat Chiraaz yang terlihat kesusahan.
"Chiraaz, kamu ambil apa?" tanya Eljovan.
"Ah? Ini El satu lipstik jatuh," dalih Chiraaz.
"Besok saja Chiraaz, kamu harus bekerja kan. Kalau kesiangan nanti bagaimana?"
"Baik, El." Chiraaz menuruti permintaan Eljovan, dia menyimpan tas lalu naik ke atas ranjang.
"Aku ada sedikit pekerjaan, kamu tidur duluan ya," kata Eljovan. Pria itu membungkuk, lalu mencium kening istrinya. "Good night sayang, mimpi indah," lanjutnya.
"Night, I love you," balas Chiraaz.
"Love you more." Eljovan menambahkan kecupan di bibir Chiraaz.
Chiraaz menutup mata dengan perasaan lega, apa yang sudah dia pikirkan nyatanya tidak terjadi. Eljovan tidak banyak bertanya darimana dan dengan siapa tadi dirinya pergi. Setidaknya malam ini dia selamat dan bisa memikirkan jawaban, jika keesokan hari Eljovan mempertanyakan.
Tidak lama kemudian, Chiraaz sudah tertidur pulas. Eljovan yang masih berkutat dengan laptop, mendengar suara napas yang teratur. Pria itu menoleh dan menatap lekat istrinya, perasaan bersalah menggelayuti hatinya.
Entah kenapa perkataan Fayaaz masih saja terngiang di telinganya. Apakah selama ini dirinya terlalu keras pada Chiraaz, lalu membuat istrinya itu tidak bahagia. Eljovan menyimpan laptop, lalu berbaring di samping Chiraaz.
Diusapnya kepala istrinya dengan lembut, tangannya merangkul tubuh Chiraaz. Secara naluriah Chiraaz berbalik memeluk Eljovan dengan nyaman. Eljovan mengecup lembut puncak kepala istrinya dan memeluk erat.
"Im sory Chiraaz, aku berjanji akan lebih baik lagi membahagiakan kamu. Aku tidak akan peduli apa masa lalumu, apa yang kamu lakukan. Hal terpenting adalah kita bangun rumah tangga bersama," ucap Eljovan bicara sendirian.
Malam itu Eljovan tidak ingin melepaskan pelukannya. Seolah mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang lama. Kedamaian yang dirasakannya, baru kembali setelah sekian lama mereka menghadapi badai rumah tangga.